Thursday, February 14, 2019

KITA TIDAK BUTUH LEBIH, JIKA CUKUP SUDAH MENCUKUPI




Krisna kembali lagi. Saya menulis lagi.

kali ini Krisna menceritaka sebuah dongeng tentang Petani bernama sungai.
Katanya, dongeng ini dikarang khusus buat saya.

Begini ceritanya...

Di sebuah desa di atas bukit nan jauh di sana, hiduplah seorang petani bersama istri dan ibu nya yang sudah tua. Desa yang mereka tempati bernama Desa Pelangi.
Hampir semua penduduknya hidup dengan cara bertani, berkebun dan berternak. Pun dengan petani sederhana ini yang bernama Sungai.

Suatu ketika, Desa Pelangi dilanda wabah penyakit yang membuat para orang tua demam, serta anak-anak menggigil dan demam. Tak seorangpun tabib yang tau penyebab dan obat apa yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Seluruh desa panik karena wabah itu menyerang hampir seluruh anak-anak dan orang tua di sana. Tidak luput ibu petani yang bernama Sungai tadi.

Suatu pagi Sungai berpamitan dengan istrinya sedang hamil tua untuk berladang.
“Aku harus berladang untuk mengambil beberapa jagung dan kentang sebagai makan malam kita nanti. Kau jaga ibu, ya...” ujar Sungai.

“Baik suamiku, semoga rezki yang berkah menyertaimu. Semoga jagung dan kentang yang tumbuh di ladang kita adalah terasa manis dan lezat. Aku akan jaga ibu, berladanglah dengan tenang” ucap sang istri sambil mencium punggung tangan suaminya.

“Kaupun jaga kesehatan. Jangan terlalu lelah, sebelum matahari terbenam aku sudah di rumah.”
Pergilah Sungai ke ladang dengan kereta yang ditarik oleh satu kuda miliknya.

***

Siangpun menjelang. Pintu rumah terdengar diketuk keras. Ternyata Ibu Arta tetangga sebelah.
“Ada apa Bu Arta? Apakah semua baik-baik saja?” rentet istri Sungai panik kepada tetangganya yang mengetuk pintunya denga panik juga.

“Kau sudah dengar berita saudagar kaya yang akan membagikan emas di kaki bukit?!” tanya Bu Arta denggan mata hampir keluar.

“Saudagar? Emas? Aku belum mendengar apapun” jawab istri Sungai.

“Lekas kau bereskan pakaian suamimu, Mia! agar ketika dia pulang dari ladang dia bisa langsung berangkat menuju kaki bukit! Aku sudah mengemas baju suamiku, mungkin suamimu dan suamiku bisa berangkat bersama!”

Istri Sungai diam sejenak, “tapi ibu mertuaku sedang sakit, akupun hanya menunggu hari untuk melahirkan anakku, kalau suamiku pergi siapa yang akan menjaga kami?, dan bukankah anak Bu Arta juga sedang sakit terkena wabah?”

“Kau yakin akan melewatkan kesempatan ini? Kapan lagi ada Saudagar kaya raya yang mau membagikan emas kepada keluarga petani yang tinggal di ujung bukit seperti kita ini?! Ah sudahlah, kau pikirkan lagi. Andrew anakku memang masih demam, tapi aku bisa merawatnya tanpa suamiku. Janganlah menjadi istri yang manja, Mia!”

Sepulangnya Bu Arta, Mia terduduk di ruang tamu sambil mengelus perutnya yang sudah sangat besar. “kau akan lahir kapan, Nak? Tidak apa-apa jika ayah pergi mengambil emas seperti yang kau dengar tadi dari mulut Bu Arta? Lalu bagaimana nenek yang juga sedang sakit? Apakah kau mau membantu ibu menjaga nenek juga?”.

Sore haripun tiba. Sungai datang dengan membawa hasil ladang yang banyak. Jagung dan kentang tampak lezat. Mia langsung memasak kentang dan jagung untuk makan malam di dapur. Selepas membereskan hasil ladang dan mandi, Sungai menghampiri sang ibu yang masih sakit.

“Sungai, anakku. Apakah hasil ladang kita baik?” tanya ibu Sungai yang masih lemah.

“Sagat baik, Bu. Jagung terasa sangat manis. Kentang pun sangat besar dan kualitas bagus. Mia sedang memasak sup jagung untuk makan malam kita”.

“Syukurlah. Sungai, tadi tetangga sebelah datang kesini menemui Mia, namun karena suaranya yang sangat nyaring, sedikit-sedikit ibu mendengar bahwa katanya besok akan ada saudagar kaya yang akan membagikan emas untuk keluarga petani seperti kita di kaki bukit”.

“Aku sudah mendengarnya, Bu... beberapa petani di ladang langsung pulang tadi untuk berkemas dan berangkat ke kaki bukit malam ini agar besok tidak kehabisan emas.”

“Kau tidak berangkat, Sungai?”

