Monday, September 28, 2015

Piknik di 1818mdpl, MANGLAYANG


September, hari keduabelas dan tiga belas di tahun 2015.

Bagi saya melakukan perjalanan adalah salah satu cara kita untuk mengenal siapa diri kita lebih dalam. Tidak banyak yang menyukai jalan menanjak, begitupun saya. Tapi selalu ada alasan untuk bertemu kemudian jatuh cinta dengan punggung gunung satu dan punggung gunung lainnya. Aneh, terkadang saya berpikir, mengapa kita bisa jatuh cinta dengan sesuatu yang (padahal) di dalamnya ada hal yang tidak kita suka?

Mungkin, karena untuk mencintai suatu hal itu tidak selalu tentang segala hal yang kita suka dan kita inginkan (saja), akan tetapi sesuatu yang bisa kita pahami dan kita terima dengan apa adanya.

Perjalanan kali ini saya, Bajaj, Kiki, beserta dua teman baru saya , Stella dan Bang Binsar menuju Gunung Manglayang. Sebuah gunung dengan angka cantik berulang untuk ketinggiannya: 1818 mdpl, yang terletak di daerah Jatinangor, Bandung, Jawa Barat.


Banyak hal yang harus dipersiapkan dalam sebuah perjalanan. Kita tidak sedang berbicara tentang apa-apa saja yang harus dibawa, tapi tentang apa-apa saja yang harus disiapkan. Apa saja. Apapun bentuknya, karena banyak hal di luar dugaan yang mungkin terjadi. Banyak hal di luar harapan yang mungkin kita dapatkan. Tapi kembali lagi, bagi saya tidak ada perjalanan yang tidak bercerita, tidak ada perjalanan yang tidak mengajarkan hal baru, tidak ada perjalanan yang hanya sekedar perjalanan. Perjalanan selalu memberikan sesuatu, dan bila cukup beruntung, sebuah perjalanan akan membuka jalan untuk mengenal lebih dalam siapa kita sebenarnya.


Dari hasil pengumpulan informasi sederhana lewat blog-blog dan media internet lainnya, Manglayang pada awalnya membawa bayangan di kepala tentang sebuah piknik yang menyenangkan dengan medan tanjak yang memungkinkan saya untuk bersiul-siul lucu atau bersenandung lagu ceria sambil menatap pemandangan kebun jeruk nipis penduduk di sisi jalannya. Penanjakan yang ceria dan tidak perlu "bersusah payah". Kenyataannya? Jangankan bernyanyi, untuk bernafas saja saya sulit karena kemiringan medannya lumayan curam dan berpasir. Maka saya putuskan bernyanyi dalam hati saja.
*di sini kadang saya merasa sedih*

Dilihat dari ketinggian, Manglayang sangat cocok untuk pemula; memang.

Tapi kembali pada kalimat awal, janganlah menilai gunung dari tingginya saja, karena dibalik angka cantik 1818 nya, Manglayang menghadirkan medan tanjakan yang luar biasa ngeselin.
(kesel: kesal, merasa kesal, kesel bahasa jawa yang artinya lelah, melelahkan)

Tapi atas segala tanjakan di depan mata yang berbatu dan seolah terus-terusan menanjak, saya memilih untuk terus mendaki! (habis kalaupun mau balik, malu sama carrier kali,,, udah minjem,,, masa ga jadi naik gunung! hahaha)


Ada pertanyaan yang selalu saya lemparkan ke dalam benak saya apabila saya telah memutuskan untuk melakukan sesuatu atau telah selesai melakukan sesuatu: apa yang saya dapatkan dari ini semua?


hal ini yang muncul di kepala saya ketika suatu pagi saya melemparkan pandangan ke arah pohon-pohon hijau belantara dan bertanya dalam hati: apa yang saya dapatkan dari Manglayang dari pagi kemarin hingga pagi ini?

Lautan awan? Tidak.

Sungai bintang? Tidak.

Medan yang menyenangkan? Tidak. Tidak. Tidak. Tidaaak!!

Lalu apa?

