Monday, January 13, 2020

Sebuah Awal Untuk Belajar

Semuanya basah. Baju, sofa, kursi, kasur, dan kayu-kayu kitchen set yang melapuk setengah hancur.
Motor dan mobil yang mati total karena terendam air lebih dari duapuluhempat jam.
Sepatu-sepatu yang harus ikhlas dibuang karena sudah tak layak pakai.

Di awal tahun baru ketika menyusun harapan saja belum sempat, Tuhan memberi saya ruang untuk menerima kehilangan tanpa mengumpat.

"Innalillahi wa innalillahi roji'un. ini bukti, kalau Allah berkenhedak, apa saja yang mau Dia ambil dari kita, bisa kapan saja dan lewat mana saja.", kata Ibuk.

Mungkin lagi diajari soal sabar, lagi diingetkan ga boleh sombong, lagi diajarkan berserah, belajar ikhlas, menerima saat harus diminta untuk melepaskan.

Mungkin seperti itu.

Banjir kemarin adalah kali ketiga yang saya alami. Tanpa listrik, sedikit air bersih dan makanan. Di sela hening saya beristigfar,,
Sering dalam titik terendahnya, manusia bisa lebih rendah hati untuk bisa lebih paham dan mengerti sebuah pesan dari Penciptanya.

Apa yang kurang selama ini dala hidup saya?

jawabnya, tidak ada.

Apa yang sudah saya lakukan untuk membalas hadiah kecukupan ini?

jawabnya, belum ada.

dan di titik terendah ini, saya ingat dan sadar bahwa banyak hal yang lupa saya syukuri. Banyak hal yang belum saya lakukan. Banyak hal yang bahkan baru terfikirkan sekarang.

Kemana saja saya selama ini?

Mungkin lewat musibah ini, Tuhan sedang bertanya, " mau sampai kapan kamu lupa, kamu diam dan berhenti berfikir dengan semua yang ada di sekeliling kamu, Annisa?"

Dan jika benar seperti itu, saya tidak punya jawabannya--selain, "Maaf, Tuhan."



Tentang mobil dan motor yang tenggelam, tentang barang-barang yang basah bekas tergenang, dan semua kesombongan yang hilang terbawa air hujan--saya tidak pantas merasa kehilangan--Itu semua milik Tuhan.

Kapanpun Dia ingin mengambil, maka ambilah. Sesungguhnya manusia tidak memiliki apa-apa selain rasa kepemilikan yang ia ciptakan sendiri.

Jadi korban banjir tidak selamanya tentang hidup yang dirundung nestapa,, tapi kali ini saya merasa tentang Tuhan yang sedang
mencoba menarik umatNya yang akhir-akhir ini lebih sibuk urusan dunia. Lupa kalau Allah adalah sumber dari semua doa. Lupa
bahwa Allah adalah pusat dari segala harap. Lupa bahwa saya sesungguhnya tidak punya apa-apa tanpa izin dari Nya.


Tuhan sungguh baik. Di awal 2020 Tuhan ajarkan saya memahami suatu hal yang seharusnya saya pahami dari dulu.
Tapi apalah daya, saya adalah manusia si pusat lupa. Iman naik turun, kebanyakan turunnya. Tidak bisa dengan cara halus,
dikasihlah cara lewat banjir.

Buat para korban banjir, jangan terlalu sedih bisa jadi hal yang tidak kita sukai membawa berkah yang akan kita syukyri nantinya.
Semoga tulisan ini bisa sebagai obat untuk yang turut merasakan, dan sebagai pengingat untuk yang lupa merasakan (nikmatNya).

Sunday, September 29, 2019

Semoga Tuhan selalu memberi kita ingat





Sering,

Bahkan (mungkin) terlalu sering, manusia terlalu sibuk mencari dan memperhitungkan hal yang belum mereka miliki,

kemudian lupa untuk memperhitungkan dan menjaga yang telah dimiliki...


Sudah tabiatnya manusia,

suka lupa, suka abai, suka menyepelekan.

segala hal yang sudah menjadi "kebiasaan" sering dianggap lagi tidak istimewa... padahal bisa jadi itu hal terbaik yang bisa kita rasa


"kenapa saat aku memilih untuk pergi, dia baru menyadari..."

di suatu siang seorang teman me-WA saya. Sang perempuan sudah menetapkan "cukup" untuk semua abai yang diberikan suaminya

Perceraian adalah yang mengerikan, tapi bisa jadi hal yang diharapkan jika masing2 pasangan memilih saling mengabaikan alih-alih saling memberikan perhatian.

Atau bisa jadi, sudah terlalu banyak maaf untuk sebuah perubahan yang diharapkan namun tak kunjung berubah.


"Setidaknya, dia sudah sadar", balas saya.

"terserah kamu saja. tapi aku pribadi berharap kamu bisa lebih bersabar untuk menjaga luka itu hingga akhirnya kamu sembuh dan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya"

Percakapan saya dan dia sudah tidak bisa lagi saya tuliskan di sini...



Kita semua punya luka,,, yang bisa saja saat ini ada yang sedang bertahan dengan luka yang terus-menerus dilukai;

atau sedang menjaga agar luka yang ada tidak terlihat sampai-sampai lupa untuk menyembuhkan luka itu sendiri.


Masing-masing dari kita punya luka, dan banyak luka tadi berasal dari sebuah pengabaian.

