Sunday, September 29, 2019

Semoga Tuhan selalu memberi kita ingat





Sering,

Bahkan (mungkin) terlalu sering, manusia terlalu sibuk mencari dan memperhitungkan hal yang belum mereka miliki,

kemudian lupa untuk memperhitungkan dan menjaga yang telah dimiliki...


Sudah tabiatnya manusia,

suka lupa, suka abai, suka menyepelekan.

segala hal yang sudah menjadi "kebiasaan" sering dianggap lagi tidak istimewa... padahal bisa jadi itu hal terbaik yang bisa kita rasa


"kenapa saat aku memilih untuk pergi, dia baru menyadari..."

di suatu siang seorang teman me-WA saya. Sang perempuan sudah menetapkan "cukup" untuk semua abai yang diberikan suaminya

Perceraian adalah yang mengerikan, tapi bisa jadi hal yang diharapkan jika masing2 pasangan memilih saling mengabaikan alih-alih saling memberikan perhatian.

Atau bisa jadi, sudah terlalu banyak maaf untuk sebuah perubahan yang diharapkan namun tak kunjung berubah.


"Setidaknya, dia sudah sadar", balas saya.

"terserah kamu saja. tapi aku pribadi berharap kamu bisa lebih bersabar untuk menjaga luka itu hingga akhirnya kamu sembuh dan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya"

Percakapan saya dan dia sudah tidak bisa lagi saya tuliskan di sini...



Kita semua punya luka,,, yang bisa saja saat ini ada yang sedang bertahan dengan luka yang terus-menerus dilukai;

atau sedang menjaga agar luka yang ada tidak terlihat sampai-sampai lupa untuk menyembuhkan luka itu sendiri.


Masing-masing dari kita punya luka, dan banyak luka tadi berasal dari sebuah pengabaian.

Dan naas nya lagi, pengabaian adalah sumber luka yang tak penah sadar sering melukai hati.


Iya,,,

Mungkin memang betul... banyak manusia sibuk mencari dan memikirkan hal yang belum miliki...

sampai-sampai lupa... mensyukuri apa-apa yang telah dimiliki...

Kita sering lupa, dulu, pernah sungguh-sungguh meminta hal yang saat ini kita miliki.



Dulu, pernah berjanji akan menjaga apa yang menjadi jawaban Tuhan di doa-doa kita.

Kemudian "lupa" datang...

dan hati kita merasa tidak tercukupi lagi dengan apa yang kita miliki.



Sampai akhirnya kita sadar,, bahwa hati kita akan benar-benar terasa kosong setelah ada yang pergi dari sisi.





Semoga Tuhan selalu memberi kita ingat, bahwa apa yang sudah kita miliki tak kalah berharga dengan apa yang sedang kita cari.



AAMIIN.











Monday, September 23, 2019

Jatuh Cinta Saya (yang pertama dan serius)

Diam mungkin pilhan saat seseorang jatuh cinta dengan seseorang lainnya,
tapi bisa jadi waktu akan menjabarkan cerita yang panjang dari diam itu ketika waktunya tiba.

AR


Ada cerita yang ingin saya ceritakan,, masa lalu. tentang rasa yang membuat saya salah tingkah, berharap, dan mengikhlaskan.

Mereka sebut itu "Cinta".

Ini tentang pertama kali saya menyukai laki-laki dengan serius, penuh harap dan penuh pasrah.

14 Tahun umur saya saat itu or maybe almost 15th. Sebut saja namanya Arko. Kakak kelas satu tahun di atas saya.

Saya lupa kapan saya mulai memerhatikannya. Sepertinya saat saya harus ikut semacam diksar LDKS saat SMA.

Pertama kali melihat, tidak pernah terfikirkan sosok Arko akan menetap lebih dari 4 tahun di hidup saya.

Arko sosok yang... menyebalkan bagi saya saat itu. Dia adalah lawan argumentasi terkuat saya saat diksar. Mungkin begitupun saya untuk dia.

Selama diksar, tidak ada hari tanpa debat, tanpa marah-marah, dan tanpa keisengan dia agar saya dihukum oleh kakak kelas saat diksar itu.

Hingga di malam terakhir, ada hal yang membuat saya menangis, dan dialah penyebab utama mengapa saya menangis.

Entah apa yang disampaikan temen saya ke Arko. Tapi malam itu Arko menghampiri saya yang sedang menarik diri dan menyendiri.

