Tuesday, March 10, 2015

KETIKA TAMAT MEMBACA 'RINDU'

Apa hal yang sering saya lakukan ketika saya bahagia? Jawabannya adalah menulis.

Saat saya merasa bahagia selepas berkumpul dengan teman-teman dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan banyak hal serta bercerita, saya akan menulis.

Saat saya merasa bahagia selepas menyaksikan sebuah kejadian yang memberikan saya pemahaman baru, saya akan menulis.

Saat saya merasa bahagia selepas menonton sebuah film atau menamatkan sebuah buku, maka saya akan menulis.

Menulis bagi saya menjadi tempat untuk berbagii atas kebahagiaan yang saya rasakan. Atas pemahaman-pemahaman baru yang semoga bernilai baik yang saya dapatkan. Maka izinkanlah saya kali ini untuk berbagi kebahagiaan saya atas pemahaman baru yang saya dapatkan setelah menamatkan sebuah novel berjudul RINDU karya Tere Liye.

sumber : http://ruangmaknaqu.blogspot.com/2014/10/resensi-novel-rindu.html

Novel ini pemberian sahabat saya; Eka. Entahlah, mungkin Eka paham bahwa saya memang menyukai karya-karya Tere Liye. Saya mengoleksi novel-novelnya, saya jatuh cinta dengan tulisan Tere Liye sejak saya menamatkan novel karangannya yang pertama saya miliki: Aku, Kau dan sepucuk Angpao Merah. Kemudian saya terus membeli karya Tere Liye lainnya. Saya suka, saya suka dengan semua konsep yang ditawarkan Tere Liye dalam melihat kehidupan. Tentang bagaimana caranya mencintai, bagaimana caranya bermimpi, bagaimana cara menghargai kehidupan, saya selalu menyukai cara Tere Liye menyajikan itu semua dalam cerita-cerita karangannya.

Kembali pada RINDU. Novel yang memiliki 544 halaman ini memberikan kesan ‘lelah’ bagi saya saat pertama kali menerimanya dari Eka. Saya memang suka membaca karya Tere Liye, tapi sebelumnya saya harus menyatakan bahwa saya adalah pembosan. Saya tidak pernah bisa duduk diam lebih dari setengah jam hanya untuk membaca buku. Saya tidak terlalu suka cerita yang panjang, lebih tepatnya saya tidak terlalu suka melihat buku bacaan yang terlalu tebal. Karena saya selalu tidak sabaran menebak-nebak akhir cerita. Saya akui saya kurang sabar, tapi RINDU, membuat saya paham bahwa untuk memahami dan menemukan ‘keberhargaan’ sebuah buku, kita pun butuh sabar.

Jujur, novel ini saya tamatkan selama dua bulan. Bab 1 hingga Bab 30 terasa membosankan bagi saya. tidak ada konflik yang terlalu berarti. Tidak terlalu banyak perkataan-perkataan yang bisa diresapi dan dimaknai, maka jadilah novel ini selalu saya kesampingkan dan saya buka sekali-kali jika saya sedang tidak ada kerjaan. Saya tidak terlalu ingin menamatkannya. Tapi saya kembali berpikir, tidak mungkin penerbit sebesar REPUBLIKA menerbitkan buku yang isinya biasa saja. saya mulai bertanya, ceritanya yang membosankan, atau saya yang belum bisa memahami isi ceritanya?

Maka untuk mendapatkan jawabannya, tidak lain dengan terus melanjutkan membacanya dan menamatkannya.

BAB 31. Pertanyaan pertama mulai diajukan. Pertanyaan tentang apa? Bacalah sendiri.

Selanjutnya hingga BAB 50-51 pertanyaan-pertanyaan lain mulai diajukan dan dijawab. Ada lima pertanyaan dari lima kehidupan manusia yang berbeda. Empat dari lima pertanyaan itu terjawab oleh seorang guru besar bernama Ahmad Karaeng yang akrab dipanggil Gurutta dalam cerita ini. Kemudian satu pertanyaan terakhir, sebuah pertanyaan yang berasal dari Gurutta tanpa disangka-sangka terjawab oleh seorang kelasi kapal yang patah hati. Seorang pemuda yang dangkal ilmu agamanya dan tokoh paling muda di antara tokoh utama dalam cerita ini.