Dan naas nya lagi, pengabaian adalah sumber luka yang tak penah sadar sering melukai hati.


Iya,,,

Mungkin memang betul... banyak manusia sibuk mencari dan memikirkan hal yang belum miliki...

sampai-sampai lupa... mensyukuri apa-apa yang telah dimiliki...

Kita sering lupa, dulu, pernah sungguh-sungguh meminta hal yang saat ini kita miliki.



Dulu, pernah berjanji akan menjaga apa yang menjadi jawaban Tuhan di doa-doa kita.

Kemudian "lupa" datang...

dan hati kita merasa tidak tercukupi lagi dengan apa yang kita miliki.



Sampai akhirnya kita sadar,, bahwa hati kita akan benar-benar terasa kosong setelah ada yang pergi dari sisi.





Semoga Tuhan selalu memberi kita ingat, bahwa apa yang sudah kita miliki tak kalah berharga dengan apa yang sedang kita cari.



AAMIIN.











Monday, September 23, 2019

Jatuh Cinta Saya (yang pertama dan serius)

Diam mungkin pilhan saat seseorang jatuh cinta dengan seseorang lainnya,
tapi bisa jadi waktu akan menjabarkan cerita yang panjang dari diam itu ketika waktunya tiba.

AR


Ada cerita yang ingin saya ceritakan,, masa lalu. tentang rasa yang membuat saya salah tingkah, berharap, dan mengikhlaskan.

Mereka sebut itu "Cinta".

Ini tentang pertama kali saya menyukai laki-laki dengan serius, penuh harap dan penuh pasrah.

14 Tahun umur saya saat itu or maybe almost 15th. Sebut saja namanya Arko. Kakak kelas satu tahun di atas saya.

Saya lupa kapan saya mulai memerhatikannya. Sepertinya saat saya harus ikut semacam diksar LDKS saat SMA.

Pertama kali melihat, tidak pernah terfikirkan sosok Arko akan menetap lebih dari 4 tahun di hidup saya.

Arko sosok yang... menyebalkan bagi saya saat itu. Dia adalah lawan argumentasi terkuat saya saat diksar. Mungkin begitupun saya untuk dia.

Selama diksar, tidak ada hari tanpa debat, tanpa marah-marah, dan tanpa keisengan dia agar saya dihukum oleh kakak kelas saat diksar itu.

Hingga di malam terakhir, ada hal yang membuat saya menangis, dan dialah penyebab utama mengapa saya menangis.

Entah apa yang disampaikan temen saya ke Arko. Tapi malam itu Arko menghampiri saya yang sedang menarik diri dan menyendiri.

Saat melihat dia, marah saya kembali memuncak.

"Kamu kenapa?" tanya dia.

saya hanya diam. rasanya ingin bilang "hal terbaik yang gue butuh saat ini adalah ga ngeliat wajah elu!"--tapi saya diem saja, sambil menyembunyikan wajah.

"Persembahan tim kamu bagus kok" ujar dia lagi

"Ga mikir persembahan!" jawab saya ketus

"Terus mikirin apa? mikirin saya ya?", "kalau kamu diem gini jadi ga seru"

Sumpaaaah malam itu yang bener-bener saya ingin lakukan adalah nyakar-nyakar wajah dia.

Saya lupa apa percakapan kami berikutnya. Yang jelas, rasa kesal yang sama saya bawa untuk hari berikutnya, dan berikutnya.


After diksar selesai, saya harus akui saya kehilangan sumber kekesalan saya. kehilang teman berargumentasi. kehilangan sosok yang bisa saya salahkan.

Dan entah sejak kapan, setiap saya melihat dia berkeliaran saat jam istirahat, hati saya berdebar.



"Gue kayaknya suka deh sama dia" suara gue pelan jujur meluncur kepada seorang sahabat, eh bukan tiga atau empat orang sahabat.

dan tau apa reaksi mereka... " Whaaaaaattt Nisaaaa... mata lo sakit apa gimana Sa??? Arkooo Saaa?? Ya Alloooh Saa.. ga ada yg lebih bagus dari Arko Saaa?"


iya jahat ya, temen-temen saya.


Tapi memang sih ya,,, dari dulu selera saya terhadap cowok, terutama terkait fisik, menurut temen-teman saya itu parah banget. Tapi ya namanya juga selera yaa,,,




Singkat cerita, saya memendam perasaan ke Arko hampir 4 tahun lebih. Yess, bahkan saat saya sudah kuliah kemana, Arko kuliah kemanaaa...

Saya tidak tahu apakah Arko tahu perasaan saya atau tidak, dan terus terang itu bukan yang terlalu penting untk saya ketahui.


waktu berlalu. It almost 13 years semenjak saya "jatuh cinta" kepada Arko. Apakah perasaan saya saat ini sama seperti 13 tahun yang lalu?


yah jelas, sudah tidak sama.


Arko adalah bagian dari masa lalu saya. Bagian dari proses pedewasaan saya. belajar menyayangi seseorang di luar keluarga dan sahabat kita.

Dari "jatuh cinta" saya kepada Arko saya mulai mengenal diri saya--yang tidak terlalu penting untuk megetahui apakah orang yang saya sukai juga menyukai saya atau tidak. Hal terpenting saat itu adalah perasaan yang sedang saya rasakan saat itu sendiri.


Hari ini, yang saya tahu tentang Arko adalah Arko sudah meninggal beberapa minggu yang lalu. Sakit.

dua hari sebelum Arko meninggal, sebuah akun instagram dengan namanya me-"love" salah satu foto di instagram saya. Foto suami dan anak saya.