Saat melihat dia, marah saya kembali memuncak.

"Kamu kenapa?" tanya dia.

saya hanya diam. rasanya ingin bilang "hal terbaik yang gue butuh saat ini adalah ga ngeliat wajah elu!"--tapi saya diem saja, sambil menyembunyikan wajah.

"Persembahan tim kamu bagus kok" ujar dia lagi

"Ga mikir persembahan!" jawab saya ketus

"Terus mikirin apa? mikirin saya ya?", "kalau kamu diem gini jadi ga seru"

Sumpaaaah malam itu yang bener-bener saya ingin lakukan adalah nyakar-nyakar wajah dia.

Saya lupa apa percakapan kami berikutnya. Yang jelas, rasa kesal yang sama saya bawa untuk hari berikutnya, dan berikutnya.


After diksar selesai, saya harus akui saya kehilangan sumber kekesalan saya. kehilang teman berargumentasi. kehilangan sosok yang bisa saya salahkan.

Dan entah sejak kapan, setiap saya melihat dia berkeliaran saat jam istirahat, hati saya berdebar.



"Gue kayaknya suka deh sama dia" suara gue pelan jujur meluncur kepada seorang sahabat, eh bukan tiga atau empat orang sahabat.

dan tau apa reaksi mereka... " Whaaaaaattt Nisaaaa... mata lo sakit apa gimana Sa??? Arkooo Saaa?? Ya Alloooh Saa.. ga ada yg lebih bagus dari Arko Saaa?"


iya jahat ya, temen-temen saya.


Tapi memang sih ya,,, dari dulu selera saya terhadap cowok, terutama terkait fisik, menurut temen-teman saya itu parah banget. Tapi ya namanya juga selera yaa,,,




Singkat cerita, saya memendam perasaan ke Arko hampir 4 tahun lebih. Yess, bahkan saat saya sudah kuliah kemana, Arko kuliah kemanaaa...

Saya tidak tahu apakah Arko tahu perasaan saya atau tidak, dan terus terang itu bukan yang terlalu penting untk saya ketahui.


waktu berlalu. It almost 13 years semenjak saya "jatuh cinta" kepada Arko. Apakah perasaan saya saat ini sama seperti 13 tahun yang lalu?


yah jelas, sudah tidak sama.


Arko adalah bagian dari masa lalu saya. Bagian dari proses pedewasaan saya. belajar menyayangi seseorang di luar keluarga dan sahabat kita.

Dari "jatuh cinta" saya kepada Arko saya mulai mengenal diri saya--yang tidak terlalu penting untuk megetahui apakah orang yang saya sukai juga menyukai saya atau tidak. Hal terpenting saat itu adalah perasaan yang sedang saya rasakan saat itu sendiri.


Hari ini, yang saya tahu tentang Arko adalah Arko sudah meninggal beberapa minggu yang lalu. Sakit.

dua hari sebelum Arko meninggal, sebuah akun instagram dengan namanya me-"love" salah satu foto di instagram saya. Foto suami dan anak saya.

Ntah di balik akun itu benar Arko atau bukan. Tapi teman2 mengkonfirmasi bahwa benar itu akun pribadi milik Arko.



Berita meninggalnya Arko seperti berita yang senyap senyap saya dengar di antara tumpukan kerjaan dan urusan keluarga saya. Sepersekian detik saya berucap "Innalillahi wa innalillahi roj'un" telah berpulang seseorang yang pernah saya sukai diam-diam selama empat tahun.

dan cerita tidak habis di sini,

satu hari setelah kabar meninggal Arko, saya bermimpi sedang duduk di sebuah bangku kayu, di lorong kelas perkuliahan saya..

Arko datang dan duduk di samping saya, dia bilang "Nisa,,, besok saya sudah pergi lho..."

di dalam mimpi saya, saya tau kalau Arko sudah meninggal. "Iya Ka..." jawab saya

"Nanti saya kenalkan kamu dengan calon saya ya... " katanya, sambil berdiri dan pergi menghilang di ujung lorong.


Saya bingung tentang apa makna mimpi itu,, akhirnya saya me-wa temen saya Eka,, dia yang jadi saksi keanehan saya kenapa memilih Arko...

begini kutipan wa saya:





EKA... LO SUPPER NGESELIN YAAA,,

Tuesday, June 25, 2019

Semoga Lebih Baik

Ada saatnya yang terbaik adalah meninggalkan.

