Sunday, December 7, 2014

Pertanyaan-pertanyaan tentang Angin


Selain langit, saya menyukai angin. Jika saya duduk sendiri dan diam, saya tidak sedang menghayal, saat itu sangat mungkin saya sedang mencoba mendengarkan angin. Waktu kelas dua SD, setiap siang saya selalu mengamati dua pohon kelapa yang pucuknya bisa tampak dari dalam ruang kelas. Entah kenapa, setiap melihat dua pucuk pohon kelapa itu bergoyang tertiup angin, saya selalu merasa senang dan tenang.

Pindah ke Balikpapan di mana saya dan teman-teman dengan mudah bisa bermain di pantai membuat saya semakin menyukai angin. Sepulang sekolah di hari Jum’at atau sabtu, saya beberapa teman saya suka bermain di pantai yang terletak di belakang perumahan Brimob. Kami suka berlarian ke arah yang berlawanan dengan hembusan angin di pinggir pantai. Atau sekedar berdiri merentangkan tangan dan mencium bau laut, mendengar suara ombak, dan untuk saya sendiri: mendengar suara angin tentu saja. Ini salah satu kenangan terbaik di masa kecil hidup saya.

Mungkin terdengar aneh. Saya selalu berusaha mengingat-ingat suara angin di setiap tempat yang memungkin saya mendengarnya. Saya menutup mata saya saat mencoba merekam suara angin, dengan harapan, ketika suatu saat saya butuh mendengarkan suara angin, maka saya bisa mendengarnya dengan cukup menutup mata saja.

Saya tak pernah sadar dan tahu mengapa saya menyukai angin sesederhana itu--tanpa tahu alasannya. Akan tetapi di suatu siang, saya mulai berpikir dan mencari tahu kedalam diri mengapa saya menyukai suara angin.

“Melamun?” tanya seorang teman kepada saya.
Saya menggeleng, “Lagi pengen dengerin suara angin aja”.

“Emangnya kedengeran?”
“Kadang iya, kadang enggak.”

“Stress lo ya? Daripada dengerin suara angin, dengerin suara gue nyanyi sepertinya ide yang lebih bagus, Sa?”
Saya menoleh ke arahnya, dan melempar tatapan: sekali-lo-berani-nyanyi-gue-injek-kaki-lo. Dan dia paham tatapan saya tadi, walau saya tidak mengucapkan sepatah katapun dan mengeluarkan suara sedikitpun dari mulut saya.

“Dengerin suara angin tuh bikin tenang, tau!” kata saya.
“Iya, gue setuju. Dibanding dengerin suara dosen di depan kelas kan, Sa?”
Untuk kedua kalinya saya menoleh ke arahnya, dan melempar tatapan: plis-deh-ga-ada-hubungan-nya-ya-walau-lo-bener-juga-sih.
Saya masih diam, dan syukurnya dia paham (lagi) tatapan saya tadi.

“Iya... iya... suara angin menenangkan. Tapi jangan sering-sering ah, Sa! Ntar badan lo makin ngembang lho! Gue kira badan lo begini gara-gara donat kentang, ternyata angin turut berperan dalam pengembangan badan lo ya, Sa?”
Kali ini tidak ada tolehan dan tatapan ber-pesan’ lagi. Seketika saya menginjak kakinya dengan keras tanpa mengucap sepatah katapun
“Astagfirullah, Sa! Jadi cewek galak banget sih! gue tuh maksudnya baik, kalau lo ada masalah lo cerita ke gue atau ga ke temen-temen yang lain, jangan nungguin angin, yang ada entar lo sakit gara-gara masuk angin!”
“Habis lo bawel sih! gue emang lagi pusing, butuh ketenangan, dan jujur ya, setiap lo datang itu berasa voldemort yang ngisep ketenangan jiwa raga gue.Giliran gue yang bawel, gue dimarahin; giliran gue anteng diem duduk caem begini, digangguin!”
“Lo lagi ada masalah ya?”
“Enggak ada... gue enggak kenapa-napa. Kepala gue agak ruwet aja habis kelas Pidana. Mau ngademin kepala. Gue suka denger suara angin, nenangin. Apalagi kalau ditambah suara daun-daun pohon bunyi, makin tenang. Jadi kalau niat lo mau ngerusak ketenangan gue, mending lo jauh-jauh deh”
“Sa... sebagai teman yang baik gue Cuma mau ngasih saran aja nih ya... suka tu sama cowok bukan sama angin! Biar ga jomblo terus!!”.
Belum sempat kaki ini menginjak kakinya, si teman saya menang gesit dan meninggalkan saya seketika. Kabur. Memang selalu begitu.