Ntah di balik akun itu benar Arko atau bukan. Tapi teman2 mengkonfirmasi bahwa benar itu akun pribadi milik Arko.



Berita meninggalnya Arko seperti berita yang senyap senyap saya dengar di antara tumpukan kerjaan dan urusan keluarga saya. Sepersekian detik saya berucap "Innalillahi wa innalillahi roj'un" telah berpulang seseorang yang pernah saya sukai diam-diam selama empat tahun.

dan cerita tidak habis di sini,

satu hari setelah kabar meninggal Arko, saya bermimpi sedang duduk di sebuah bangku kayu, di lorong kelas perkuliahan saya..

Arko datang dan duduk di samping saya, dia bilang "Nisa,,, besok saya sudah pergi lho..."

di dalam mimpi saya, saya tau kalau Arko sudah meninggal. "Iya Ka..." jawab saya

"Nanti saya kenalkan kamu dengan calon saya ya... " katanya, sambil berdiri dan pergi menghilang di ujung lorong.


Saya bingung tentang apa makna mimpi itu,, akhirnya saya me-wa temen saya Eka,, dia yang jadi saksi keanehan saya kenapa memilih Arko...

begini kutipan wa saya:





EKA... LO SUPPER NGESELIN YAAA,,

Tuesday, June 25, 2019

Semoga Lebih Baik

Ada saatnya yang terbaik adalah meninggalkan.

Mengerti bahwa hidup bukan tentang mendapatkan semua yang kita inginkan. Tapi juga mendapatkan kebahagiaan orang-orang yang kita butuhkan untuk tetap bertahan hidup.
Setelah cukup lama hanya mendengarkan, mungkin saatnya saya menjawab dengan tulisan ini. Untuk kalian yang mungkin saat ini bersedih karena berbagai macam hal. Tapi tenanglah. Kadang kesedihan harus dirayakan. karena kesedihan adalah obat yang bisa jadi menguatkan. Paling tidak, ada cerita yang bisa dipelajari tentang bagaimana bertahan hidup di tengah ketidaknyamanan.

Mungkin saya tidak pernah ada di posisi yang saat ini kalian rasakan. Merasa dibuang. Dikhianati. Diacuhkan. Ditinggal. Tapi saya beri tahu satu kunci yang biasa saya bisikan kedalam kepala saya saat saya ada di titik lelah ingin menyerah: semua hanya untuk dilalui, dan pasti akan berlalu. Dan saya belajar bagaimana berkompromi untuk kemudian menyimpulkan; mungkin ini yang dimaksud dengan bersabar.

Maka bersabarlah, kawan. Semua hanya untuk dilalui dan diceritakan dnegan bangga suatu saat nanti. Semua akan berlalu begitu saja bahkan tanpa kamu sadari. Saya merasa tidak bisa menasehati, karena mungkin saya memang tidak bisa. Tapi semoga tulisan ini menenangkan untuk kamu yang saat ini.
Bersyukurlah ketika kamu tidak punya cukup jari untuk mensyukuri apa yang telah kamu miliki. Keluarga yang hangat, anak yang menyenangkan, pekerjaan yang layak untuk dibanggakan, teman-teman yang menguatkan dan banyak lagi. Lihatlah kebahagiaan yang sudah Tuhan berikan yang mungkin lupa kamu perhitungkan saat ini.
Tuhan selalu seimbang. Ada perhitungan Tuhan yang mungkin belum kita pahami sekarang. Tapi percayala, Tuhan tidak menciptakan umatNya hanya untuk bersedih.
La Tahzan. Jangan bersedih.

Mulailah menghitung apa yang lupa kamu hitung selama ini.

Tentang apa-apa yang membuatmu tersenyum dan tetap berjuang hingga detik ini.

Semoga menjadi lebih baik.

Thursday, February 14, 2019

KITA TIDAK BUTUH LEBIH, JIKA CUKUP SUDAH MENCUKUPI




Krisna kembali lagi. Saya menulis lagi.

kali ini Krisna menceritaka sebuah dongeng tentang Petani bernama sungai.
Katanya, dongeng ini dikarang khusus buat saya.

Begini ceritanya...

Di sebuah desa di atas bukit nan jauh di sana, hiduplah seorang petani bersama istri dan ibu nya yang sudah tua. Desa yang mereka tempati bernama Desa Pelangi.
Hampir semua penduduknya hidup dengan cara bertani, berkebun dan berternak. Pun dengan petani sederhana ini yang bernama Sungai.

Suatu ketika, Desa Pelangi dilanda wabah penyakit yang membuat para orang tua demam, serta anak-anak menggigil dan demam. Tak seorangpun tabib yang tau penyebab dan obat apa yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Seluruh desa panik karena wabah itu menyerang hampir seluruh anak-anak dan orang tua di sana. Tidak luput ibu petani yang bernama Sungai tadi.

Suatu pagi Sungai berpamitan dengan istrinya sedang hamil tua untuk berladang.
“Aku harus berladang untuk mengambil beberapa jagung dan kentang sebagai makan malam kita nanti. Kau jaga ibu, ya...” ujar Sungai.

“Baik suamiku, semoga rezki yang berkah menyertaimu. Semoga jagung dan kentang yang tumbuh di ladang kita adalah terasa manis dan lezat. Aku akan jaga ibu, berladanglah dengan tenang” ucap sang istri sambil mencium punggung tangan suaminya.