Mengerti bahwa hidup bukan tentang mendapatkan semua yang kita inginkan. Tapi juga mendapatkan kebahagiaan orang-orang yang kita butuhkan untuk tetap bertahan hidup.
Setelah cukup lama hanya mendengarkan, mungkin saatnya saya menjawab dengan tulisan ini. Untuk kalian yang mungkin saat ini bersedih karena berbagai macam hal. Tapi tenanglah. Kadang kesedihan harus dirayakan. karena kesedihan adalah obat yang bisa jadi menguatkan. Paling tidak, ada cerita yang bisa dipelajari tentang bagaimana bertahan hidup di tengah ketidaknyamanan.

Mungkin saya tidak pernah ada di posisi yang saat ini kalian rasakan. Merasa dibuang. Dikhianati. Diacuhkan. Ditinggal. Tapi saya beri tahu satu kunci yang biasa saya bisikan kedalam kepala saya saat saya ada di titik lelah ingin menyerah: semua hanya untuk dilalui, dan pasti akan berlalu. Dan saya belajar bagaimana berkompromi untuk kemudian menyimpulkan; mungkin ini yang dimaksud dengan bersabar.

Maka bersabarlah, kawan. Semua hanya untuk dilalui dan diceritakan dnegan bangga suatu saat nanti. Semua akan berlalu begitu saja bahkan tanpa kamu sadari. Saya merasa tidak bisa menasehati, karena mungkin saya memang tidak bisa. Tapi semoga tulisan ini menenangkan untuk kamu yang saat ini.
Bersyukurlah ketika kamu tidak punya cukup jari untuk mensyukuri apa yang telah kamu miliki. Keluarga yang hangat, anak yang menyenangkan, pekerjaan yang layak untuk dibanggakan, teman-teman yang menguatkan dan banyak lagi. Lihatlah kebahagiaan yang sudah Tuhan berikan yang mungkin lupa kamu perhitungkan saat ini.
Tuhan selalu seimbang. Ada perhitungan Tuhan yang mungkin belum kita pahami sekarang. Tapi percayala, Tuhan tidak menciptakan umatNya hanya untuk bersedih.
La Tahzan. Jangan bersedih.

Mulailah menghitung apa yang lupa kamu hitung selama ini.

Tentang apa-apa yang membuatmu tersenyum dan tetap berjuang hingga detik ini.

Semoga menjadi lebih baik.

Thursday, February 14, 2019

KITA TIDAK BUTUH LEBIH, JIKA CUKUP SUDAH MENCUKUPI




Krisna kembali lagi. Saya menulis lagi.

kali ini Krisna menceritaka sebuah dongeng tentang Petani bernama sungai.
Katanya, dongeng ini dikarang khusus buat saya.

Begini ceritanya...

Di sebuah desa di atas bukit nan jauh di sana, hiduplah seorang petani bersama istri dan ibu nya yang sudah tua. Desa yang mereka tempati bernama Desa Pelangi.
Hampir semua penduduknya hidup dengan cara bertani, berkebun dan berternak. Pun dengan petani sederhana ini yang bernama Sungai.

Suatu ketika, Desa Pelangi dilanda wabah penyakit yang membuat para orang tua demam, serta anak-anak menggigil dan demam. Tak seorangpun tabib yang tau penyebab dan obat apa yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Seluruh desa panik karena wabah itu menyerang hampir seluruh anak-anak dan orang tua di sana. Tidak luput ibu petani yang bernama Sungai tadi.

Suatu pagi Sungai berpamitan dengan istrinya sedang hamil tua untuk berladang.
“Aku harus berladang untuk mengambil beberapa jagung dan kentang sebagai makan malam kita nanti. Kau jaga ibu, ya...” ujar Sungai.

“Baik suamiku, semoga rezki yang berkah menyertaimu. Semoga jagung dan kentang yang tumbuh di ladang kita adalah terasa manis dan lezat. Aku akan jaga ibu, berladanglah dengan tenang” ucap sang istri sambil mencium punggung tangan suaminya.

“Kaupun jaga kesehatan. Jangan terlalu lelah, sebelum matahari terbenam aku sudah di rumah.”
Pergilah Sungai ke ladang dengan kereta yang ditarik oleh satu kuda miliknya.