Kemudian saya melihat keempat teman perjalanan saya. Ada Stella yang super gesit sedang sibuk merapikan barang-barang di tenda, Ada Bajaj yang selalu semangat kalau ketemu panci dan penggorengan untuk menyiapkan makanan kami (untuk yang kesekian kalinya terhitung dari sarapan kemarin saat kami memulai penanjakan), ada Bang Binsar yang punya banyak cerita tentang gunung-gunung yang sudah ia kunjungi dan Kiki yang yang selalu bereksperiman dengan campuran minuman dan makanannya. Semua unik, dan menyenangkan bisa mengenal mereka.


Lalu saya tersenyum. Tidak lagi bingung dengan jawaban atas pertanyaan "apa yang saya dapatkan?" karena saya sudah punya jawabannya :)


Perjalanan kemanapun akan menyenangkan bila bersama orang-orang yang menyenangkan. Dan lagi, seperti tulisan saya di perjalanan SEMERU, alam adalah ruang kelas yang tidak memiliki dinding batas. Gunung, laut atau hutan belantara bisa menjadi guru terbaik, tapi sama halnya dengan ruang kelas, proses belajar tidak melulu dari guru kepada muridnya. Di ruang kelas, murid bisa belajar bagaimana caranya bersosialisasi dengan sesama teman. Murid bisa belajar dari buku-buku atau gambar-gambar pahlawan yang digantung di dinding-dinding kelas. Begitupun saya sebagai murid di perjalanan ke Manglayang kali ini.

Mungkin Manglayang tidak banyak mengajarkan apa-apa selain:

1) Pakai sepatu gunung saat mendaki kalau tidak mau jatuh bangun dan kaki memar-memar setelahnya
*mandangin memar dan beberapa luka gores di kaki yang belum juga hilang*

2) Kalau didekati lebah jangan bilang "pait-pait" tapi bilang aja "sayamanis-sayamanis" dijamin lebahnya langsung pergi karena eneg ngedengernya. Eh tapi serius lho ini! Di Manglayang banyak lebah!

Sejauh itu, ya begitu-itu... tapi ada hal lain yang bisa saya pelajari selain hal-hal teknis di atas. Saya belajar bagaimana manusia bisa saling berinteraksi satu sama lain. Saling melengkapi dan menyemangati. Bagaiman saya bisa berinteraksi kepada diri saya sendiri. Menawar-nawar agar jangan dulu semangat dicabut dari kaki yang sudah terasa lelah dan nyeri saat melangkah, dan hal lain seperti...


Pelajaran pertama, kalau selama ini kita diajarkan untuk tidak menilai buku hanya dari sampulnya, maka kali ini marilah kita tidak meng-underestimate gunung dari ketinggiannya. 1818 jelas bukan angka yang menyeramkan bahkan bagi pendaki pemula seperti saya, tapi kenyataan harus ikhlas diterima dengan lapang dada, saat medan Manglayang jauh lebih ganas dari yang saya perkirakan. Tanjakan. Tanjakan. Tanjakan. Dan tanjakan.

*izin garuk-garuk tanah sembari main sama lebah dulu, boleh?*


Pelajaran kedua, saat langkah pertama sudah dibuat maka itu artinya tujuan akhir telah diputuskan. Selesaikan perjalanan, walau mungkin perjalanan berikutnya tidak membawamu kepada harapan yang diinginkan. Karena pada akhirnya saya mulai memahami bahwa hidup tidak selalu tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi juga menyelesaikan apa yang telah kita mulai. Setidaknya, dari perspektif ini saya belajar untuk bertanggungjawab dengan keputusan yang telah dibuat. Jangan pernah takut dengan medan yang terjal, berpasir atau berbatu, takutlah dengan rasa takutmu sendiri yang bila sampai kamu menangkan bisa jadi membuat mu menjadi jiwa yang kerdil, jiwa yang ketakutan dan mudah menyerah. MERDEKA!!