“Kaupun jaga kesehatan. Jangan terlalu lelah, sebelum matahari terbenam aku sudah di rumah.”
Pergilah Sungai ke ladang dengan kereta yang ditarik oleh satu kuda miliknya.

***

Siangpun menjelang. Pintu rumah terdengar diketuk keras. Ternyata Ibu Arta tetangga sebelah.
“Ada apa Bu Arta? Apakah semua baik-baik saja?” rentet istri Sungai panik kepada tetangganya yang mengetuk pintunya denga panik juga.

“Kau sudah dengar berita saudagar kaya yang akan membagikan emas di kaki bukit?!” tanya Bu Arta denggan mata hampir keluar.

“Saudagar? Emas? Aku belum mendengar apapun” jawab istri Sungai.

“Lekas kau bereskan pakaian suamimu, Mia! agar ketika dia pulang dari ladang dia bisa langsung berangkat menuju kaki bukit! Aku sudah mengemas baju suamiku, mungkin suamimu dan suamiku bisa berangkat bersama!”

Istri Sungai diam sejenak, “tapi ibu mertuaku sedang sakit, akupun hanya menunggu hari untuk melahirkan anakku, kalau suamiku pergi siapa yang akan menjaga kami?, dan bukankah anak Bu Arta juga sedang sakit terkena wabah?”

“Kau yakin akan melewatkan kesempatan ini? Kapan lagi ada Saudagar kaya raya yang mau membagikan emas kepada keluarga petani yang tinggal di ujung bukit seperti kita ini?! Ah sudahlah, kau pikirkan lagi. Andrew anakku memang masih demam, tapi aku bisa merawatnya tanpa suamiku. Janganlah menjadi istri yang manja, Mia!”

Sepulangnya Bu Arta, Mia terduduk di ruang tamu sambil mengelus perutnya yang sudah sangat besar. “kau akan lahir kapan, Nak? Tidak apa-apa jika ayah pergi mengambil emas seperti yang kau dengar tadi dari mulut Bu Arta? Lalu bagaimana nenek yang juga sedang sakit? Apakah kau mau membantu ibu menjaga nenek juga?”.

Sore haripun tiba. Sungai datang dengan membawa hasil ladang yang banyak. Jagung dan kentang tampak lezat. Mia langsung memasak kentang dan jagung untuk makan malam di dapur. Selepas membereskan hasil ladang dan mandi, Sungai menghampiri sang ibu yang masih sakit.

“Sungai, anakku. Apakah hasil ladang kita baik?” tanya ibu Sungai yang masih lemah.

“Sagat baik, Bu. Jagung terasa sangat manis. Kentang pun sangat besar dan kualitas bagus. Mia sedang memasak sup jagung untuk makan malam kita”.

“Syukurlah. Sungai, tadi tetangga sebelah datang kesini menemui Mia, namun karena suaranya yang sangat nyaring, sedikit-sedikit ibu mendengar bahwa katanya besok akan ada saudagar kaya yang akan membagikan emas untuk keluarga petani seperti kita di kaki bukit”.

“Aku sudah mendengarnya, Bu... beberapa petani di ladang langsung pulang tadi untuk berkemas dan berangkat ke kaki bukit malam ini agar besok tidak kehabisan emas.”

“Kau tidak berangkat, Sungai?”

“Aku rasa tidak, Bu... Ibu masih sakit dan Mia sedang hamil tua mengandung anakku. Aku tak bisa meninggalkan kalian di sini begitu saja.”

“Jika ibu menjadi salah satu alasan kau tidak pergi, ibu hanya ingin bilang bahwa ibu tidak apa-apa, Sungai. Mia menjaga ibu dengan sangat baik saat kau pergi berladang. Tapi ada baiknya kau bicarakan hal ini dengan Mia, mungkin dia punya pendapat lain.”

Pembicaraan anak dan ibu itu terhenti saat makan malam sudah terhidang di atas meja. Ibu yang masih lemah ingin turut mengisi kursi makan kayu untuk menyantap hidangan sederhana namun hangat.

“Mia, sup ini sangat enak.”puji sang mertua.

“Jagungnya sudah manis, Bu,,, jadi dimasak apapun akan terasa enak”, ujar Mia sambil tersenyum. “suamiku, tadi bu Arta datang ke sini, katanya besok akan ada saudagar kaya raya yang baik hati akan membagikan emas untuk para petani seperti dirimu. Suami Bu Arta berangkat mala mini. Akupun sudah membereskan bajumu jika kau memang ingin berangkat ke situ.”

“Kau ingin aku berangkat, Istriku?” tanya Sungai.

“Aku tidak tahu. Satu sisi kita butuh emas itu, satu sisi aku ingin kau di sini saja, tapi entahlah. Mungkin kau lebih baik pergi juga, saat anak ini lahir, kita mungkin membutuhkan emas itu untuk membesarkannya.” Jawab istri Sungai sambil menunduk dan mengelus perutnya yang saat ini sudah mentok ke meja kayu mereka yang kecil.

“Bolehkah aku tidak berangkat?”tanya Sungai, lagi.

Sang istri langsung menatap mata suaminya dengan berkaca-kaca.
“Apakah tidak apa-apa jika kau tidak berangkat?”tanya istrinya lagi.