“Aku rasa tidak, Bu... Ibu masih sakit dan Mia sedang hamil tua mengandung anakku. Aku tak bisa meninggalkan kalian di sini begitu saja.”

“Jika ibu menjadi salah satu alasan kau tidak pergi, ibu hanya ingin bilang bahwa ibu tidak apa-apa, Sungai. Mia menjaga ibu dengan sangat baik saat kau pergi berladang. Tapi ada baiknya kau bicarakan hal ini dengan Mia, mungkin dia punya pendapat lain.”

Pembicaraan anak dan ibu itu terhenti saat makan malam sudah terhidang di atas meja. Ibu yang masih lemah ingin turut mengisi kursi makan kayu untuk menyantap hidangan sederhana namun hangat.

“Mia, sup ini sangat enak.”puji sang mertua.

“Jagungnya sudah manis, Bu,,, jadi dimasak apapun akan terasa enak”, ujar Mia sambil tersenyum. “suamiku, tadi bu Arta datang ke sini, katanya besok akan ada saudagar kaya raya yang baik hati akan membagikan emas untuk para petani seperti dirimu. Suami Bu Arta berangkat mala mini. Akupun sudah membereskan bajumu jika kau memang ingin berangkat ke situ.”

“Kau ingin aku berangkat, Istriku?” tanya Sungai.

“Aku tidak tahu. Satu sisi kita butuh emas itu, satu sisi aku ingin kau di sini saja, tapi entahlah. Mungkin kau lebih baik pergi juga, saat anak ini lahir, kita mungkin membutuhkan emas itu untuk membesarkannya.” Jawab istri Sungai sambil menunduk dan mengelus perutnya yang saat ini sudah mentok ke meja kayu mereka yang kecil.

“Bolehkah aku tidak berangkat?”tanya Sungai, lagi.

Sang istri langsung menatap mata suaminya dengan berkaca-kaca.
“Apakah tidak apa-apa jika kau tidak berangkat?”tanya istrinya lagi.

“Ada dua bidadari yang harus kujaga di sini, satu bidadari adalah ibuku, dan satu bidadari lagi adalah ibu dari calon anakku. Biarlah keluarga kita tidak mendapatkan emas, hasil ladang kita bagus, kurasa cukup untuk pemasukan keluarga kita dan tabungan jika si kecil lahir. Lagi pula ibu masih sangat lemah, dan kau Mia, bisa jadi saat aku pergi, kau akan melahirkan sendiri. Mia, istriku, kau mengandung dan menahan beban sendirian selama Sembilan bulan ini, aku tak akan sampai hati jika kau harus melahirkan anakku sendiri juga. Jadi.. Ibuku dan istriku... apakah boleh aku tetap di sini menjaga kalian?”

Istri sungai menunduk sambil menutup matanya yang sudah basah dengan air mata. Sedangkan sang ibu hanya tersenyum sambil terus menghabiskan sup jagungnya, sambil menyeka ujung matanya yang juga basah.

Pagi itu, Sungai berangkat ke ladang. Sama seperti biasanya, Mia mengantar sampai depan pagar sambil mencium tangan suaminya. Suasana Desa Pelangi pagi itu tak seramai biasanya. Para kepala keluarga pergi ke kaki bukit untuk mendapatkan emas sang saudagar kaya. Beberapa meninggalkan anak-anak dan orang tuanya yang masih demam terkena wabah.
Sungai tetap meladang dengan tenang.

Keesokan harinya, para kepala keluarga kembali ke Desa Pelangi dengan membawa barang-barang baru. Ada yang membawa kuda baru, alat pembajak baru, makanan yang enak dan lain-lain serba baru hasil menjual emas yang mereka dapatkan.

Sungai menatap dari ladangnya. Mungkin jika aku pergi ke kaki bukit, aku bisa membawa barang-barang itu untuk istriku dan ibuku. Atau mungkin malam ini kami bia makan malam dengan santapan yang lezat. Apakah keptusanku salah? Ah sudalah, rezeki sudah ada yang mengatur.

“Pak Sungai!!”Istri Pak Sungai akan melahirkan!!” teriak dari suara wanita yang sangat ia kenal. Bu Arta!. Sungai langsung berlari dan bergegas menuju rumah.
Tampak Mia yang sedang berjuang menahan sakit di kamar di temani sang ibu yang sudah sangat membaik kondisi kesehatannya. Seorang tabib juga tampak di kamar itu.
Sungai langsung memegang tangan istrinya, menemaninya, memberikan kekuatan untuk istrinya dan calon anaknya. “Kau bisa, Mia-ku”, kemudian Sungai meletakan tangannya di atas perut Mia, “Ayo anakku, bantu bunda, segeralah keluar.”

Dan beberapa jam kemudian, terdengarlah suara tangisan anak perempuan yang sangat cantik.

Dua hari selepas Sungai dan Mia menjadi orang tua. Lagi-lagi terdengar suara pintu yang diketuk terburu-buru. Bu Arta.