Kalian tahu apa yang saya dapatkan setelah membaca novel ini khususnya di BAB 31 hingga 51? Banyak hal! Dan salah satunya adalah saya kemudian mengerti bahwa setiap manusia yang hidup dengan segala macam takdir yang ia miliki akan selalu memiliki satu atau lebih pertanyaan hidup dalam dirinya. Pertanyaan yang berbeda-beda setiap orangnya, dan terkadang kita akan menemukan jawabannya itu dari orang-orang yang kita temui dalam hidup kita. Bahkan dari seseorang yang tidak pernah kita kira, seperti kelasi rendahan yang pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan seorang Gurutta.

Ya, kita tidak pernah tahu serumit apapun pertanyaan yang kita bawa dalam hidup bisa jadi akan menemukan jawabannya dari seorang yang memiliki tingkat pendidikan, sosial atau bahkan agama yang jauh dari kita. Itu sebabnya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghargai siapapun yang kita temui dalam hidup kita, karena bisa jadi, orang yang kita sepelekan karena kemampuanyalah yang memegang jawaban atas pertanyaan kita. Bisa jadi, orang yang paling tidak kita perhitungkanlah yang akan memberikan pemahaman hidup yang lebih baik untuk kita. Bisa jadi, orang yang paling membutuhkan pertolongan kitalah yang malah akan menolong kita keluar dari kebingungan.
Bisa jadi seperti itu.

Hal lain yang saya temui dalam buku ini adalah tentang penerimaan dan sabar. Tentang bagaimana kita belajar untuk menerima takdir Tuhan yang terkadang terasa tidak adil bagi kita. Bagaimana kita bisa menerima bahwa hal yang kita inginkan tidak selalu menjadi hal yang terbaik untuk diri kita. Maka atas luka, atas rasa kecewa, atas rasa marah dan rasa bersalah, ada baiknya mulai saat ini kita belajar menerima. Menerima tidak sekedar menerima. Menerima dengan pemahaman yang baik untuk belajar mengerti bahwa atas sebuah proses hidup yang baik, atas sebuah kesalahan yang dilakukan karena ketidaktahuan, atas sebuah luka yang entah mengapa diberikan Tuhan, selalu ada pelajaran dan pesan yang ingin disampaikan Tuhan.

Dan ketika itu berasal dari Tuhan, maka itu akan selalu menjadi kebaikan. Belajarlah menerima dengan konsep yang seperti itu.

Kemudian, sabar. Dalam novel ini dituliskan bahwa sabar adalah penolong kita yang luar biasa. Bagaimana bisa? Begini, ketika kita menerima sebuah takdir Tuhan, takdir yang tidak kita inginkan, takdir yang entah mengapa dan kita tidak paham dan mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci dan tidak menyukai takdir tersebut. Jika kita bersabar, menerima, maka kelak waktu akan menjelaskan hal-hal yang tidak kita pahami sebelumnya. Dan apabila kita sabar dan menerima, waktu akan mengobati semua luka dan kecewa yang sempat kita dapatkan sebelumnya. Ingatlah bahwa pengetahuan manusia terbatas, dan sungguh, kita tidak perlu tahu seluruh hal di dunia ini.
Sabarlah, ikhlaslah.

Saya hingga detik ini yakin, atas semua hal yang selama ini saya perjuangkan namun belum bisa saya menangkan atau dapatkan adalah karena (mungkin) memang belum pantas saya dapatkan atau (mungkin) akan diganti yang lebih baik oleh Tuhan. Hal yang terus saya lakukan adalah berjuang dengan cara yang benar, agar saya mendapatkan hasil yang benar juga, walau mungkin hasilnya tidak sesuai dengan keinginan saya, karena sekali lagi saya ingin belajar memercayai bahwa hal yang saya ingini belum tentu menjadi hal terbaik bagi hidup saya. semoga pemahaman ini akan selalu saya pegang agar saya bisa belajar ikhlas saat bertemu dengan kegagalan ataupun kekecewaan dalam bentuk apapun.

Saya adalah pelupa yang akut. Saya sering melupakan nama-nama orang yang saya temui. Saya sering melupakan jalan cerita sebuah film atau buku yang saya baca. Saya sering melupakan arah jalan yang (padahal) sering saya lewati. Tapi entahlah untuk yang satu ini saya harus bersyukur atau tidak atas saya yang sebagai pelupa akut; saya sering melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup saya. Bahkan sering saya lupa jika saya sedang marah dengan seseorang. Saya hanya tidak ingin terbiasa membenci. Saya tidak ingin merasa sedih dan kecewa terlalu lama. Maka tanpa saya sadar, saya menggunakan kemampuan saya—jika saya boleh mengakui pelupa saya sebagai sebuah kemampuan—melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Saya hanya berusaha menjadikan kekurangan pelupa saya sebagai kelebihan tersendiri untuk beberapa hal.