“Ada dua bidadari yang harus kujaga di sini, satu bidadari adalah ibuku, dan satu bidadari lagi adalah ibu dari calon anakku. Biarlah keluarga kita tidak mendapatkan emas, hasil ladang kita bagus, kurasa cukup untuk pemasukan keluarga kita dan tabungan jika si kecil lahir. Lagi pula ibu masih sangat lemah, dan kau Mia, bisa jadi saat aku pergi, kau akan melahirkan sendiri. Mia, istriku, kau mengandung dan menahan beban sendirian selama Sembilan bulan ini, aku tak akan sampai hati jika kau harus melahirkan anakku sendiri juga. Jadi.. Ibuku dan istriku... apakah boleh aku tetap di sini menjaga kalian?”

Istri sungai menunduk sambil menutup matanya yang sudah basah dengan air mata. Sedangkan sang ibu hanya tersenyum sambil terus menghabiskan sup jagungnya, sambil menyeka ujung matanya yang juga basah.

Pagi itu, Sungai berangkat ke ladang. Sama seperti biasanya, Mia mengantar sampai depan pagar sambil mencium tangan suaminya. Suasana Desa Pelangi pagi itu tak seramai biasanya. Para kepala keluarga pergi ke kaki bukit untuk mendapatkan emas sang saudagar kaya. Beberapa meninggalkan anak-anak dan orang tuanya yang masih demam terkena wabah.
Sungai tetap meladang dengan tenang.

Keesokan harinya, para kepala keluarga kembali ke Desa Pelangi dengan membawa barang-barang baru. Ada yang membawa kuda baru, alat pembajak baru, makanan yang enak dan lain-lain serba baru hasil menjual emas yang mereka dapatkan.

Sungai menatap dari ladangnya. Mungkin jika aku pergi ke kaki bukit, aku bisa membawa barang-barang itu untuk istriku dan ibuku. Atau mungkin malam ini kami bia makan malam dengan santapan yang lezat. Apakah keptusanku salah? Ah sudalah, rezeki sudah ada yang mengatur.

“Pak Sungai!!”Istri Pak Sungai akan melahirkan!!” teriak dari suara wanita yang sangat ia kenal. Bu Arta!. Sungai langsung berlari dan bergegas menuju rumah.
Tampak Mia yang sedang berjuang menahan sakit di kamar di temani sang ibu yang sudah sangat membaik kondisi kesehatannya. Seorang tabib juga tampak di kamar itu.
Sungai langsung memegang tangan istrinya, menemaninya, memberikan kekuatan untuk istrinya dan calon anaknya. “Kau bisa, Mia-ku”, kemudian Sungai meletakan tangannya di atas perut Mia, “Ayo anakku, bantu bunda, segeralah keluar.”

Dan beberapa jam kemudian, terdengarlah suara tangisan anak perempuan yang sangat cantik.

Dua hari selepas Sungai dan Mia menjadi orang tua. Lagi-lagi terdengar suara pintu yang diketuk terburu-buru. Bu Arta.

“Mia!!! Mia!!! Apakah Pak Sungai ada di rumah?”

“Ya Bu,,, ada yang bisa saya bantu”, jawab Sungai dari belakang Mia.

“Endrew anakku... dia kejang-kejang!! Suamiku juga sedang sakit, kami butuh tumpangan untuk ke tabib, tolong lah...”

Bergegas Sungai menyiapkan kereta kudanya, Mia dan Anaya—gadis kecil berumur dua hari—beserta ibu Sungai diperintahkan untuk tetap di rumah.

Sungai dan keluarga Bu Arta bergegas menuju rumah tabib terdekat.

Malang tak dapat ditolak, anak Bu Arta tidak terselamatkan. Saat di rumah tabib, Edrew masih menggigil kedinginan, namun tak lama setelah masuk ruang tindakan, Endrew berhenti menggigil. Berhenti bernafas. Endrew dinyatakan meninggal.

Bu Artha serta merta lemas dan lunglai melihat anaknya yang saat ini terbujur kaku. Suami Bu Arta pun tak kalah lemas. Saat ini yang di kepala Sungai hanyalah ingin cepat-cepat memeluk anak dan istrinya.

Hari sudah sangat gelap saat Sungai kembali ke rumah. Dia melihat kamarnya, tampak si kecil Anaya yang tidur pulas di samping Mia yang juga tampak pulas.

“Kau sudah pulang, Sungai” suara ibu Sungai sedikit mengagetkan.

“Cepat mandi, akan ibu panaskan makan malam untukmu. Jangan bangunkan Mia, dia sudah sangat lelah mengurus Anaya seharian”ujar sang ibu. Sungai mengangguk dan lekas mandi kemudian duduk di kursi makan.

“Bagaimana kondisi keluarga Bu Arta?” tanya sang ibu.

“Ëndrew meninggal. Bu Arta dan suaminya sangat bersedih. Akupun, Aku tak bisa membayangkan kalau aku di posisi itu, ibu...”

“Mungkin, kalau dua hari yang lalu Bu Arta dan suaminya lebih memilih untuk merawat Endrew yang sedang demam ketimbang berangkat mencari emas... mungkin...” ucap ibu.

“Sudahlah, Bu... hidup dan mati seseorang sudah dituliskan dalam takdir yang tidak dapat diganggu-gugat. Jika takdir sudah menuliskan Endrew meninggal hari ini, maka tak ada hal lain yang bisa mengubah, sekalipun suami Bu Arta tetap tinggal di desa.”