“Mia!!! Mia!!! Apakah Pak Sungai ada di rumah?”

“Ya Bu,,, ada yang bisa saya bantu”, jawab Sungai dari belakang Mia.

“Endrew anakku... dia kejang-kejang!! Suamiku juga sedang sakit, kami butuh tumpangan untuk ke tabib, tolong lah...”

Bergegas Sungai menyiapkan kereta kudanya, Mia dan Anaya—gadis kecil berumur dua hari—beserta ibu Sungai diperintahkan untuk tetap di rumah.

Sungai dan keluarga Bu Arta bergegas menuju rumah tabib terdekat.

Malang tak dapat ditolak, anak Bu Arta tidak terselamatkan. Saat di rumah tabib, Edrew masih menggigil kedinginan, namun tak lama setelah masuk ruang tindakan, Endrew berhenti menggigil. Berhenti bernafas. Endrew dinyatakan meninggal.

Bu Artha serta merta lemas dan lunglai melihat anaknya yang saat ini terbujur kaku. Suami Bu Arta pun tak kalah lemas. Saat ini yang di kepala Sungai hanyalah ingin cepat-cepat memeluk anak dan istrinya.

Hari sudah sangat gelap saat Sungai kembali ke rumah. Dia melihat kamarnya, tampak si kecil Anaya yang tidur pulas di samping Mia yang juga tampak pulas.

“Kau sudah pulang, Sungai” suara ibu Sungai sedikit mengagetkan.

“Cepat mandi, akan ibu panaskan makan malam untukmu. Jangan bangunkan Mia, dia sudah sangat lelah mengurus Anaya seharian”ujar sang ibu. Sungai mengangguk dan lekas mandi kemudian duduk di kursi makan.

“Bagaimana kondisi keluarga Bu Arta?” tanya sang ibu.

“Ëndrew meninggal. Bu Arta dan suaminya sangat bersedih. Akupun, Aku tak bisa membayangkan kalau aku di posisi itu, ibu...”

“Mungkin, kalau dua hari yang lalu Bu Arta dan suaminya lebih memilih untuk merawat Endrew yang sedang demam ketimbang berangkat mencari emas... mungkin...” ucap ibu.

“Sudahlah, Bu... hidup dan mati seseorang sudah dituliskan dalam takdir yang tidak dapat diganggu-gugat. Jika takdir sudah menuliskan Endrew meninggal hari ini, maka tak ada hal lain yang bisa mengubah, sekalipun suami Bu Arta tetap tinggal di desa.”

“Tapi paling tidak, jika kemarin dia tidak berangkat, dia punya waktu lebih banyak bersama anaknya...”

“Sudahlah bu... ibu kan yang mengajari Sungai bahwa di dalam hidup itu kita akan menemukan banyak pilihan. Semua orang mengambil pilihan pasti dengan pertimbangan. Mungkin keluarga Bu Arta memang sedang membutuhkan uang saat itu.”

“Keluarga kita juga membutuhkan uang...” potong ibu.

“Ibu mengapa berkata seperti itu? Apakah ibu sebenarnya ingin Sungai ke kaki bukit untuk mendapatkan jatah emas?”

“Tidak anakku. Sesungguhnya kemarin ibu sangat bersyukur kau tidak berangkat ke kaki bukit. Ibu senang kau lebih memilih keluargamu daripada emas. Ibu bangga dengan pilihanmu. Mungkin keluarga kita tidak mempunya makanan lebih, pakaian lebih, rumah yang luas. Tapi kita punya makanan yang cukup, pakaian yang cukup dan rumah yang cukup nyaman. Kita tidak perlu lebih. Yang kita butuhkan hanya cukup. Karena cukup adalah cukup. Harta tak akan usai jika dikejar. Bisa jadi saat kau mengejar harta, kau kehilangan yang lebih berharga daripada harta yang sedang kau kejar itu. Rezki itu tak hanya uang, tak hanya emas, tak hanya makanan yang enak. Kesehatan, waktu luang bersama keluarga adalah rezki yang luar biasa dan harus disyukuri. Kelak, jika ibu sudah tidak ada, ajarkan Anaya untuk bisa merasa cukup. Ajarkan dia untuk senantiasa bersyukur untuk rezki sekecil apapun yang ia dapat. Sesungguhnya orang yang bersyukur hatinya akan selalu terasa penuh dan utuh”.

Malam semakin larut. Perbincangan ibu dan anak laki-lakinya berhenti saat priring makan malam telah kosong tak bersisa. Sungai dan keluarganya memang tidak punya makanan lebih, namun mereka punya makanan yang cukup. Dan itu sudah cukup.


***

Itu dongeng yang diceritakan oleh Krisna untukku.


Setelah sekian tahun aku berhenti menulis, dongeng Krisna membuatku untuk menulis lagi, karena mungkin, di luar sana juga banyak orang yang butuh memabaca dongeng ini.


Jakarta, 15 Februari 2019

No comments:

Post a Comment