Saturday, September 28, 2013

Nyanyian Angin Semeru

Kemarin aku melihat bulan tigaperempat di langit malam Semeru,
dan tak ada bayangan siapapun di situ

Keesokan harinya aku melawan dingin pagi untuk menanti bias cahaya matahari,
dan tidak ada senyum siapapun di situ

Siangnya, aku menanjaki yang mereka sebut Tanjakan Cinta,
dan tak kumasukan nama siapapun di kepala ataupun hatiku

Di ketinggian yang tak pernah ku tahu berapa tepatnya,
aku mendengar suara angin yang merdu...

Suara angin yang menyapa semak belukar dalam ketenangan alam semesta

Sedikit riuh,
tapi menenangkan

Kututup mata, mencoba merekam suara,
agar bisa kusimpan sebagai kenang-kenangan nanti saat aku dalam kejenuhan sepi

Aku kosongkan hati
AKu lepaskan semua harapan yang tak pernah menjadi kenyataan
dan aku belajar,bahwa ada saatnya kita menerima keadaan dimana kita tidak menerima apa yang kita harapkan


Kemarin,
saat angin datang kembali di pinggir danau Ranu Kumbolo,
kulepaskan semuanya...
Tak peduli berapa lama aku menyimpan harapan ini
Seharusnya memang sudah harus diakhiri...






Friday, September 27, 2013

Jatuh Cinta Seketika...

Bisakah kita jatuh cinta begitu saja?

Tanpa harus menebak,menerka dan mengira-ngira...



Bisakah kita jatuh cinta begitu saja?

Tanpa merencanakan dan memberikan tujuan pada akhirnya...



Bisakah kita jatuh cinta begitu saja?

tanpa rasa takut cinta ini akan mengganggu,

tanpa rasa khawatir cinta ini akan berlalu,

tanpa rasa malu cinta ini akan diabaikan,


Bisakah kita jatuh cinta hanya karena kita jatuh cinta?

bisakah?








Wednesday, September 18, 2013

Dan... Apakah kita...?

Dan apakah kita adalah dua hati yang saling menanti?
menghitung hari bersama-sama sambil melempar harap ke langit-langit mimpi.

Dan apakah kita adalah dua hati yang saling berdiam diri?
ragu untuk melangkah karena takut mengusik hati lainnya.

Dan apakah kita adalah dua hati yang buta arah?
tak tahu jalan pulang dan kemana harus menetapkan tujuan.


Dan apakah kita yang hanya mampu saling menatap dari jauh namun gagu menyapa?

Dan apakah kita yang hanya menunggu tanpa ada yang mau berlari terlebih dahulu?

Maka...Kita apa?

Mungkin... kita hanya serpihan-serpihan rindu yang terpaku.
Diam.
Bisu.

Kalau memang benar ada dinding di antara kita,
bisakah kau hancurkan untukku?

Karena setelah dinding itu runtuh,
maka aku berjanji akan menyapamu terlebih dahulu...

dan bertanya...

Apakah aku tujuan pulang mu?









Thursday, September 12, 2013

Berlarilah saja

Jika kali ini kau membacanya, maka aku bersyukur masih ada aku di kepalamu,

walau mungkin tidak di hatimu


Jika kali ini kau membacanya, maka sudahlah, kita cukupkan sampai kata terakhir tulisan ini


Kau...

Aku tidak tahu,


Berkali-kali ku buka hatiku, dan hanya bayangmu yang singgah dan berdiam di dalamnya


Kau...

Entahlah mengapa,


Berkali-kali ku berlari untuk menjauh dari sekedar kenangan tentangmu,
tapi selalu rindu yang ku dapat di akhir pelarianku.



Kau...

Kau harus tahu kali ini aku memilih pasrah.


Mungkin antara kau dan aku memang ada dalam rencana Tuhan,

Tapi kau untuk aku,entah akan menjadi apa dan siapa...

hanya Tuhan yang tahu,

dan aku pasrah akan itu.



Kau,


Bisakah kali ini kita sedikit berusaha agar Tuhan sedikit mengubah rencana apapun itu untuk kita?


Kau berlarilah ke barat,

dan aku akan berlari ke timur,


berjanjilah untuk saling menjauh...


Aku yakin ini tidak akan sulit untuk mu



Untuk bayanganmu yang selalu singgah di hatiku,

untuk rindu yang selalu mengikutiku,

sudahlah itu urusanku.



Berlari saja yang jauh...


pergi tinggalkan aku...

Jangan berbalik ke arahku,

Berlari saja sejauh yang bisa kau tempuh,



karena mungkin,

kau akan menemukan seseorang yang akan kau anggap pantas untuk diperjuangkan,


Tenang saja,

suatu hari,

aku akan bisa melupakanmu...


jadi, berlarilah saja,,,






Sunday, September 8, 2013

HARI INI KAMU BELAJAR APA?




Hari ini kamu belajar apa?

ini kalimat yang selalu saya lontarkan ketika saya bersedih. Saya pikir semua orang pernah bersedih. Semua orang pernah menangis. Dan itu wajar. Karena bagi saya, menangis adalah salah satu cara untuk bertahan.

Menangis untuk melegakan

atau mungkin untuk melupakan kesedihan.

Satu hal yang selalu saya yakini: DALAM KESEDIHAN, SAYA (seharusnya) BELAJAR SESUATU


***

Beberapa hari belakangan ini saya sering melontarkan kalimat ini, Nisa, hari ini kamu belajar apa?
Terutama saat bibik saya terserang Stroke beberapa hari yang lalu.