“Tapi paling tidak, jika kemarin dia tidak berangkat, dia punya waktu lebih banyak bersama anaknya...”

“Sudahlah bu... ibu kan yang mengajari Sungai bahwa di dalam hidup itu kita akan menemukan banyak pilihan. Semua orang mengambil pilihan pasti dengan pertimbangan. Mungkin keluarga Bu Arta memang sedang membutuhkan uang saat itu.”

“Keluarga kita juga membutuhkan uang...” potong ibu.

“Ibu mengapa berkata seperti itu? Apakah ibu sebenarnya ingin Sungai ke kaki bukit untuk mendapatkan jatah emas?”

“Tidak anakku. Sesungguhnya kemarin ibu sangat bersyukur kau tidak berangkat ke kaki bukit. Ibu senang kau lebih memilih keluargamu daripada emas. Ibu bangga dengan pilihanmu. Mungkin keluarga kita tidak mempunya makanan lebih, pakaian lebih, rumah yang luas. Tapi kita punya makanan yang cukup, pakaian yang cukup dan rumah yang cukup nyaman. Kita tidak perlu lebih. Yang kita butuhkan hanya cukup. Karena cukup adalah cukup. Harta tak akan usai jika dikejar. Bisa jadi saat kau mengejar harta, kau kehilangan yang lebih berharga daripada harta yang sedang kau kejar itu. Rezki itu tak hanya uang, tak hanya emas, tak hanya makanan yang enak. Kesehatan, waktu luang bersama keluarga adalah rezki yang luar biasa dan harus disyukuri. Kelak, jika ibu sudah tidak ada, ajarkan Anaya untuk bisa merasa cukup. Ajarkan dia untuk senantiasa bersyukur untuk rezki sekecil apapun yang ia dapat. Sesungguhnya orang yang bersyukur hatinya akan selalu terasa penuh dan utuh”.

Malam semakin larut. Perbincangan ibu dan anak laki-lakinya berhenti saat priring makan malam telah kosong tak bersisa. Sungai dan keluarganya memang tidak punya makanan lebih, namun mereka punya makanan yang cukup. Dan itu sudah cukup.


***

Itu dongeng yang diceritakan oleh Krisna untukku.


Setelah sekian tahun aku berhenti menulis, dongeng Krisna membuatku untuk menulis lagi, karena mungkin, di luar sana juga banyak orang yang butuh memabaca dongeng ini.


Jakarta, 15 Februari 2019

Thursday, June 9, 2016

PRODJEK BAHAGIA #2



Prodjek Bahagia 2 adalah buah hati dari proses mencari dan memberi kebahagiaan. Prodjek Bahagia 2 adalah ihktiar kami untuk menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah bukan tentang mencari, tapi menciptakan; bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi tentang seberapa banyak yang bisa kita bagi.

”Katakanlah, ’Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.’ Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi Rezeki yang terbaik.”(QS Saba, 34: 39)

Di bulan Ramadhan kali ini, kami mencoba untuk menghadirkan lagi wadah kebahagiaan untuk kita semua.

Sebuah wadah berisi “ingat” bagi yang lupa bahwa ada hak orang lain di dalam harta kita.

Sebuah wadah yang berisi “pesan” bagi yang tidak tahu akan menyalurkan sebagian rejeki nya kemana.

Sebuah wadah yang berisi “harapan” bagi kita semua untuk menciptakan kebahagiaan lebih banyak lagi, dan lebih banyak lagi.

Dunia, dan semua hal yang kita khawatirkan terkadang membuat mata, telinga dan hati kita kurang peka dan lupa bahwa ada hak orang lain dalam harta kita. Kemudian waktu terasa menyempit akibat rutinitas-rutinas yang kita benarkan sebagai kewajiban tanpa sadar kita melalaikan kewajiban kita yang sesungguhnya kepada Tuhan.

Maka, saat ini dengan Prodjek Bahagia 2, kami mengajak anda untuk merenggangkan waktu sejenak dari sekedar memikirkan ‘aku ataupun saya’ saja.
Di bulan yang penuh berkah ini, Prodjek Bahagia kembali dilaksanakan untuk mengajak kita semua berbahagia bersama dengan membahagiakan orang-orang di sekitar kita. Sesungguhnya, bahagia adalah kata sifat yang anomali: semakin banyak kebahagiaan yang kita beri, semakin banyak kebahagiaan yang kita dapatkan.


Prodjek Bahagia 2 kali ini memiliki cakupan wilayah pesebaran yang lebih luas, karena kali ini kami dibantu oleh kawan-kawan dari Sulawesi , Sumatra, dan Kalimantan, sehingga semua hasil kebahagiaan ini akan disalurkan ke tempat-tempat tersebut. Adapun kegiatan yang kami rancang dalam Prodjek 2 ini adalah:


Bahagia Bersama Anak Yatim

Alat Solat Untuk Semua

Bercerita Kebaikan Lewat Buku dan Kemakmuran Taman Pendidikan Al-Qur’an

Memperindah Rumah Allah



Bahagia Bersama Anak Yatim

Bentuk penyaluran dana adalah secara tunai, hal ini atas dasar pertimbangan kami dan pelajaran yang kami dapat dari PRODJEK BAHAGIA #1, bahwa bantuan dalam bentuk tunai adalah bantuan yang paling flexsibel untuk dimanfaatkan dan digunakan sesuai kebutuhan yang diperlukan. Namun kami tetap akan merencanakan untuk melakukan kegiatan buka puasa bersama atau sahur bersama anak yatim di salah satu daerah lingkup PRODJEK BAHAGIA #2 ini.
Semakin banyak dana yang terkumpul, semakin banyak anak yatim yang tersenyum dan (semoga) bahagia :)