*entah kenapa gue berasa jadi inspektur upacara di hari kebangkitan nasional nulis kata-kata seperti ini*


Pelajaran ketiga, jangan pernah takut untuk tidak mendapatkan apa-apa. Karena atas usaha yang keras, tidak mungkin bila kita tidak mendapatkan apa-apa.
Kami memilih jalur Baru Bereum di mana pada akhirnya kami tahu jalur ini lebih sering dipilih pendaki untuk turun bukan untuk naik. Jadi, waktu itu, kemirisan dan rasa sesal yang terasa adalah saat berpapasan berkali-kali dengan orang yang turun daripada yang naik. Dan sesuatu itu tidak selalu tentang hal yang bisa ditunjukan atau bahkan sekedar diceritakan. Belajar untuk percaya dengan waktu dan proses pendewasaan yang semesta berikan kepada kita. Tenang saja. Pada akhirnya atas semua usaha yang sudah dilakukan, kita pasti mendapatkan sesuatu yang cepat atau lambat akan kita rasakan, atau paling tidak akan kita pahami nantinya.

Pelajaran keempat, ya itu tadi... kalau dihinggapi lebah jangan bilang "pait-pait", tapi "sayamanis-sayamanis", dijamin lebahnya langsung pergi: DIJAMIN!

selamat mencoba!


Akhirnya kami berlima sampai di puncak MANGLAYANG yang tak seperti puncak gunung kebanyakan. 1818mdpl. Kami berlima makan siang dnegan makanan buatan Bajaj: Spageti, puding coklat, roti bakar dan kurma Tunisia.

Menu makan kami nggak nyambung? Please ga usah dibahas. Yang penting kami bahagia.


Kami menikmati perjalanan kami walau harus melewati medan yang cukup curam dan merasa semua di luar perkiraan;

Kami menikmati perjalanan kami walau harus minum air mentah di sungai yang rasanya "ada manis-manisnya gitu" dan ada "manik-manik hitam"-nya;

Kami menikmati perjalanan kami walau di puncak kami menemukan sosok mas-mas yang sangat percaya diri dengan setelah celana pendek dan blazer, di puncak Manglayang (kita sih berprasangka baik aja, mungkin mas itu sejenis fashion blogger di alamat blog www.fashionapaajabolehdeh. com entah-lah);

Kami menikmati perjalanan kami walau saat turun harus bertemu dengan segerobolan ABG labil yang mana ceweknya berteriak ke cowoknya "Cowok mah gitu, habis manis sepah dibuang! udah minta tolong difotoin terus kita ditinggalin!" , benar-benar luar biasa anak muda jaman sekarang.


Intinya, semua hal yang terjadi tidak selalu sesuai dengan perhitungan yang kita buat, tapi jika memang benar-benar tidak sesuai dengan perhitungan kita, yang bisa kita lakukan adalah HADAPI DAN BERSENANG-SENANGLAH! Karena itu artinya ada rencana TUHAN yang lebih baik dari perhitunganmu yang sedang menunggu di depan mata!















Tuesday, September 22, 2015

Sastra dan Rasa





Sastra itu menular seperti sebuah senyuman sederhana yang terlontar di udara

Sastra itu terkadang membingungkan, seperti sosoknya yang kau sukai diam-diam

Kita terkadang butuh waktu beberapa saat untuk memahami,

tapi tak butuh banyak waktu untuk mengagumi...

Tuesday, September 15, 2015

PAHAM


Kita butuh (sekali-kali) untuk terluka,

agar kita paham, alam punya caranya sendiri dalam penyembuhan.

Hingga nanti, saat kita terluka lagi, kita akan jauh lebih tenang,

lebih bijaksana, karena kita paham: cepat atau lambat, luka akan menghilang.

Kita akan menyembuhkan diri kita sendiri dari rasa sakit,

kita akan baik-baik saja.

Kemudian, kita tak terlalu takut lagi untuk terluka.

JANJI

Untuk September ini hingga nanti menyambut Januari...




Berjalan sajalah jika kau lelah untuk berlari,

berjalan lebih pelan sajalah jika lelah sudah semakin menjadi-jadi,

merangkak sajalah jika memang sudah sulit untuk sekedar berdiri,

Apasajalah...

asal jangan berhenti.





begitu saja, sudah cukup.




Annisa Rahmah