Friday, October 15, 2010

PERI MIMPIKU




Dia ada di balik hujan, di bawah lengkungan pelangi, di sela-sela angin yang basah.
Dia terhampar di antara bintang-bintang, dia menggantung di bulan sabit, dia terang di tengah malam.
Aku tau dia selalu ada. Mungkin di samping ku sambil tersenyum tulus. Menepuk pundakku saat lelah mulai menggoyahkan kuatku. Memelukku erat saat hati terasa getir. Mengecupku hangat saat kosong memberi hampa di jiwaku.
Aku tahu dia ada.
Disini.
Seperti sosok peri dengan sayap kokoh yang anggun, dia bisikan ku untuk jangan menyerah. Ia bernyanyi, menari dalam fikiranku. Mengajak pergi dalam khayal yang selalu ingin aku wujudkan di sisa hidupku.
...
Aku duduk sendiri di bangku ini.
Menatap lorong yang ramai namun terasa dingin menusuk.
Ingin ku pecahkan penat ini dengan air mata. Marah.
Ingin ku persalahkan alam atas segala hal yang terasa sia-sia ini.
Aku kalah.
...
Aku tahu ia ada.
Ia letakan tanganku di dadaku.
Iya berbisik, ”semuanya akan baik-baik saja sayang. Musnahkan aku. Dan biarkan aku menjadi bagian dari cerita hidupmu kelak. Ingat menara yang akan menjulang indah di malammu, ingat tanah Tuhan yang ingin kau pijak kelak, ingat itu sayang. Musnahkan aku. Dan biarkan aku menjadi bagian dari cerita hidupmu kelak”.
Detak jantungku mulai berirama.
Senyumku menang untuk hadir di wajah mengalahkan lelah
Kuatku hadir bagai raja.
Aku tahu dia ada.
...
Dia adalah mimpiku.
Terkadang aku memeluknya,
Namun terkadang dia yang memelukku.

Sampai kelak ku musnahkan dia untuk tidak lagi menjadi mimpi, namun menjadi bagian dari cerita hidupku.

Tentang Mereka Yang Tidak Tahu Harus Aku Panggil Apa.





Aku tidak tahu harus menyebut mereka apa. Sungguh aku tidak tahu.
Biarlah mereka tetap menjadi “mereka”, yang kurasa, sebuah anugrah.

Lagi-lagi aku tidak tahu harus memulainya darimana. Tanggal dan hari itu aku sudah lupa. Mungkin cukup jika aku memulainya dari : Tahun 2007, Yogyakarta.

Tiara. Adalah orang pertama dari mereka yang ku temui. Disebuah hari saat test AAI. Aku masih ingat obrolan pertama dengan Tiara, ini dia:
Tiara : Eh lo anak hukum juga ya?
Aku : Iya. Lo anak hukum juga? (dengan wajah berbinar dan agak berlebihan).
Tiara : Kenalin, Tiara.
Aku : Dari tadi gue nyariin anak hukum, enggaaaaak nemu satu pun dan akhiiirrrnyaaa... iya iyaaa... gue Nisaaa... ahahahahaaa (benar-benar berlebihan)
Tiara : (diam)—(heran).
Aku : oyaaa ngomong-ngomong lo dari mana?
Tiara : Jakarta.
Aku : Yampuuuuuun samaaaa!! Ahahahaa, dari SMA mana?
Tiara : gue SMA 13.
Aku : Yaaaaaa-aaaaaampuuun!! Deketan dong ya sama SMA gue??? Gue dari SMA 12!! (Padahal SMA 12 sama SMA 13 jauh banget!!)
Tiara : heh? (semakin heran)

Yah. Kurang lebih itulah obrolan pertama gue dengan Tiara.



***

Di bawah pohon besar yang lebih dikenal dengan sebutan DPR (Di bawah Pohon Rindang) di kalangan mahasiswa hukum UGM. Disuatu siang.
Aku : Loh? Rumah lo di Amerta juga tho? Tadi siapa namanya
Puspa : Iya. Aku Puspa. Kamu di Amerta berapa?
Aku : gue amerta IV no 43 sebelah pos satpam percis!
Puspa : berarti kita tetanggaan ya.
Aku : Iyayah? Yaudah kapan-kapan kita latihan motor bareng yuuukk... (pada akhirnya gue nyesel ngajakin puspa latihan motor bareng, karena pas kita latihan berdua, puspa cuma berani 20km/jam! Sumpah, gue udah 3x puteran, dia setengah aja belum nyampe! kocak!!)
Puspa : Eh kenalin, ini temenku Noe.
Aku berjabat tangan dengan sosok yang disebut noe itu. Saat itu aku berfikir “sok letto banget sih!”, Ahahahaaa...

Itulah siang disaat aku bertemu dengan Puspa dan Noe. Di situ pun ada Tiara. Dan sepertinya tanpa aku sadari, siang itu menjadi sebuah sejarah, aku bertemu dengan mereka.



***



Setelah pertemuan itu, kami selalu berempat. Kuliah bareng, belajar bareng, jalan-jalan bareng, banyak hal yang kami lewati barengan.
Banyak tawa. Tapi juga ada air mata. Mulai dari yang kehilangan handphone, putus sama pacarnya, ditinggal pergi cowok yang baru saja menciumnya *ups, dimarahin dosen, dan masih banyak lagi. kami selalu berempat. Ada, untuk satu sama lain.



Semakin dekat ketika kami satu sub unit dalam KKN. Kami saling mengenal lebih dalam, dengan penuh kesadaran mungkin ini adalah momen terakhir kami bisa menghabiskan waktu berempat. Mulai semester 7, kami jalan masing-masing karena mata kuliah yang sudah berbeda, urusan yang sudah tidak sama, dan skripsi di depan mata. Mungkin semester 7 ini tidak akan sama dengan semester 3 dan 4 dimana kami menghabiskan waktu istirahat di Kantin Fisipol bergosip sambil ketawa cekakakan sampai dipelototin orang-orang.

Yah... bukankah hidup memang akan seperti ini. Dinamis.



Hampir tiga tahun. Kami menghabiskan waktu bersama. Bisakah aku menyebut ini dengan persahabatan? Kami saling menerima satu sama lain. Kami saling mengisi satu sama lain. Mungkin mereka yang lebih banyak mengisi aku. Baru aku sadari, kalau diantara kami berempat, akulah yang paling “enggak nyambung” kalau ada diantara kami punya masalah percintaan (maklum tidak berpengalaman).

Entah apa yang terjadi sepuluh tahun lagi. Tapi aku ingin makna mereka akan tetap seperti makna mereka saat ini untuk ku. Semoga.