Alat Solat untuk Semua

Tidak jauh berbeda dengan PRODJEK BAHAGIA #1, kali ini kami tetap akan melaksanakan distribusi alat solat, di temapt-tempat umum. Masih banyak tempat umum yang memiliki mushola dengan fasilitas alat sholat yang kurang memadai untuk dikenakan. Beberapa tempat umum yang memiliki mushola dengan keterbatasan alat sholat antara lain di pusat perbelanjaan (pada umumnya yang sholat ibu-ibu dan mukena sangat memprihatinkan), pom bensin, dan tempat-tempat lain.


Bercerita Kebaikan Lewat Buku dan Kemakmuran Taman Pendidikan Al-Qur’an

Kekerasan dan tindak asusila rentan di usia yang masih sangat dini saat ini. Hari ini, banyak anak-anak yang tidak memiliki masa kecilnya dengan utuh. Maka, melalui Program ini, kami berencana untuk membagikan buku yang bersifat edukasi ke tempat-tempat dalam rangka pembinaan akhlak anak.
Kemudian, kami sangat paham bahwa di balik sebuah proses pembelajaran anak, harus ada sosok yang bisa turut mendidik dan mengajarkan nilai-nilai budi pekerti luhur di luar lingkungan keluarga.
Taman Pendidikan Al-Qur’an sebagai sebuah wujud pendidikan dasar bagi anak-anak dalam mempelajari Al-Qur’an merupakan suatu lembaga yang vital keberadaannya demi mewujudkan generasi yang Qur’ani. Hal tersebut masih bertolak belakang dengan kesejahteraan yang diperoleh oleh para ustad-ustadzah yang memberikan pengetahuan pada anak-anak didik dalam mempelajari Al-Qur’an. Dengan demikian, perlu adanya gerakan untuk memberikan perhatian lebih bagi para ustad-ustadzah tersebut.

”Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf Alquran yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani).

Memperindah Rumah Allah


Terdapat banyak tempat ibadah yang fasilitasnya masih kurang memadai, seperti sajadah yang mulai usang karena penggunaan, tempat wudhu yang belum layak dan berbagai kekurangan yang lain. Oleh karena itu, perlu adanya kepedulian yang ekstra terhadap kondisi tempat ibadah kaum Muslim ini demi pelaksanaan ibadah yang khusyuk.

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At Taubah : 18).

Bisa kebayang enggak berapa amalan jariyah yang bisa kita dapat ketika Yatim yang kita santuni bisa tumbuh menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain; Buku yang kita beri senantiasa menjadi ilmu yang terus diajarkan kepada siapa saja yang membacanya; Ilmu yang bermanfaat tidak putus-putusnya disebar oleh punggawa-punggawa Islam di TPA; Dan berapa sujud yang khusyuk yang bisa kita dapat ketika dana bisa dibelikan untuk emngganti sajadah yang telah usang di sebuah masjid??

Dan ketika amalan-amalan baik itu terus mengalir untuk kita, dan bermanfaat untuk orang lain? bisakah kelak kita mendefinisikan KEBAHAGIAAN dengan sederhana?

InsyaAllah, Iya.

”Katakanlah, ’Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.’ Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi Rezeki yang terbaik.”(QS Saba, 34: 39)


Salam Bahagia

Annisa dan Ayunita


klik lin di bawah


Yang mau tahu PRODJEK BAHAGIA #1
>>

Thursday, June 2, 2016

CERITA MENTARI PAGI INI


Sebut saja namanya Mentari, yang pagi ini sudah menemui saya pagi-pagi, “Aku sudah enggak tahan sama bosku”, katanya. Maka pagi itu Mentari dan saya duduk berdua untuk mendengarkan cerita ajaib bos Mentari.
Saya tidak akan menuliskan tentang keajaiban bos Mentari di sini. Jika keajaiban itu membuat Mentari tidak betah dengan bosnya, sudahlah pasti keajaiban bos Mentari bukanlah hal yang menyenangkan untuk diceritakan. Maka kali ini saya ingin menulis tentang Mentari itu sendiri.

Mentari yang karena cerita-ceritanya kemarin dan tadi pagi, membuat saya ingin bercerita kepada banyak orang, bahwa dari Mentari saya mengerti bahwa sekian persen dari hidup adalah tentang bertahan.
Mentari adalah seorang ibu juga istri yang—sebutlah bukan keinginannya—harus merantau ke Jakarta.

“Banyak orang yang enggak tahu apa-apa menilai aku lebih mementingkan uang daripada keluarga, padahal kalaupun aku bisa milih, yo aku maunya ngumpul sama anak dan suamiku”, tutur Mentari saat lalu kepada saya dan beberapa teman saya. Saat itu saya khidmat mendengarkan Mentari. Saya tahu benar bagaimana lemahnya hati saat diserang rindu untuk orang yang terkasihi, apalagi anak kandung sendiri. Saat itu Mentari bisa menceritakan dengan selipan canda, tapi aku pikir itu hanyalah usahanya untuk membuat ceritanya tidak menjadi cerita yang menyedihkan bagi dirinya sendiri.