***

Siangpun menjelang. Pintu rumah terdengar diketuk keras. Ternyata Ibu Arta tetangga sebelah.
“Ada apa Bu Arta? Apakah semua baik-baik saja?” rentet istri Sungai panik kepada tetangganya yang mengetuk pintunya denga panik juga.

“Kau sudah dengar berita saudagar kaya yang akan membagikan emas di kaki bukit?!” tanya Bu Arta denggan mata hampir keluar.

“Saudagar? Emas? Aku belum mendengar apapun” jawab istri Sungai.

“Lekas kau bereskan pakaian suamimu, Mia! agar ketika dia pulang dari ladang dia bisa langsung berangkat menuju kaki bukit! Aku sudah mengemas baju suamiku, mungkin suamimu dan suamiku bisa berangkat bersama!”

Istri Sungai diam sejenak, “tapi ibu mertuaku sedang sakit, akupun hanya menunggu hari untuk melahirkan anakku, kalau suamiku pergi siapa yang akan menjaga kami?, dan bukankah anak Bu Arta juga sedang sakit terkena wabah?”

“Kau yakin akan melewatkan kesempatan ini? Kapan lagi ada Saudagar kaya raya yang mau membagikan emas kepada keluarga petani yang tinggal di ujung bukit seperti kita ini?! Ah sudahlah, kau pikirkan lagi. Andrew anakku memang masih demam, tapi aku bisa merawatnya tanpa suamiku. Janganlah menjadi istri yang manja, Mia!”

Sepulangnya Bu Arta, Mia terduduk di ruang tamu sambil mengelus perutnya yang sudah sangat besar. “kau akan lahir kapan, Nak? Tidak apa-apa jika ayah pergi mengambil emas seperti yang kau dengar tadi dari mulut Bu Arta? Lalu bagaimana nenek yang juga sedang sakit? Apakah kau mau membantu ibu menjaga nenek juga?”.

Sore haripun tiba. Sungai datang dengan membawa hasil ladang yang banyak. Jagung dan kentang tampak lezat. Mia langsung memasak kentang dan jagung untuk makan malam di dapur. Selepas membereskan hasil ladang dan mandi, Sungai menghampiri sang ibu yang masih sakit.

“Sungai, anakku. Apakah hasil ladang kita baik?” tanya ibu Sungai yang masih lemah.

“Sagat baik, Bu. Jagung terasa sangat manis. Kentang pun sangat besar dan kualitas bagus. Mia sedang memasak sup jagung untuk makan malam kita”.

“Syukurlah. Sungai, tadi tetangga sebelah datang kesini menemui Mia, namun karena suaranya yang sangat nyaring, sedikit-sedikit ibu mendengar bahwa katanya besok akan ada saudagar kaya yang akan membagikan emas untuk keluarga petani seperti kita di kaki bukit”.

“Aku sudah mendengarnya, Bu... beberapa petani di ladang langsung pulang tadi untuk berkemas dan berangkat ke kaki bukit malam ini agar besok tidak kehabisan emas.”

“Kau tidak berangkat, Sungai?”

“Aku rasa tidak, Bu... Ibu masih sakit dan Mia sedang hamil tua mengandung anakku. Aku tak bisa meninggalkan kalian di sini begitu saja.”

“Jika ibu menjadi salah satu alasan kau tidak pergi, ibu hanya ingin bilang bahwa ibu tidak apa-apa, Sungai. Mia menjaga ibu dengan sangat baik saat kau pergi berladang. Tapi ada baiknya kau bicarakan hal ini dengan Mia, mungkin dia punya pendapat lain.”

Pembicaraan anak dan ibu itu terhenti saat makan malam sudah terhidang di atas meja. Ibu yang masih lemah ingin turut mengisi kursi makan kayu untuk menyantap hidangan sederhana namun hangat.

“Mia, sup ini sangat enak.”puji sang mertua.

“Jagungnya sudah manis, Bu,,, jadi dimasak apapun akan terasa enak”, ujar Mia sambil tersenyum. “suamiku, tadi bu Arta datang ke sini, katanya besok akan ada saudagar kaya raya yang baik hati akan membagikan emas untuk para petani seperti dirimu. Suami Bu Arta berangkat mala mini. Akupun sudah membereskan bajumu jika kau memang ingin berangkat ke situ.”

