Saturday, June 7, 2014

Memaafkan untuk Mengerti


Tidak semua orang bisa memahami orang lain dengan baik, maka pahamilah hal itu dengan baik. Jika ada dari mereka yang salah mengerti, salah paham atas kondisi yang kau miliki, pahamilah, bahwa mereka tak bermaksud menyakiti, hanya saja mereka yang belum mengerti.

Jika mereka belum mengerti, seharusnya mereka tidak menghakimi.

Ya, kau benar, memang seharusnya demikian. Maka berterimakasih lah kepada mereka. Kau belajar sesuatu: jangan menghakimi apapun yang tidak kau mengerti dengan baik.

Air mataku menetes... aku tidak bisa mengingkari bahwa apa yang ia katakan memang benar. Tapi aku juga ingin sesekali ia mendukung atas rasa marah dan sedih yang aku punya.

Ya, aku belajar. Aku belajar dan menyimpulkan bahwa mereka salah. Dan atas kesalahan mereka berarti kemarahan aku tidak salah, kan?

Apa yang kau dapat dari sebuah kemarahan? Beritahu aku, apa yang kau dapatkan?
Ya, aku sepakat bahwa apa yang mereka lakukan terhdap mu salah. Tapi bukankah sebuah kesalahan harus dibenarkan dengan cara yang baik? Seperti anak kecil yang melakukan kesalahan, mereka tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya, mereka hanya tidak mengerti bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Dan orang tua yang bijak adalah orang tua yang memaafkan dan kemudian menjelaskan bahwa mereka salah dan menunjukan apa yang benar, bukan memarahi.
Aku tahu kau bersedih karena mereka, tapi jangan tunjukan itu. Tetaplah berjalan dengan tegak, penuh senyuman, dan teruslah menjadi seseorang yang melakukan hal benar.


Aku tidak sebaik itu... aku bukan manusia sebaik itu...

Dia tersenyum, kemudian berucap, “ya sudah, marahlah jika kau merasa dengan marah kau akan merasa lebih baik. Aku pikir kau butuh sendiri untuk mengerti apa yang sesungguhnya kau inginkan. Aku pulang dulu, dan hubungi aku kapanpun kau butuh tempat untuk mendengarkan. Saat sedih seperti ini, kau selalu lebih suka mendengarkan ketimbang bercerita, bukan?”

Dia kemudian pergi. Aku menangis sendiri. Aku lelah, dan kurasa aku tak cukup banyak tenanga untuk marah. Aku belum bisa memaafkan mereka, tapi akupun tak ingin marah kepada mereka. Aku hanya berharap kelak mereka bisa paham bahwa menghakimi tanpa mengerti adalah hal yang menyakitkan. Mungkin aku harus mencoba memahami mereka: mereka tidak bermaksud jahat, hanya saja mereka yang tidak cukup mengerti dan memilih untuk menyimpulkan sendiri. Ya, mungkin memang seperti itu.

Tunggu..., mungkin aku memang harus berterima kasih kepada mereka, karena berkat mereka aku belajar bagaimana caranya memahami orang-orang yang tidak bisa memahami dengan baik.

Thursday, June 5, 2014

PERCAKAPAN PAGI ITU, SAAT AKU BERJUMPA LAGI DENGAN MATI

Apa yang manusia pahami tentang mati?

Apa yang kau pahami tentang mati?

Apa aku sudah cukup paham tentang mati?


Entahlah. Entah sejak kapan mati terlupakan untuk dipikirkan kebanyakan orang. Kalah dengan harapan-harapan masa depan yang selalu ingin diwujudkan. Kemudian kita lupa; bahwa mati adalah sebuah keniscayaan. Kepastian yang lebih pasti dari mimpi-mimpi yang kita karang untuk masa depan. Dia pasti akan datang.

Pahamkah kita tentang pelajaran yang alam terangkan setiap harinya?