Mentari bercerita, bahwa di awal masa kerja dulu, hampir setiap hari dia menangis sendiri di kamar kos nya karena beban rindu yang terlalu besar untuk keluarga kecilnya di kampung halaman. Hingga di satu titik, Mentari sadar, bahwa pilihan telah dibuat dan harus dipertanggungjawabkan. Menangis kadang meringankan kesedihan, namun sedih yang terlalu larut dan berkelanjutan hanya akan melemahkan keyakinan akan kebaikan rahasia Tuhan atas jalan hidup yang telah digariskan.

Jika situasi terasa sangat sulit untuk diubah bahkan hampir tidak mungkin, maka cara pandang kitalah yang harus kita ubah, berusaha melihat hal-hal baik sekecil apapun, berusaha menyukurinya dan menerimanya dengan ikhlas, hal ini yang bisa saya pelajari dari Mentari.

Saya tahu pasti, bahwa tidak mudah melalui hari yang digelantungi rindu kepada buah hati. Itulah mengapa saya tidak pernah melihat mana yang lebih baik antara ibu bekerja dengan ibu tidak bekerja. Semua ibu adalah baik. Bekerja dan tidak bekerja adalah pilihan dari kondisi kehidupan yang tidak bisa disamakan untuk semua orang.
Teringat seorang teman mengirimkan pesan yang cukup indah bagi saya untuk dipahami:

Kita diberi rezki dapat hidup selalu di dekat suami, maka ketika kawan kita berpisah jarak dengan suami dan keluarganya, kita bilang ia menggadaikan rumah tangga demi materi. Ternyata mereka tetap hidup rukun dan bahagia dalam perjuangan rumah tangganya.

Kita diberi rezki menjadi ibu rumah tangga, maka ketika kawan kita memilih untuk bekerja di kantor, kita bilang ia menggadaikan masa depan anaknya. Ternyata ia bangun lebih pagi dari kita, belajar lebih banyak dari kita, berbicara lebih lembut kepada anak-anaknya, dan berdoa lebih khusyuk memohon kepada Tuhan untuk kehidupan anak-anaknya.


Saya sangat suka tulisan ini. Kita memang tidak pernah cukup adil dalam menilai kehidupan seseorang. Karena kita tidak pernah cukup tahu tentang apa yang telah mereka lewati, atau kehidupan seperti apa yang sedang mereka jalani. Toh, hidup adalah tentang pilihan. Hidup adalah tentang bertanggungjawab dengan pilihan tersebut.

Kembali kepada Mentari. Pagi ini Mentari bercerita tentang bosnya yang ajaib tadi, saya melihat matanya berkaca-kaca memantulkan rasa lelah yang mungkin terasa di dalam hatinya.

“Dia itu seolah-olah orang kaya, tapi kelakuannya ngelebih-lebihi dari orang yang enggak punya! Apa-apa duid, duid, duid, heran aku, di kepalanya kok kayanya cuma duid aja tu lho, Sa!”

“Sabar, mbak... Allah itu enggak akan ngasih cobaan di luar kemampuan kita. Allah ngasih cobaan bos rese ke Mbak, karena Dia tahu kalau ngasihnya ke aku, aku belum tentu bisa sabar kaya Mbak Tari... orang kaya bosnya mbak sering-sering di al-fatihah-in aja mbak sehabis solat... Allah itu kan Maha Pembolak-balik hati manusia... siapa tahu nanti si bos bisa sadar sama kelakuannya yang keliru selama ini...” jawab saya.

“Aku sudah sangat berusaha buat bersabar, Sa... tapi kadang ya aku ga tahan juga... dan sering bingung mau cerita ke siapa... Maaf ya, Sa... kamu jadi tong sampahku pagi ini, dengerin cerita-cerita bosku yang enggak penting”

“Mungkin Allah tuh lagi menyiapkan Mbak Tari jadi orang besar nantinya... Allah kasih contoh bos yang salah saat ini, biar nanti kalau Mbak Tari jadi bos, mbak enggak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bos mbak saat ini”

“Amin ya, Sa...”

Saya bersyukur pagi ini Mentari menghampiri saya dengan ceritanya. Sudah lama sekali saya tidak mendengarkan. Dulu, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di ruang tamu untuk mendengarkan teman-teman saya yang silih berganti bercerita tentang banyak hal. Saya suka mendengarkan. Karena saat mendengarkan saya berpikir dan menebak-nebak apa yang dipikirkan Tuhan saat menciptakan kehidupan seorang manusia. Sesedih apapun cerita itu, segetir apapun seseorang menceritakan hidupnya, tapi saya selalu yakin Tuhan Maha Baik. Seperti sebuah luka yang kita dapat, adalah untuk mengajarkan kita bagaimana caranya mengobati dan meredakan rasa sakit, juga tentang bagaimana kemudian kita paham, bahwa luka adalah sesuatu yang sementara.

Hidup itu tidak selalu mudah, maka itu berarti hidup tidak akan terus-menerus susah. Adakalanya kita di bawah, dan melihat banyak ketidak-adilan di atas sana, tapi sekali lagi, keadilan adalah hal terabstrak di dunia ini selama manusia terlalu mudah menilai seseorang sesederhana benar dan salah, hitam dan putih. Bertahanlan saat di bawah, belajarlah banyak hal, agar kelak kita paham benar bagaimana berada di atas dengan gagah, dan memberi contoh kebaikan untuk mereka yang di bawah. Amin.