“Kau ingin aku berangkat, Istriku?” tanya Sungai.

“Aku tidak tahu. Satu sisi kita butuh emas itu, satu sisi aku ingin kau di sini saja, tapi entahlah. Mungkin kau lebih baik pergi juga, saat anak ini lahir, kita mungkin membutuhkan emas itu untuk membesarkannya.” Jawab istri Sungai sambil menunduk dan mengelus perutnya yang saat ini sudah mentok ke meja kayu mereka yang kecil.

“Bolehkah aku tidak berangkat?”tanya Sungai, lagi.

Sang istri langsung menatap mata suaminya dengan berkaca-kaca.
“Apakah tidak apa-apa jika kau tidak berangkat?”tanya istrinya lagi.

“Ada dua bidadari yang harus kujaga di sini, satu bidadari adalah ibuku, dan satu bidadari lagi adalah ibu dari calon anakku. Biarlah keluarga kita tidak mendapatkan emas, hasil ladang kita bagus, kurasa cukup untuk pemasukan keluarga kita dan tabungan jika si kecil lahir. Lagi pula ibu masih sangat lemah, dan kau Mia, bisa jadi saat aku pergi, kau akan melahirkan sendiri. Mia, istriku, kau mengandung dan menahan beban sendirian selama Sembilan bulan ini, aku tak akan sampai hati jika kau harus melahirkan anakku sendiri juga. Jadi.. Ibuku dan istriku... apakah boleh aku tetap di sini menjaga kalian?”

Istri sungai menunduk sambil menutup matanya yang sudah basah dengan air mata. Sedangkan sang ibu hanya tersenyum sambil terus menghabiskan sup jagungnya, sambil menyeka ujung matanya yang juga basah.

Pagi itu, Sungai berangkat ke ladang. Sama seperti biasanya, Mia mengantar sampai depan pagar sambil mencium tangan suaminya. Suasana Desa Pelangi pagi itu tak seramai biasanya. Para kepala keluarga pergi ke kaki bukit untuk mendapatkan emas sang saudagar kaya. Beberapa meninggalkan anak-anak dan orang tuanya yang masih demam terkena wabah.
Sungai tetap meladang dengan tenang.

Keesokan harinya, para kepala keluarga kembali ke Desa Pelangi dengan membawa barang-barang baru. Ada yang membawa kuda baru, alat pembajak baru, makanan yang enak dan lain-lain serba baru hasil menjual emas yang mereka dapatkan.

Sungai menatap dari ladangnya. Mungkin jika aku pergi ke kaki bukit, aku bisa membawa barang-barang itu untuk istriku dan ibuku. Atau mungkin malam ini kami bia makan malam dengan santapan yang lezat. Apakah keptusanku salah? Ah sudalah, rezeki sudah ada yang mengatur.

“Pak Sungai!!”Istri Pak Sungai akan melahirkan!!” teriak dari suara wanita yang sangat ia kenal. Bu Arta!. Sungai langsung berlari dan bergegas menuju rumah.
Tampak Mia yang sedang berjuang menahan sakit di kamar di temani sang ibu yang sudah sangat membaik kondisi kesehatannya. Seorang tabib juga tampak di kamar itu.
Sungai langsung memegang tangan istrinya, menemaninya, memberikan kekuatan untuk istrinya dan calon anaknya. “Kau bisa, Mia-ku”, kemudian Sungai meletakan tangannya di atas perut Mia, “Ayo anakku, bantu bunda, segeralah keluar.”

Dan beberapa jam kemudian, terdengarlah suara tangisan anak perempuan yang sangat cantik.

Dua hari selepas Sungai dan Mia menjadi orang tua. Lagi-lagi terdengar suara pintu yang diketuk terburu-buru. Bu Arta.

“Mia!!! Mia!!! Apakah Pak Sungai ada di rumah?”

“Ya Bu,,, ada yang bisa saya bantu”, jawab Sungai dari belakang Mia.

“Endrew anakku... dia kejang-kejang!! Suamiku juga sedang sakit, kami butuh tumpangan untuk ke tabib, tolong lah...”

Bergegas Sungai menyiapkan kereta kudanya, Mia dan Anaya—gadis kecil berumur dua hari—beserta ibu Sungai diperintahkan untuk tetap di rumah.

Sungai dan keluarga Bu Arta bergegas menuju rumah tabib terdekat.