Cukup sadarkan kita bahwa sebenarnya kita tidak pernah cukup pintar untuk merasa pintar?

Rendahkanlah hatimu...
Pejamkan mata sesaat dan biarkan hitam mengosongkan segala rasa yang terkadang tak penting untuk dirasakan. Mengosongkan segala kekhawatiran yang terkadang tak penting untuk dikhawatirkan.
Mengundang hitam untuk menghapus lupa: lupa pada kematian--bahwa pada akhirnya, kita akan ditinggalkan dan meninggalkan.

Mati.



Aku diingatkan tentang mati dua bulan terakhir semenjak aku memutuskan untuk menuliskannya dalam tulisan ini dan saat ini. Menulis tentang kehilangan dan kematian tidaklah pernah mudah untukku, kawan.
Dua kematian yang membuat aku kebingungan bagaimana mengeluarkan air mata.

Satu kematian pertama, saat aku mendengar kabar kematian itu, aku hanya bisa diam. Mencerna. Kemudian berpikir, apakah aku harus menangis?


Satu bulan kemudian, saat kebingunganku belum terjawab sepenuhnya, kematian kedua datang di hadapanku. Lagi, aku diam. Melihat tubuh kaku itu di depanku. Wajahnya tenang, awalnya kupikir ini hanya sebuah tidur. Kemudian aku tahu, ini bukan hanya tidur, ini bentuk lain kehilangan yang hakiki: kematian.
Kucingku, oh bukan, Bumbum lebih dari sekedar kucing untuk ku. Bumbum teman. Teman yang benar-benar menemani ku selama ini.

dan dia mati pagi itu.


Aku diam... aku merasa kehampaan jasad di depanku. Kehampaan dalam jiwaku. D

dan kemudian aku menangis begitu saja.

Aku menangis tak lama. Di beberapa menit kemudian aku menyeka air mata. Menarik nafas dalam walau kemudian tetap saja terasa sesak.

Bukankah mati adalah keniscayaan, Nisa? Lalu buat apa kau menangis?, logikaku mulai menalar.

Aku menangis karena aku bersedih. Jawabku.

Jawaban diterima dan masuk akal, katanya, kau boleh menangis, tapi kau harus tahu kapan kau harus berhenti menangis.

Aku tidak tahu kapan rasa sedih ini selesai. Aku kehilangan. Jawab ku.

Jawaban tidak dapat diterima. Kalau kehilangan adalah alasanmu, maka besok, besok lusa, besok dari keesokan hari lainnya kau akan terus bersedih. Karena setelah hari ini kau tak akan pernah memiliki Bumbum lagi. Ini kematian, Nisa, ini selamanya. Jika kau menangis karena kau kehilangan, kau akan menangis dan bersedih untuk selamanya. Itu argumennya.


Bisakah aku menangis dan bersedih hanya karena aku merasa sedih dan ingin menangis? Bisakah aku menangis dan bersedih karena alasan satu-satu yang ku miliki karena AKU MERASA SEDIH DAN INGIN MENANGIS?! . Perasaanku menang kali ini. Air mata keluar lagi. Aku menangis lagi. Sesak ini hanya bisa dikurangi dengan bulir-bulir air mata yang kupunya.


Aku tak pernah melarang mu menangis. Menangislah. Bersedihlah. Tapi kau paham bahwa menangis bukanlah bentuk lain perayaan dari sebuah kesedihan. Kau paham tidak ada yang mengharuskan manusia untuk menangis saat bersedih. Dan itu yang kau lakukan bulan lalu saat Bibik meninggal. Kau menangis bukan karena kau terlalu bingung, Nisa. Kau menangis karena kau dalam pemahaman yang sangat baik: bahwa mati adalah sebuah kepastian; mati adalah hal yang sesungguhnya ditunggu dari sebuah kehidupan. Kau tidak menangis saat itu. Tapi kemudian, saat perasaanmu mulai memainkan segala kenangan, kau paham bahwa kelak, akan ada rindu yang membuat kau bingung bagaimana memenuhinya. Karena dia yang kau rindukan, tak akan pernah bisa kau temukan di dalam hidupmu lagi.