Di beberapa hal saya akui saya lebih suka menyendiri jika kondisi hati dan pikiran kurang seimbang. Tapi sesungguhnya saya tidak pernah ingin benar-benar sendiri, maka saya selalu mencari angin. Saya tidak mau suasa hati saya yang tidak bagus akan merusak suasana hati orang lain, maka menyendiri dan mendengarkan angin itu semacam bentuk karantina untuk kembali menyeimbangkan elemen yang ada di dalam diri saya.
Entahlah, secara magis saya seperti merasa bahwa dalam hembusan angin ada bahasa yang diterima dan dimengerti sangat baik oleh tubuh saya. saya tidak bisa menjelaskan secara verbal, tapi saya yakin kalian pun pernah merasakan hal yang serupa. Merasakan suatu hal yang kalian biarkan tidak paham, karena jiwa kalian mengerti, dan itu sudah lebih dari cukup.
Seperti beberapa orang yang menyukai suara hujan atau bau tanah selepas hujan. Seperti itu saya menyukai suara angin. Seperti bisikan yang bebas dari prasangka-prasangka benar dan salah.
Saya pernah beberapa kali menjelaskan ini kepada beberapa teman saya. tapi respon mereka sama, bahwa saya (terkadang) terlalu membuat rumit hal yang sederhana. Tapi sayapun tetap bertahan, bahwa terkadang kita lupa ada beberapa hal sederhana yang bisa membuat sesuatu lebih istimewa.

“Bahagia itu yang memang seharusnya seperti itu. Sederhana” kata seorang teman yang lain lagi kepada saya. di lain waktu dan tempat yang berbeda, “Mendengarkan angin, mendengarkan hujan dan melihat orang di sekitar kita tersenyum adalah hal sederhana yang selalu istimewa dan membahagiakan.”

Saya mendengarkannya dengan baik. Tidak banyak orang yang bisa memahami jalan pikir saya untuk satu hal ini.

“Sejak kapan kamu suka dengan suara angin, Nisa?”
“Eum... enggak tahu, mungkin sejak kelas dua SD, kenapa?”
Dia tersenyum mendengar jawaban saya.
“Ada yang salah ya? Gue aneh ya?” respon saya melihat responnya yang hanya tersenyum.
“Apa yang salah dengan menjadi aneh sih, Sa? Dan kamu enggak aneh kok. Saya senang saja, masih bisa ngobrol sama orang yang masih membawa masa kecilnya hingga sekarang.”
Saya mengernyitkan dahi. Kurang paham.
“Ada beberapa orang yang terlalu sibuk berusaha meninggalkan kebiasaan kecilnya hanya karena ia ingin dianggap dewasa. Banyak orang melupakan mimpi-mimpi masa kecilnya karena mereka terlalu takut untuk percaya bahwa sebenarnya mereka bisa menggapainya. Banyak orang yang kemudian meninggalkan masa kecilnya karena bagi mereka masa kecil adalah bagian yang sudah dilalui. Padahal, menurutku, tidak ada masa dalam kehidupan kita yang harus kita tinggalkan dan kita lupakan untuk bertumbuh menjadi dewasa. Karena sekras apapun kita menginkarinya, akan selalu ada sisi anak kecil yang akan hidup dalam diri kita, jiwa yang polos, meyenangkan, ceria dan sederhana.”

Kali ini giliran saya yang tersenyum mendengarkan ucapannya.

“Gue rasa setelah gue dengerin lo gue bakal ganti jawaban kalau ada yang nanya kenapa gue suka dengerin suara angin.”
Dia menoleh ke arah saya, “Kamu akan jawab apa, Nisa?”
“Gue bakal jawab, karena gue suka, sudah itu saja. karena, jika ini adalah bagian masa kecil gue, maka seperti yang lo bilang, ‘anak kecil selalu sederhana’”.


Setelah pembicaraan itu saya memiliki pemikiran baru. Terkadang kita terlalu berusaha keras untuk mencari tahu siapa diri kita. Mengapa kita menyukai ini, tidak menyukai itu, melakukan hal-hal ini dan menghindari hal-hal itu hanya untuk menggenapi pertanyaan-pertanyaan orang lain yang dilemparkan kepada kita. Satu hal yang terbersit dalam pikiran saya, seseorang terkadang bertanya suatu kepada kita bukan karena ia ingin mencari jawaban, dengan sangat menyesal, banyak orang bertanya tanpa tujuan. Tanpa berpikir panjang bahwa yang ditanya akan setengah mati mencari jawaban paling baik untuk diucapkan.
Sepertinya selama ini saya kurang menyederhanakan sesuatu yang sesungguhnya memang sederhana. Terlalu ingin mencari tahu mengapa dan kenapa suatu hal terjadi, yang mungkin lebih baik diterima begitu saja. mungkin—sekali lagi mungkin—pada akhirnya kita hanya butuh sedikit bersabar untuk bisa memahami hal-hal tersebut.

Saya tahu tidak semua orang menyukai suara angin seperti saya, dan itu bukan masalah. Kelak, jika saya menyukai sesuatu, sesuatu yang mungkin lebih rumit dari sekedar angin, dan banyak orang yang bertanya mengapa saya menyukainya, mungkin saya akan menjawab: karena saya suka. Dan itu (seharusnya) sudah cukup.


foto:
http://www.thekreatidblog.com/seeds/

No comments:

Post a Comment