Tuesday, December 7, 2010

Ketika semua itu menjadi cerita kita





Saya heran. Tidak habis fikir.
Sampai akhirnya saya berada di satu titik—walau masih dalam keheranan—bahwa (ternyata) saya terberkati.
Beberapa tahun yang lalu, saya adalah mahkluk yang ingin selalu terlihat benar di mata semua orang; dan ternyata itu adalah sebuah kesalahan.

Saya terlalu senang. Tidak sabar. Sangat menanti yang namanya KKN.
Dalam pikiran saya, tiga momen besar di masa kuliah adalah: OSPEK, KKN dan WISUDA. saya punya segudang cerita tentang masa OSPEK saya di tiga tahun yang lalu. Hanya tiga hari. Dan sangat berkesan.

Buku catatan sudah saya siapkan untuk menyatat semua yang akan terjadi nanti ketika KKN. Pasti menjadi momen yang tidak terlupakan. Menyenangkan. Tidak terbayangkan.

Dan kenyataannya; memang ”sangat tidak terbayangkan”.

Diberi kepercayaan untuk menjadi seorang kormasit (kordinator mahasiswa sub unit), saya pasrah. Tapi, saya berfikir lagi, mungkin akan banyak pelajaran yang akan saya dapatkan melalui kondisi ini.
Saya bersyukur, ada tiga sahabat—Puspa, Noe, Tiara—yang selalu siap menopang keletihan dan kelemahan saya saat KKN. Dan ada empat orang lainnya yang mempunyai karakteristik berbeda. Kirun yang cenderung cuek dan galak, Aryo si buku biru berjalan, Asrul yang perhatian, si pemilik senyum-choki-sitohang, dan Afi si misterius sang belahan hati mas jumal (hehehee maaf fi...). Setidaknya mereka menjadi alasan bagi saya untuk tetap tersenyum setiap harinya. Terimaksih teman-teman.

Saya tidak tahu apakah kalian merasakan hal yang sama dengan diri saya atau tidak. Tapi ini bukanlah KKN yang saya bayangkan. Seandainya saya bisa menangis, mungkin hampir setiap hari saya menangis. Tapi kenyataannya, saya hanya bisa duduk di teras pondokan bersama laptop saya di pagi hari ketika yang lain masih tertidur. Sekedar menumpahkan beban yang saya rasakan. Lagi, kalian yang memaksa saya untuk tetap tersenyum.
Saya ingin menulis ini semua. Dengan sederhana, dan dengan jujur.
Betapa setiap hari ketika saya membuka mata, rasa takutlah yang pertama menyapa saya. Lantas, rasa bingung yang menyapa kemudian. Saya pasrah. Tapi bukan itu yang ingin saya tuliskan di catatan ini.

Ini tentang kalian.









Beberapa kali saya merasa terpojok dan terasing. Tapi kalian selalu merubahnya menjadi hangat seakan saya berada di antara pelukan. Beberapa kali saya merasakan kebencian yang dalam. Tapi (lagi) kalian membuatnya jadi mudah untuk dimaafkan. Beberapa kali saya ingin menangis sejadinya, memaki, menyalahkan, dan segala hujatan yang ingin saya keluarkan. Dan kalian, membuat saya lebih memilih untuk menertawakan itu semua dibanding menyesalinya.







Saya sedih, ketika saya merasakan mereka menilai kita hanya dari ”tampak” kita didepan mereka. Saya marah ketika kita seperti bagian lain dari KITA yang sesungguhnya. Saya benci ketika harus dinilai oleh mereka yang tidak pernah mau untuk mengenal kita lebih dalam. Perasaan saya kacau saat itu.
Tapi ternyata benar. Waktu adalah obat terampuh untuk menyebuhkan luka. Luka itu tidak lagi menjadi sesuatu yang menyakitkan, tapi berubah menjadi sesuatu yang penuh dengan pelajaran untuk menjadi manusia yang bisa memaafkan dan saling menerima kekurangan.

Pada awalnya, saya terlalu sibuk mendengar penilaian mereka terhadap kita. Belakangan, saya belajar, bahwa tidak semua penilaian orang lain terhadap diri kita harus selalu kita dengar. Mereka berhak menilai. Dan kita berhak untuk mengabaikan. Karena saya cukup bersyukur memiliki kalian. Akhirnya saya belajar, bahwa hanya Tuhan dan diri kitalah yang memiliki posisi tertinggi untuk menilai benar atau salahnya sesuatu yang kita kerjakan. Karena tidak ada kemutlakan di antara salah dan benar. Setidaknya itu berlaku bagi saya.

Hari-hari terakhir, kita belajar lebih banyak hal lagi teman. Kita belajar untuk memaafkan ketika kelelahan dan keikhlasan kita terbayar dengan kesalahpahaman. Ketika sebuah harapan terpupuskan dengan kesensitifan yang berlebihan. Tidak ada satupun yang menangis saat itu. Kita lebih memilih untuk menertawakanya.






Hari-hari terakhir, kita belajar untuk lebih mengenal satu sama lain. Afi yang awalnya dinilai sangat misterius dan tampak egois, berubah 180 derajat menjadi sangat terbuka dan selalu berusaha untuk berbagi. Dan saat itu saya sadar bahwa saya telah salah menilai teman kita yang satu ini.

Hari-hari terakhir yang penuh dengan perenungan; kita memilih untuk menyelesaikan masalah-masalah dengan terhormat; dengan memaafkan.

Dua bulan kita hidup bersama. Banyak luka yang kita sulap menjadi suka untuk kita bagikan. Banyak nasihat yang saling kita berikan. Banyak pelajaran yang saling kita ajarkan. Banyak momen yang saling kita rasakan.

Dan pada akhirnya...


Kita akhiri ini semua dengan kelegaan.

dengan sebuah kesadaran bahwa dalam KKn 2 bulan ini,banyak kisah yang kita ciptakan.





Additional note:
Gara-gara kalian gue jadi ketagihan yang namanya tempura!! Padahal awalnya gue agak jijik aja ama tu makan. Kangen cabut ke pantai!! Kangen klayaban bingung malem-malem. Kangen ngajar TPA bareeeng!! Kangen minta toloong Asrul buat masukin motor! Kangen sama masakan Tiara!! Kangen ngeladenin bocil-bocil, Kangen sama curhatan Afi, Puspa n Noe!!


sayang kalian





No comments:

Post a Comment