Dan seperti yang saya nyatakan di awal, inilah yang dilakukan pelupa saat merasa bahagia; menulis.

Saya menulis agar kelak, suatu saat nanti yang entah kapan, ketika saya membaca tulisan ini lagi saya bisa merasakan bahagia yang sama seperti malam ini saat saya menuliskan ini semua. Inilah kejujurannya, saya menulis untuk diri saya sendiri sebenarnya, tapi jika tulisan ini bisa membuat orang lain juga merasa bahagia, maka kebahagiaan saya berkali-kali lipat. Adakah hal bahagia selain ketika kebahagiaan kita menjadi sumber kebahagiaan (juga) bagi orang lain?

Saya tidak perlu menjawab.

Terakhir saya ingin menuliskan tentang pengalaman saya menamatkan novel ini. Saya sempat berpikir, adakalanya kita hampir menyerah untuk menyelesaikan suatu hal—seperti saya yang hampir menyerah menuntaskan novel ini—tapi kemudian ada di mana kita seolah ‘dibisikan’ untuk terus menyelesaikannya. Jika itu terjadi dalam kehidupan kita kelak, maka, yakinilah bahwa itu petunjuk alam semesta dan Tuhan agar kita tidak lekas menyerah, karena ada hal berharga yang bisa kita dapatkan di ujung sana. Jadi... membaca saja butuh sabar, apalagi memahami dan menemukan keseruan akan kehidupan. Jika alur cerita hidup kita saat ini terasa datar dan kurang seru, maka bersabarlah. Sabar! Tetap teruskan dengan penuh harapan baik. Akan ada waktunya kalian memasuki bab baru dalam kehidupan kalian yang membuat kalian kehilangan rasa lelah dan kehilangan kesempatan untuk sekedar menggerutu!!

Monday, March 2, 2015

KUCING DAN KELINCI BUTA YANG SELALU BERSYUKUR


“kuberitahukan kau sebuah rahasia, Kucing. Semua hal di dunia ini hanyalah permainan pikiranmu. Kau akan merasa cukup jika kau berpikir kau telah cukup. Kau akan merasa bahagia jika kau berpikir kau bahagia. Begitulah yang dikatakan ibuku”



Suatu hari, di tengah hutan tampak seekor Kelinci sedang sibuk mengumpulkan daun-daun untuk makan malamnya. Tak lama kemudian, seekor Kucing datang dengan wajah masam menghampirinya.

“Hai Kelinci, apa yang sedang kau lakukan dengan daun-daun itu?” tanya Kucing.

Kelinci yang sedang sibuk memetik daun-daun berhenti lalu menoleh perlahan ke arah Kucing, “kau berbicara kepadaku?” tanya Kelinci.
“Ya. Aku berbicara kepadamu. Siapa lagi yang ada di sini selain kau dan aku.” kata Kucing kesal.
“Ah, iya. Maafkan aku. Aku hanya...”
“Apa yang akan kau perbuat dengan daun-daun itu?” potong Kucing, bertanya untuk kedua kalinya.

Kelinci mengangkat keranjang rotannya yang sudah hampir penuh terisi oleh daun. Kelinci melompat-lompat menuju Kucing. Kucing memandangi Kelinci dari ujung kaki hingga ujung telinganya yang panjang dan lebar, baju yang dikenakan Kelinci sangatlah lusuh dan kotor.

“Hey! Jangan dekat-dekat, Kelinci! Kau sungguh kotor dan bau! Nanti kau akan mengotori baju baruku” teriak Kucing.
“Ah.. Maafkan aku.” kemudian Kelinci mundur beberapa lompatan mematuhi perintah Kucing untuk tidak terlalu dekat dengannya. “Daun-daun ini adalah makan malamku dan pamanku untuk hari ini. Pamanku sedang sakit, maka aku harus mencari makan dan merawatnya.” Jelas Kelinci

Kucing diam mengamati Kelinci sekali lagi. Ada yang tampak tidak biasanya.


