Thursday, December 30, 2010

Ketika saya menemukan "saya" di dalam seorang Putu Wijaya






Atas semua kata, bahkan kebisuan yang menyimpan berjuta makna,
terimakasih.


2007.
Saat semua berawal dari sebuah rencana Tuhan. Takdir saya menyebutnya.

Saya bukan pribadi yang terlalu merencanakan kehidupan. Saya tidak terlalu suka memilih, saya hanya ingin menjalani. Nilai raport saya yang memungkinkan saya diterima di FH UII tanpa test, ternyata tidak lebih mutlak dari kehendak Tuhan yang meluluskan saya untuk mengecap rasa kehidupan mahasiswa di FH UGM.

Itu tiga tahun yang lalu.
Saya tidak memilih UGM sebagai sekolah saya. Tuhan yang menakdirkan itu untuk saya.
Terimakasih Tuhan.

Catatan ini pada akhirnya saya tulis seteleh mendapatkan petuah dari seorang kakak kelas beda zaman: PUTU WIJAYA.
Kali pertama saya bertemu dengan beliau, dan saya jatuh cinta dengan pribadi ini.
Dalam ceritanya yang tenang, saya menemukan diri saya dalam hidupnya. Apa yang beliau ceritakan tentang hidupnya, seperti sedang menceritakan kehidupan saya saat ini.

"Entahlah, selama saya menjadi mahasiswa Hukum, saya merasa saya tidak begitu memahami dan memaknai tentang hukum itu sendiri. Saya seperti tidak belajar apa-apa. Mungkin karena beberapa teori hukum tidak sejalan dengan pemaknaan hukum dalam diri saya".

Oh Crap!! Putu Wijaya seolah menyampaikan apa yang ada di dalam fikiran saya selama ini. Dan saya terdiam mendengarkan tuturan demi tuturan beliau selanjutnya. Semakin membuat jantung saya berdebar. Raga saya melemas. Dan harap saya berkobar.
Saya sedang mendengar curahan hati saya yang selama ini berusaha saya anggap "tidak pernah ada".

"Feeling guilty itu ada. Seperti menggugat saya untuk mempertanggungjawabkan ilmu yang saya dapat. Logika dan hati saya berperang saat itu. Saya jatuh cinta dengan dunia kreatif.Dunia dimana manusia menemukan 1000 cara untuk menciptakan sesuatu. Dunia dimana kehidupan berjalan atas sebuah keinginan yang bebas, tidak terikat dengan teori dan aturan pelaksanaannya. Sampai akhirnya seorang teman datang menenangkan saya sambil berucap, 'Keadilan tidak melulu hadir dari sebuah meja pengadilan. Ada banyak cara untuk menciptakan keadilan. Kamu suka menulis, suka seni, seni pun bisa menciptakan keadilan'. Dan saya merasa tenang sata itu. sirna sudah rasa bersalah itu. Dan saya sadar, itulah hebatnya dari dunia kreatif."

Hukum melahirkan peraturan, semakin banyak peraturan akan semakin banyak hak-hak kita yang diatur, dan kita akan semakin sulit bergerak. Itu pemikiran salah! Hukum dalam sebuah ilmu adalah pembebas. Dengan mengetahui hukum kita menjadi tahu apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan. Sebaliknya, ketidaktahuan lah yang mempenjarai kita dalam sebuah kebodohan; atas ketidaktahuan kita takut untuk melakukan apapun karena kita takut melakukan sesuatu yang salah.

Saya diam. semakin tenggelam dengan permainan kata-kata dan pemikiran beliau.

Beri saya seribu hal yang tidak boleh saya lakukan! Saya akan tetap bisa melakukan hal-hal yang ingin saya lakukan. Karena saya tahu hukumnya. Dan saya tahu bagaimana membuat hal-hal yang dilarang itu menjadi tidak dilarang. Karena saya sarjana Hukum!!
dan sebuah tawa keluar renyah dari mulutnya.

saya tersenyum.





