Saturday, August 31, 2013

TEMAN SEBANGKU





Dia teman sebangku saya. Namanya tidak perlu saya sebutkan. Saat itu ada perombakan tempat duduk. Saya dipindahkan untuk duduk berdua bersamanya dalam satu meja. Awalnya saya agak takut karena dia terkenal sebagai ‘seseorang yang ditakuti’, pendiam dan dingin. Tapi ternyata tidak juga. Dia orang yang cukup baik, mau membantu saya untuk bolak-balik meminjam tip-ex ke meja sebelah. Dia juga mau kalau saya ajak main do-mi-ka-do. Atau main “suit” yang kalah dicoret pake gliter. Dia cukup sabar mendengar curhatan saya tentang ini-itu, dan yang paling menyenangkan, dia tidak pernah memberontak kalau saya sedang marah-marah. Beberapa kali kami belajar bersama. Dia tidak begitu pandai dalam pelajaran, jadi saya sering mengajarkannya-- dengan kebawelan saya tentunya. Entah sejak kapan saya menyukainya. Saya menikmati saat saya bercanda atau sedang marah-marah dengan dirinya. Terkadang, saya merasa terlindungi karena menjadi teman sebangkunya, tidak banyak teman laki-laki yang berani menakali saya—karena saya teman sebangku DIA! Hehehe.

Sampai akhirnya, seorang adik kelas yang cantik, imut dan menggemaskan curhat kepada saya kalau ia menyukai teman sebangku saya. Sebut saja Vanya. Kamu tahu bagaimana perasaan saya saat mengetahui itu? Itu seperti lomba siapa yang tercepat untuk menuju ke garis finish; Vanya menunggani kuda. Saya menunggani keledai. Saya merasa kalah.

Hal yang bisa saya lakukan saat itu adalah berusaha melupakan perasaan saya. Vanya jelas lebih baik untuk dia. Tapi melupakan dan menutupi perasaan itu tidak mudah kawan. Adakalanya kita harus tersenyum di saat sesungguhnya kita merasa di titik tersedih yang dalam.Ada saatnya kita harus tetap berada di dekatnya saat kaki ini sesungguhnya ingin berlari menjauh dan bersembunyi. Ada saatnya kita harus mengatur debar jantung membuatnya kembali seirama seperti tidak ada apa-apa. Melakukan hal yang sesungguhnya tidak ingin kita lakukan. Tapi apa daya? Itulah konsekuensi untuk orang yang kalah bukan?

Tekad saya bulat. Saya sudah cukup bahagia bisa menjadi teman sebangkunya yang bisa membuat dia kesibukan untuk meminjamkan tip-ex untuk saya. Atau sekedar mengobrolkan apa saja yang bisa membuat kami berdua tertawa. Dia bukan orang yang mudah tertawa bahkan tersenyum, lalu? Kurang beruntung apa saya yang bisa tertawa bersamanya hampir setiap hari? Sudah sepantasnya saya tidak serakah untuk memiliki dia lebih dari ini semua. Lebih dari teman. Saya memutuskan untuk menolong Vanya untuk dekat dengan dirinya. Iya. Saya yakin saya sudah siap, dan mampu.

Singkat cerita, dia tahu tentang rencana “perjodohan” ini. Dia marah. Dan saya adalah orang yang paling membuat ia marah. Saat itu saya baru paham mengapa ia cukup ditakuti oleh teman-teman laki-laki saya, karena saat ia marah, ia sama sekali bukan dia yang selama ini saya kenal sebagai teman sebangku saya. selama beberapa hari kami duduk diam tanpa ada yang berani untuk menegur terlebih dahulu.

Semesta mendukung. Perombakan tempat duduk kelas (lagi). Saya tidak lagi duduk bersamanya. Saya lega karena tidak harus berdiam terus saat di kelas. Di sisi lain saya merasa bersalah, saya seharusnya meminta maaf kepadanya. Tapi sekarang, kesempatan untuk meminta maaf semakin kecil bahkan tidak ada. Dia tidak pernah lagi berbicara kepada saya. mungkin tidak pernah ingin lagi. Setiap saya coba untuk menghampirinya berniat untuk minta maaf, dia pergi. Kami berdua seperti terlempar ke dunia 180 derajat yang sangat berbeda saat pertama kali kami berkenalan sebagai teman sebangku. Bahkan saya lupa kapan terakhir saya melihat dia tersenyum.

Hari kelulusan tiba. Saatnya saya menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan di tahap ini. Besok, sekolah, teman-teman sekelas beserta ceritanya adalah kenangan. Dan saya tidak mau meninggalkan kenangan buruk karena suatu hal yang tidak terselesaikan.

Dia duduk sendiri saat itu. Teman-teman yang lain sibuk berfoto. Saya ingin sekali berfoto bersamanya. Dia teman sebangku saya yang terbaik selama ini. Iya, teman sebangku.

Saya menghampirinya. Memberanikan diri untuk memegang bahunya. Dia menoleh dengan mata sendu seperti biasanya setelah kejadian itu.

”Kamu masih marah sama aku?” saya mengeluarkan suara.
Dia menggeleng pelan.
“Aku minta maaf... aku Cuma berpikir kalau Vanya itu anak yang cantik, baik dan pinter pasti cocok sama kamu yang...”
“Udah, Sa.. aku enggak mau bahas Vanya” potongnya. Singkat.
“Aku minta maaf...” sekali lagi, kali ini saya lakukan sambil tertunduk
“Iya... aku juga minta maaf...”
Kemudian dia berdiri dan pergi tanpa sepatah kata perpisahan. Saya diam. Saya yakin dia tidak pernah benar-benar memaafkan saya. saya berbalik dan melangkah pergi berjalan berlawannan arah darinya...
“Sa...” panggilnya, sontak membuat saya menoleh kepadanya.
“Ya..”
“Maaf ya... Maaf kalau selama ini aku jahat sama kamu... aku Cuma sedih, perempuan yang aku suka malah ngejodohin aku sama perempuan lain.”
Kemudian dia kembali berbalik dan berjalan denghan tenang meninggalkan saya. tanpa pernah menoleh lagi.
saya terdiam. Dia semakin jauh dan menghilang.
Ini hari kelulusan. Seperti yang telah saya katakan; Besok, sekolah, teman-teman sekelas beserta ceritanya adalah kenangan, begitu juga dia--teman sebangku dan ... orang pertama yang membuat saya jatuh cinta.

No comments:

Post a Comment