“Hey Kelinci, mengapa bola matamu tampak aneh?” tanya Kucing
“Aneh seperti apa? Apakah mataku tampak menyeramkan?” jawab Kelinci sambil tersenyum.
“Tidak, tidak menyeramkan, hanya saja...”
“Hey, Kucing... kau harus segera pulang, sebentar lagi malam akan datang dan hutan ini akan sangat gelap untukmu. Kau pasti tidak menyukai kegelapan kan?” ujar Kelinci.
“Aku tak ingin pulang. Aku akan membayarmu dengan banyak wortel dan daun-daunan kalau kau mengizinkan aku untuk ikut tinggal bersamamu semalam saja, wahai Kelinci”
“Bagaimana kalau kedua orang tuamu mencari-cari dirimu. Kau harus minta izin terlebih dahulu kepada mereka.”
“Orang tuaku sudah mengizinkan, dan mereka akan memberikan kau dan pamanmu dengan makanan yang banyak jika kau mengijinkan aku tinggal bersamamu malam ini.”

Akhirnya Kelinci mengizinkan Kucing untuk tinggal bersamanya. Sore itu mereka berdua menuju rumah Kelinci di tengah hutan, dan betapa terkejutnya Kucing saat tiba di depan rumah Kelinci. Rumah Kelinci hanyalah rumah pohon yang sangat kecil. Tidak ada lampu-lampu indah seperti di rumah Kucing, hanya ada beberapa lampu minyak yang menggantung di dinding rumah pohon. Di dalamnya hanya ada beberapa kursi kayu yang di ujungnya tampak ditumbuhi jamur.
“Maafkan aku, aku tidak punya ikan ataupun daging yang bisa kau makan,Kucing. Aku hanya ada beberapa wortel ini dan sayuran” ujar Kelinci.
“Tak apa-apa, aku tidak lapar” jawab Kucing pelan. Sesungguhnya ia sangatlah lapar, tapi melihat kondisi rumah Kelinci dan pamannya yang sedang terbaring sakit ia tak punya hati untuk meminta macam-macam makanan kepada Kelinci.
“Kucing, aku harus merawat pamanku sebentar, agar kau tak bosan pergilah keluar dan kau akan melihat bintang yang sangat indah” tawar Kelinci.

Kucing mengikuti saran Kelinci. Sementara Kelinci mengurus pamannya untuk makan malam, ia keluar dan duduk di depan rumah pohon. Untuk kedua kalinya Kucing terkejut melihat taburan bintang yang sangat indah di langit. Ia tidak pernah melihat langit penuh bintang seperti ini sebelumnya. Di rumahnya, cahaya bintang tampaknya tersaingi dengan benderang lampu-lampu taman dan lampu lain yang terpasang. Ia tak pernah melihat cahaya bintang sebenderang ini. Tak pernah melihat langit malam seindah ini. Saking senangnya, ia melupakan perut laparnya.

Beberapa saat kemudian, Kelinci keluar menghampiri Kucing yang masih sangat takjub dengan pemandangan langit malam itu. melihat Kelinci yang baru saja keluar dari rumah pohon, Kucingpun segera memanggilnya. “Hai Kelinci!! Duduklah di sampingku. Lihat lah langit malam ini sunggulah sangat indah!”. Kelincipun melompat ke arah kucing, tentu saja masih menjaga jarak, ia takut mengotori baju Kucing yang hingga malam inipun masih tercium sangat harum.
“Pamanmu bagaimana?” tanya Kucing kepada Kelinci.

“Paman sudah tidur. Kucing sungguh kau tidak lapar? Makanlah beberapa wortel milikku, kau belum makan sedari sore saat kita bertemu.”
“Tidak Kelinci, sungguh aku tidak lapar Sebelum aku bertemu denganmu di hutan tadi, aku sudah makan banyaaaak sekali makanan lezat! Lagipula Kucing tak makan wortel” jelas Kucing, “hey Kelinci, lihatlah ke atas, langitnya sangat indah!”

“Iya... kata ibuku langit selalu tampak indah dari hutan kami”
“kata ibumu? Mengapa harus kata ibumu? Lihatlah sendiri dengan matamu!”

“Kucing, apakah kau belum menyadarinya?”
“menyadari apa?”