Saya bertanya kepada beliau tentang mimpi dan harapan apa yang ingin tersampaikan untuk almamater kami. dan beliau menjawab,

"Bisakah perguruan tinggi tidak hanya mengedepankan teori? saya tahu teori itu penting sebagai dasar pijakan. Tapi saya ragu kalau teori bisa mengajarkan mengenai moral, apakah teori bisa mengajarkan kita untuk merasakan bahagia diatas kebahagiaan orang lain?! Bukankah hakikat hidup manusia adalah bisa membahagiakan orang lain?"
ada jeda, dan beliau melanjutkan
"seperti saya yang selalu merasa bahagia ketika melihat istri dan anak-anak saya tersenyum"


Dan senyum saya semakin lebar mendengarnya.


Wednesday, December 15, 2010

Mencintai Dengan Sederhana

Saya selalu beranggapan: ketika kamu mencintai sesuatu, cukup cintai. Tak perlu memikirkan apakah sesuatu atau seseorang itu akan mencintai mu juga. Cinta itu ikhlas. Bukan suatu hal yang kita berikan atas sebuah pertimbangan mengenai apa yang akan kita dapatkan. Pembalasan itu hak Tuhan.

Mungkin memang benar kata teman-teman saya yang beranggapan saya adalah sosok perempuan yang naif. "Dunia ga sebaik yang ada di kepala lo Sa!" itu kata mereka. Mungkin mereka benar, tapi mungkin juga harapan saya ini yang benar.
Saya hidup dalam harapan yang selalu saya jaga. Terkadang satu sisi saya berkata: atau jangan-jangan mereka memang benar Sa? dan kau salah?, hal ini selalu membuat saya terdiam.

Saat ini saya merasa sendu. Harapan yang saya jaga semakin terasa hampa.

Saya mencintai mereka. Itu yang saya tahu. titik.

Tapi megapa perasaan yang saya yakini ini semakin hari seperti racun yang melemahkan saya?
dan saya semakin lemah dengan harapan ini.

Tuhan,
Saya ingin dicintai dengan sederhana,
dicintai dengan jujur dan apa adanya.
Saya ingin dicintai dengan sederhana,
seperti cintaMu kepada hamba.
Saya ingin dicintai dengan sederhana,
dicintai dengan sebenarnya.


Saya tidak menuntut mereka mencintai saya Tuhan,
saya ingin dicintai Engkau karena rasa cinta saya untuk mereka.
Bukankah Kau yang mengajarkan agar umatMu untuk saling mencintai?
Maka akan saya lakukan itu.

Tuesday, December 7, 2010

Ketika semua itu menjadi cerita kita





Saya heran. Tidak habis fikir.
Sampai akhirnya saya berada di satu titik—walau masih dalam keheranan—bahwa (ternyata) saya terberkati.
Beberapa tahun yang lalu, saya adalah mahkluk yang ingin selalu terlihat benar di mata semua orang; dan ternyata itu adalah sebuah kesalahan.

Saya terlalu senang. Tidak sabar. Sangat menanti yang namanya KKN.
Dalam pikiran saya, tiga momen besar di masa kuliah adalah: OSPEK, KKN dan WISUDA. saya punya segudang cerita tentang masa OSPEK saya di tiga tahun yang lalu. Hanya tiga hari. Dan sangat berkesan.

Buku catatan sudah saya siapkan untuk menyatat semua yang akan terjadi nanti ketika KKN. Pasti menjadi momen yang tidak terlupakan. Menyenangkan. Tidak terbayangkan.

Dan kenyataannya; memang ”sangat tidak terbayangkan”.

Diberi kepercayaan untuk menjadi seorang kormasit (kordinator mahasiswa sub unit), saya pasrah. Tapi, saya berfikir lagi, mungkin akan banyak pelajaran yang akan saya dapatkan melalui kondisi ini.
Saya bersyukur, ada tiga sahabat—Puspa, Noe, Tiara—yang selalu siap menopang keletihan dan kelemahan saya saat KKN. Dan ada empat orang lainnya yang mempunyai karakteristik berbeda. Kirun yang cenderung cuek dan galak, Aryo si buku biru berjalan, Asrul yang perhatian, si pemilik senyum-choki-sitohang, dan Afi si misterius sang belahan hati mas jumal (hehehee maaf fi...). Setidaknya mereka menjadi alasan bagi saya untuk tetap tersenyum setiap harinya. Terimaksih teman-teman.