Malang tak dapat ditolak, anak Bu Arta tidak terselamatkan. Saat di rumah tabib, Edrew masih menggigil kedinginan, namun tak lama setelah masuk ruang tindakan, Endrew berhenti menggigil. Berhenti bernafas. Endrew dinyatakan meninggal.

Bu Artha serta merta lemas dan lunglai melihat anaknya yang saat ini terbujur kaku. Suami Bu Arta pun tak kalah lemas. Saat ini yang di kepala Sungai hanyalah ingin cepat-cepat memeluk anak dan istrinya.

Hari sudah sangat gelap saat Sungai kembali ke rumah. Dia melihat kamarnya, tampak si kecil Anaya yang tidur pulas di samping Mia yang juga tampak pulas.

“Kau sudah pulang, Sungai” suara ibu Sungai sedikit mengagetkan.

“Cepat mandi, akan ibu panaskan makan malam untukmu. Jangan bangunkan Mia, dia sudah sangat lelah mengurus Anaya seharian”ujar sang ibu. Sungai mengangguk dan lekas mandi kemudian duduk di kursi makan.

“Bagaimana kondisi keluarga Bu Arta?” tanya sang ibu.

“Ëndrew meninggal. Bu Arta dan suaminya sangat bersedih. Akupun, Aku tak bisa membayangkan kalau aku di posisi itu, ibu...”

“Mungkin, kalau dua hari yang lalu Bu Arta dan suaminya lebih memilih untuk merawat Endrew yang sedang demam ketimbang berangkat mencari emas... mungkin...” ucap ibu.

“Sudahlah, Bu... hidup dan mati seseorang sudah dituliskan dalam takdir yang tidak dapat diganggu-gugat. Jika takdir sudah menuliskan Endrew meninggal hari ini, maka tak ada hal lain yang bisa mengubah, sekalipun suami Bu Arta tetap tinggal di desa.”

“Tapi paling tidak, jika kemarin dia tidak berangkat, dia punya waktu lebih banyak bersama anaknya...”

“Sudahlah bu... ibu kan yang mengajari Sungai bahwa di dalam hidup itu kita akan menemukan banyak pilihan. Semua orang mengambil pilihan pasti dengan pertimbangan. Mungkin keluarga Bu Arta memang sedang membutuhkan uang saat itu.”

“Keluarga kita juga membutuhkan uang...” potong ibu.

“Ibu mengapa berkata seperti itu? Apakah ibu sebenarnya ingin Sungai ke kaki bukit untuk mendapatkan jatah emas?”

“Tidak anakku. Sesungguhnya kemarin ibu sangat bersyukur kau tidak berangkat ke kaki bukit. Ibu senang kau lebih memilih keluargamu daripada emas. Ibu bangga dengan pilihanmu. Mungkin keluarga kita tidak mempunya makanan lebih, pakaian lebih, rumah yang luas. Tapi kita punya makanan yang cukup, pakaian yang cukup dan rumah yang cukup nyaman. Kita tidak perlu lebih. Yang kita butuhkan hanya cukup. Karena cukup adalah cukup. Harta tak akan usai jika dikejar. Bisa jadi saat kau mengejar harta, kau kehilangan yang lebih berharga daripada harta yang sedang kau kejar itu. Rezki itu tak hanya uang, tak hanya emas, tak hanya makanan yang enak. Kesehatan, waktu luang bersama keluarga adalah rezki yang luar biasa dan harus disyukuri. Kelak, jika ibu sudah tidak ada, ajarkan Anaya untuk bisa merasa cukup. Ajarkan dia untuk senantiasa bersyukur untuk rezki sekecil apapun yang ia dapat. Sesungguhnya orang yang bersyukur hatinya akan selalu terasa penuh dan utuh”.

Malam semakin larut. Perbincangan ibu dan anak laki-lakinya berhenti saat priring makan malam telah kosong tak bersisa. Sungai dan keluarganya memang tidak punya makanan lebih, namun mereka punya makanan yang cukup. Dan itu sudah cukup.


***

Itu dongeng yang diceritakan oleh Krisna untukku.


Setelah sekian tahun aku berhenti menulis, dongeng Krisna membuatku untuk menulis lagi, karena mungkin, di luar sana juga banyak orang yang butuh memabaca dongeng ini.


Jakarta, 15 Februari 2019