“Aku tak bisa melihat. Itu mengapa bola mataku tampak aneh seperti yang kau katakan tadi sore”
Untuk keempat kalinya Kucing terkejut.
“Tapi kau tak terlihat seperti Kelinci yang buta?! Kau tak pernah menabrak pohon atau apapun saat perjalanan kita pulang. Kau pun tidak seperti Kelinci buta saat sedang merawat pamanmu”

“Begitukah?” Kelinci tersenyum,”kata ibuku,aku hanya tak bisa melihat dengan mata, tapi aku tidak buta. Aku tidak bisa melihat sedari aku masih bayi. Ibu dan ayahku mengajarkan aku dan mengenalkan aku kepada setiap sudut tempat di hutan ini hingga aku sangat hapal setiap pohon yang tumbuh ataupun setiap jengkal tanah yang kupijak.
“Kata kedua orang tua ku, aku tak perlu takut dengan kekuranganku. Tuhan Maha Adil. Jika ia memberikan kekurangan, maka bersama kekurangan itu ia karuniakan juga kelebihan. Aku tak bisa melihat, tapi pendengaranku, penciumanku dan kemapuan menghapalku sangatlah bisa aku andalkan.
“Mereka selalu bilang walau aku tidak bisa melihat dengan mataku, bukan berarti aku tidak bisa seperti kelinci lainnya. Mungkin mataku tak bisa melihat dan menangkap cahaya, tapi aku, dan siapapun akan selalu bisa melihat sesuatu lebih jelas dengan hati yang kita miliki. Penglihatan yang diberikan dari mata terkadang malah memberikan kekeliruan, sedangkan pandangan yang diberikan oleh hati, akan selalu tampak seperti apa adanya” jelas Kelinci.

“Lalu di mana ayah dan ibumu sekarang? Aku tidak melihatnya sedari tadi.”

“Ayah dan ibuku sudah pergi. Mereka tertangkap oleh manusia saat ingin melepaskan rusa yang terjerat jebakan manusia. Kata paman, ibu dan ayah tidak bisa untuk tidak menolong rusa yang sedang hamil dan terlihat kesakitan, maka ayah dan ibu mengerat jaring jebakan itu. Rusa berhasil lepas, namun ayah dan ibu tertangkap oleh manusia. Itulah yang diceritakan paman kepadaku”

Kucing terdiam mendengar cerita Kelinci. Ada getir yang mengalir di hatinya saat ini.

“Walau aku tidak bisa melihat bintang dengan mataku, tapi aku bisa membayangkannya dalam pikiranku. Dulu, ibu dan ayah selalu menceritakannya dengan sangat detil, kemudian aku bisa memabayangkannya dalam pikiranku. Seperti tadi sore, walau aku tidak bisa melihat dirimu, tapi aku bisa membayangkan alangkah cantiknya baju yang kau kenakan. Bau badanmu sungguhlah harum, kau pasti cantik bagaikan seorang putri, Kucing, bajumu pastilah juga sangat indah”
Mendengar penjelasan Kelinci.

Kucing mulai membuka suara, “sungguh tak adil hidup ini kepadamu wahai Kelinci, pastilah kau sangat menderita selama ini. Kau buta sedari kau kecil dan kaupun tak punya ayah dan ibu untuk berlindung, malah kau harus merawat pamanmu yang sakit-sakitan di rumahmu yang sangat sempit dan pengap ini” kata Kucing.

“Tidak Kucing, aku tidak pernah merasa menderita. Aku bersyukur atas hidupku. Dulu, aku pernah bertanya kepada ibuku tentang mengapa Tuhan tidak memberikanku mata yang bisa melihat dunia, kemudian ibuku menjawab, Tuhan memberikanku mata yang tidak bisa melihat dunia karena Tuhan ingin aku melihat dunia dengan lebih indah daripada orang lain melihatnya. Seperti aku membayangkan indahnya langit, bisa jadi langit yang ada di bayanganku jauh lebih indah dari langit malam ini. Bajuku yang sempat kau katakan lusuh dan kotor, aku tidak pernah melihatnya seperti itu, di pikiranku, baju ini adalah baju terbaik dan tercantik yang kupunya karena baju ini dirajut oleh ibuku sendiri. aku selalu merasa hangat mengenakan baju buatan ibu. Aku selalu merasa ibu memelukku saat aku memakainya. Rumahku yang kau bilang sempit dan pengap ini, aku tak pernah merasakannya begitu, rumah pohon ini penuh dengan kenangan aku dan kedua orang tuaku. Banyak cerita dan ilmu pengetahuan yang ayahku ajarkan kepadaku sehingga aku bisa melihat dunia dengan lebih luas. Sesempit apapun yang kau lihat dengan matamu, tapi hatiku selalu merasakan rumah pohonku sangatlah luas dan lapang. Akupun tak merasa keberatan merawat pamanku yang sakit, paman adalah pengganti ayah semenjak aku tak punya kedua orang tua lagi, ia selalu merawatku dengan penuh kasih sayang, dan aku beruntung diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk membalas kebaikan hatinya dengan merawatnya saat ini
“kuberitahukan kau sebuah rahasia, Kucing. Semua hal di dunia ini hanyalah permainan pikiranmu. Kau akan merasa cukup jika kau berpikir kau telah cukup. Kau akan merasa bahagia jika kau berpikir kau bahagia. Begitulah yang dikatakan ibuku”