Malam itu, saya di IGD sangfat takut sekali. Sangat khawatir. Apa bibik akan baik-baik saja? Apa saya akan baik-baik saja?

Sungguh malam itu saya sangat takut.


Saat itu saya hanya berharap ada seseorang yang mengatakan "Enggak apa-apa, Sa... Enggak apa-apa, dan semuanya akan baik-baik saja" hanya itu. Tapi sayangnya malam itu, di ruangan IGD, tidak ada yang bisa saya ajak berbicara.

Kemudian saya memegang tangan bibik saya, "Enggak apa-apa, Bik... Enggak apa-apa..." dan seketika air mata saya mengalir.

Saat itu saya hanya berusaha menguatkan Bibik yang sedang tertidur karena saya berharap Tuhan akan menguatkan hati saya.


Hari ini belajar apa, Sa?

Tiba-tiba hati terdalam saya berbisik.

Saya tidak bisa menjawab.


Setidaknya "belum" untuk saat itu.


Malam itu, saya pulang dari RS. Sardjito sekitar pukul 01.00 dini hari.

Sesampai di kamar, saya sulit terlelap. Hari ini saya belajar apa?

Mata saya hampir tertutup...

Hari ini... Saya belajar untuk bertahan dalam ketakutan, Tuhan, Terimakasih.


-----


Keesokan harinya,

Saya dibuat bimbang dengan biaya rumah sakit yang cukup membuat saya deg-deg-an.

Bibik tidak punya jaminan kesehatan sama sekali. Jadi semua biaya harus dibayar 100% dengan dana priibadi. Tiba-tiba saya memikirkan kedua orang tua saya. Biaya rumah sakit ini kemungkinan besar akan menjadi tanggungan kami-- tanggungan kedua orang tua saya tepatnya. Kondisi ekonomi keluarga bibik sepertinya sulit untuk meng-cover biaya ini. Harga kamar unit stroke, alat, obat, dan berbagai macam tambahan lainnya benar-benar bukan angka yang kecil bagi saya dan keluarga saya.

Tapi saya harus bagaimana?

Saya khawatir.
...

Kasian Papah dan Ibu...


Saat itu, suara Ibu terdengar dari seberang telepon. Perlahan saya ceritakan perkembangan kesehatan bibik dan perkiraan biaya yang harus dibayar dengan biaya kamar per malam, alat serta obat yang harus disuntikan. Kemudian ibu menjawab:

"Ya sudah, dek... doakan saja Papah bisa dapat rejeki untuk bayar rumah sakit bibik ya... Bibik tidak perlu tahu soal biaya ini. Tolong bilang ke bibik, Ibu minta maaf karena belum bisa nengok ke jogja karena masih harus nemenin Papah lagi banyak acara keluarga yang harus dihadiri. Dedek sudah makan? jaga kesehatan ya Nak. Mungkin keluarga kita sedang dicoba sama Allah... In Sya Allah kita diberi rejeki pengganti ya..."

Tuhan... terimakasih sudah menjadikan seorang bidadari sebagai ibuku.

Malam itu, hati kecil saya kembali bertanya, 'Hari ini belajar apa, Sa?'

Sebelum menutup malam itu, saya menjawab

"Hari ini saya belajar Ikhlas... Saya belajar ikhlas dari Papah dan Ibu... Tuhan, terimakasih".


----



Malam ini, saat saya akhirnya memutuskan menulis tulisan ini, saya baru saja selesai berbicara dengan anak laki-laki Bibik saya yang umurnya sekitar enam tahun di bawah saya. Namanya Edi.

"Kenapa Mbak enggak ngomong ke saya kalau biayanya sebesar itu?"

"Di,,, yang terpenting sekarang coba kamu urus JAMKESDA untuk Bibik. Soal biaya yang mungkin enggak ter-cover JAMKESDA nanti In syaa Allah Ibuku dan Papahku yang nalangin. Kamu fokus ngurus JAMKESDA saja"

"Tapi itu biayanya besar Mbak... saya nanti harus mengembalikannya bagaimana ke Bude (panggilan Edi ke Ibu saya)?"

"Kamu kembaliin pake doa saja Di,,, kata Ibuku,,, kamu tolong doain keluarga ini agar dapet rezeki yang cukup buat ngeganti ini semua. Bibik juga keluarga sini, Di,,,"

Saat itu Edi menunduk dan menangis. "Mbak... saya hutang budi sama keluarga ini..."

"Kamu sudah Isya, Di? Kalau belum kamu Isya dulu sana... walau kata Dokter Bibik harus dirawat 14 hari, tapi apapun bisa berubah kalau Allah berkehendak, Di... Kamu jangan lupa doakan Bibik biar lekas sembuh" Saya cuma bisa menjawab itu.



setelah berakhirnya perbincangan saya dengan Edi. Baru beberapa jam yang lalu, hati terdalam saya kembali bertanya;

"Hari ini belajar apa, Sa?"


...


...


Entahlah, apa yang saya pelajari malam ini. Tapi saya menyadari beberapa hal, bahwa...

Saya cengeng,

Saya Egois,

Saya terlalu sering mengeluh.



Apa jadinya kalau saya di posisi Edi?


Saya memang masih harus banyak belajar, Tuhan.