Saya tidak tahu apakah kalian merasakan hal yang sama dengan diri saya atau tidak. Tapi ini bukanlah KKN yang saya bayangkan. Seandainya saya bisa menangis, mungkin hampir setiap hari saya menangis. Tapi kenyataannya, saya hanya bisa duduk di teras pondokan bersama laptop saya di pagi hari ketika yang lain masih tertidur. Sekedar menumpahkan beban yang saya rasakan. Lagi, kalian yang memaksa saya untuk tetap tersenyum.
Saya ingin menulis ini semua. Dengan sederhana, dan dengan jujur.
Betapa setiap hari ketika saya membuka mata, rasa takutlah yang pertama menyapa saya. Lantas, rasa bingung yang menyapa kemudian. Saya pasrah. Tapi bukan itu yang ingin saya tuliskan di catatan ini.

Ini tentang kalian.









Beberapa kali saya merasa terpojok dan terasing. Tapi kalian selalu merubahnya menjadi hangat seakan saya berada di antara pelukan. Beberapa kali saya merasakan kebencian yang dalam. Tapi (lagi) kalian membuatnya jadi mudah untuk dimaafkan. Beberapa kali saya ingin menangis sejadinya, memaki, menyalahkan, dan segala hujatan yang ingin saya keluarkan. Dan kalian, membuat saya lebih memilih untuk menertawakan itu semua dibanding menyesalinya.







Saya sedih, ketika saya merasakan mereka menilai kita hanya dari ”tampak” kita didepan mereka. Saya marah ketika kita seperti bagian lain dari KITA yang sesungguhnya. Saya benci ketika harus dinilai oleh mereka yang tidak pernah mau untuk mengenal kita lebih dalam. Perasaan saya kacau saat itu.
Tapi ternyata benar. Waktu adalah obat terampuh untuk menyebuhkan luka. Luka itu tidak lagi menjadi sesuatu yang menyakitkan, tapi berubah menjadi sesuatu yang penuh dengan pelajaran untuk menjadi manusia yang bisa memaafkan dan saling menerima kekurangan.

Pada awalnya, saya terlalu sibuk mendengar penilaian mereka terhadap kita. Belakangan, saya belajar, bahwa tidak semua penilaian orang lain terhadap diri kita harus selalu kita dengar. Mereka berhak menilai. Dan kita berhak untuk mengabaikan. Karena saya cukup bersyukur memiliki kalian. Akhirnya saya belajar, bahwa hanya Tuhan dan diri kitalah yang memiliki posisi tertinggi untuk menilai benar atau salahnya sesuatu yang kita kerjakan. Karena tidak ada kemutlakan di antara salah dan benar. Setidaknya itu berlaku bagi saya.

Hari-hari terakhir, kita belajar lebih banyak hal lagi teman. Kita belajar untuk memaafkan ketika kelelahan dan keikhlasan kita terbayar dengan kesalahpahaman. Ketika sebuah harapan terpupuskan dengan kesensitifan yang berlebihan. Tidak ada satupun yang menangis saat itu. Kita lebih memilih untuk menertawakanya.






Hari-hari terakhir, kita belajar untuk lebih mengenal satu sama lain. Afi yang awalnya dinilai sangat misterius dan tampak egois, berubah 180 derajat menjadi sangat terbuka dan selalu berusaha untuk berbagi. Dan saat itu saya sadar bahwa saya telah salah menilai teman kita yang satu ini.

Hari-hari terakhir yang penuh dengan perenungan; kita memilih untuk menyelesaikan masalah-masalah dengan terhormat; dengan memaafkan.

Dua bulan kita hidup bersama. Banyak luka yang kita sulap menjadi suka untuk kita bagikan. Banyak nasihat yang saling kita berikan. Banyak pelajaran yang saling kita ajarkan. Banyak momen yang saling kita rasakan.

Dan pada akhirnya...


Kita akhiri ini semua dengan kelegaan.

dengan sebuah kesadaran bahwa dalam KKn 2 bulan ini,banyak kisah yang kita ciptakan.





Additional note:
Gara-gara kalian gue jadi ketagihan yang namanya tempura!! Padahal awalnya gue agak jijik aja ama tu makan. Kangen cabut ke pantai!! Kangen klayaban bingung malem-malem. Kangen ngajar TPA bareeeng!! Kangen minta toloong Asrul buat masukin motor! Kangen sama masakan Tiara!! Kangen ngeladenin bocil-bocil, Kangen sama curhatan Afi, Puspa n Noe!!


sayang kalian