Kucing meneteskan air mata mendengar cerita dari Kelinci. Tiba-tiba dia rindu dengan kedua orang tuanya, pasti mereka sedang sangat khawatir mencarinya. Sungguh ia malu dengan Kelinci yang selalu bersyukur dengan kehidupan yang ia miliki walau terlihat sangat kekurangan.
Kucing mulai terisak.


“Kucing, apakah kau menangis?” tanya Kelinci.
“Aku rindu sama ayah dan ibuku... Kelinci... maaf aku telah berbohong kepadamu, sebenarnya aku kabur dari rumah karena ayah tidak membelikan boneka yang aku inginkan. Aku kesal... tapi... setelah mendengar ceritamu aku sadar betapa tidak bersyukurnya aku. Selama ini aku hidup berkecukupan, berlebih bahkan. Apa yang aku pinta ayah dan ibuku selalu berusaha untuk memenuhinya, tapi aku selalu tidak merasa cukup dan puas. Aku malu denganmu, Kelinci... yang terus bersyukur dengan kehidupan yang kau miliki. Kupikir mungkin aku tidak akan sanggup hidup bila aku menjadi dirimu” jelas Kucing sambil menangis tersedu.

“Satu hal yang harus kau ingat, Kucing, bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan mahkluk ciptaanNya. Dan hal kedua yang juga sangat penting untuk kau ingat bahwa kita tidak akan selamanya bisa bersama dengan orang tua kita, Kucing. Selama mereka masih bersama kita, maka kita wajib membahagiakan mereka. Tuhan akan selalu mencintai ciptaanNya yang memperlakukan baik orang tuanya.” Lalu Kelinci melanjutkan, “besok pagi, akan aku antar kau kembali ke rumahmu, ayah dan ibumu pasti sangat khawatir.”

Keesokan harinya, Kelinci mengantar Kucing kembali ke rumahnya. Alangkah bahagianya ayah dan ibu Kucing saat melihat anak satu-satunya kembali. Sebelum pulang, Kucing memberikan banyak sayuran dan buah-buahan kepada Kelinci untuk dibawa pulang sesuai dengan janjinya. Selain itu Kucing juga menceritakan kehidupa Kelinci dan Pamannya yang hanya tinggal di rumah pohon yang sempit. Kemudian orang tua Kucing sepakat untuk membuatkan rumah yang lebih bagus untuk Kelinci dan Pamannya. Semenjak pertemuannya dengan Kelinci, perlahan demi perlahan sikap Kucing berubah semakin baik. Ia mulai lebih menghormati orang tuanya dan menghargai teman-temannya.

Terkadang kita selalu mengukur kebahagian dari hal-hal yang kita lihat, entah itu uang, jabatan, pendidikan ataupun barang-barang yang kita miliki. Padahal, Tuhan menakar kebahagiaan setiap mahkluknya dengan hal yang berbeda-beda. Sesungguhnya, seseorang yang mampu merasa cukup dan terus bersyukurlah adalah orang kaya yang sebenarnya menghargai apa yang ia miliki dan terus berbagi serta mengasihi orang lain.

Orang yang terlihat bahagia dengan segala kebercukupan harta yang ia miliki tidaklah menjamin seseorang itu benar-benar merasakan bahagia. Sebaliknya, seseorang yang terlihat sangat menderita ketika ia memiliki pemahaman kehidupan yang baik maka mungkin ia adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Dan ingatlah... Tuhan telah berjanji, bahwa Dia akan menambahkan karuniaNya bagi umatNya yang bersyukur