Kau dalam pemahaman yang baik akan sebuah kematian. Ku beri tahu kondisimu yang sesungguhnya. Kau menangis karena kau bersedih, tapi kau bersedih bukan karena sebuah kehilangan. Kau bersedih karena kau terlalu takut untuk memenuhi rindu yang akan datang di masa depan. Jadi, jadilah wanita yang bijak, Nisa. Kau tak akan bersedih karena kehilangan. Kau hanya terlalu takut saat rindu datang.

Belajarlah untuk mengikhlaskan segala hal yang kau sayangi dan kau cintai di dunia ini. Pahamilah lebih dalam bahwa kau pun nanti akan pergi dan mati.

Kita tak pernah memiliki apa-apa di dunia ini. Bahkan tidak juga dengan jasad yang menyatu dengan jiwa kita.

Menangislah jika kau ingin menangis saat ini. Tapi aku tahu bahwa kau paham kapan kau akan mencukupkan kesedihan ini dengan air mata yang kau miliki. Tuhan memang Maha Baik. Tapi Tuhan juga Maha Bijaksana. Dia tidak akan menghidupkan mereka yang mati agar umat lainnya tidak bersedih hanya agar Tuhan dikatakan BAIK. Tuhan akan membiarkan yang mati tetap mati walau seluruh dunia menangisi dia yang mati, karena sesungguhnya dalam kesedihan Tuhan memberi kesempatan bagi kita untuk belajar mengikhlaskan dan sabar. Tuhan mengajarkan kita untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih bijaksana.

Kematian mengajarkan banyak hal, Nisa. Kau hanya tak sadar telah mempelajari hal-hal itu. Kau paham bahwa cepat atau lambat kau akan ditinggalkan dan meninggalkan seseorang, oleh karenanya kau tak pernah ingin membenci seorang pun yang datang dalam hidupmu. Karena kau paham, sejahat apapun dan sebesar apapun seseorang memberikan kau luka atau bahagia, kau paham bahwa itu tidak akan selamanya.

Jadi, Nisa... ambilah kesempatan itu. Belajarlah untuk mengikhlaskan. Belajarlah untuk sabar. Rindu yang kelak datang, biarlah datang. Seandainya rindu mengundang sedih yang dalam tentang kenangan, maka menangislah saja, tak ada yang melarang—termasuk aku.

Ini bukan tentang kau yang tak boleh menangis terlalu lama...

Tapi tentang aku yang tak ingin kau bersedih terlalu lama...



Aku menyeka air mataku. Aku masih bisa merasakan bulir-bulir itu masih ingin mengalir keluar. Tapi kucukupkan. Ku simpan agar saat rindu yang kutakuti itu datang, aku tidak lagi menjadi kebingungan.
Aku akan menangis.

Ya. dia benar. Menangis bukanlah bentuk perayaan ceremonial yang harus kita lakukan saat kita bersedih. kalau kau bisa meredakan sedihmu tanpa menangis, maka lakukanlah itu. Tidak peduli seberapa banyak mata yang menghakimimu bahwa kau tak cukup baik dan tidak mempunya hati yang lembut karena kau (memilih) tidak menangisi kehilangan dan kesedihan. Terserahlah mereka ingin menilai mu apa. Karena kau sangat memahami dirimu. Kau menangis bukan karena kau tak bersedih, tapi karena kau paham ada hal-hal menyakitkan yang memang harus kita terima (saja).

Selamat jalan Bik Tinah... terimakasih sudah merawat dedek selama enam tahun di jogja... semoga amal ibadah bibik diterima di sisi Allah SWT, dan segala dosa bibik dapat diberikan pengampunan. :')

RIP BUMBUM, 2 Mei 2014



entah harus menulis pesan apa... terimakasih, bumbum pernah ada.