Thursday, June 2, 2016

CERITA MENTARI PAGI INI


Sebut saja namanya Mentari, yang pagi ini sudah menemui saya pagi-pagi, “Aku sudah enggak tahan sama bosku”, katanya. Maka pagi itu Mentari dan saya duduk berdua untuk mendengarkan cerita ajaib bos Mentari.
Saya tidak akan menuliskan tentang keajaiban bos Mentari di sini. Jika keajaiban itu membuat Mentari tidak betah dengan bosnya, sudahlah pasti keajaiban bos Mentari bukanlah hal yang menyenangkan untuk diceritakan. Maka kali ini saya ingin menulis tentang Mentari itu sendiri.

Mentari yang karena cerita-ceritanya kemarin dan tadi pagi, membuat saya ingin bercerita kepada banyak orang, bahwa dari Mentari saya mengerti bahwa sekian persen dari hidup adalah tentang bertahan.
Mentari adalah seorang ibu juga istri yang—sebutlah bukan keinginannya—harus merantau ke Jakarta.

“Banyak orang yang enggak tahu apa-apa menilai aku lebih mementingkan uang daripada keluarga, padahal kalaupun aku bisa milih, yo aku maunya ngumpul sama anak dan suamiku”, tutur Mentari saat lalu kepada saya dan beberapa teman saya. Saat itu saya khidmat mendengarkan Mentari. Saya tahu benar bagaimana lemahnya hati saat diserang rindu untuk orang yang terkasihi, apalagi anak kandung sendiri. Saat itu Mentari bisa menceritakan dengan selipan canda, tapi aku pikir itu hanyalah usahanya untuk membuat ceritanya tidak menjadi cerita yang menyedihkan bagi dirinya sendiri.

Mentari bercerita, bahwa di awal masa kerja dulu, hampir setiap hari dia menangis sendiri di kamar kos nya karena beban rindu yang terlalu besar untuk keluarga kecilnya di kampung halaman. Hingga di satu titik, Mentari sadar, bahwa pilihan telah dibuat dan harus dipertanggungjawabkan. Menangis kadang meringankan kesedihan, namun sedih yang terlalu larut dan berkelanjutan hanya akan melemahkan keyakinan akan kebaikan rahasia Tuhan atas jalan hidup yang telah digariskan.

Jika situasi terasa sangat sulit untuk diubah bahkan hampir tidak mungkin, maka cara pandang kitalah yang harus kita ubah, berusaha melihat hal-hal baik sekecil apapun, berusaha menyukurinya dan menerimanya dengan ikhlas, hal ini yang bisa saya pelajari dari Mentari.

Saya tahu pasti, bahwa tidak mudah melalui hari yang digelantungi rindu kepada buah hati. Itulah mengapa saya tidak pernah melihat mana yang lebih baik antara ibu bekerja dengan ibu tidak bekerja. Semua ibu adalah baik. Bekerja dan tidak bekerja adalah pilihan dari kondisi kehidupan yang tidak bisa disamakan untuk semua orang.
Teringat seorang teman mengirimkan pesan yang cukup indah bagi saya untuk dipahami:

Kita diberi rezki dapat hidup selalu di dekat suami, maka ketika kawan kita berpisah jarak dengan suami dan keluarganya, kita bilang ia menggadaikan rumah tangga demi materi. Ternyata mereka tetap hidup rukun dan bahagia dalam perjuangan rumah tangganya.

Kita diberi rezki menjadi ibu rumah tangga, maka ketika kawan kita memilih untuk bekerja di kantor, kita bilang ia menggadaikan masa depan anaknya. Ternyata ia bangun lebih pagi dari kita, belajar lebih banyak dari kita, berbicara lebih lembut kepada anak-anaknya, dan berdoa lebih khusyuk memohon kepada Tuhan untuk kehidupan anak-anaknya.


Saya sangat suka tulisan ini. Kita memang tidak pernah cukup adil dalam menilai kehidupan seseorang. Karena kita tidak pernah cukup tahu tentang apa yang telah mereka lewati, atau kehidupan seperti apa yang sedang mereka jalani. Toh, hidup adalah tentang pilihan. Hidup adalah tentang bertanggungjawab dengan pilihan tersebut.

Kembali kepada Mentari. Pagi ini Mentari bercerita tentang bosnya yang ajaib tadi, saya melihat matanya berkaca-kaca memantulkan rasa lelah yang mungkin terasa di dalam hatinya.

“Dia itu seolah-olah orang kaya, tapi kelakuannya ngelebih-lebihi dari orang yang enggak punya! Apa-apa duid, duid, duid, heran aku, di kepalanya kok kayanya cuma duid aja tu lho, Sa!”

“Sabar, mbak... Allah itu enggak akan ngasih cobaan di luar kemampuan kita. Allah ngasih cobaan bos rese ke Mbak, karena Dia tahu kalau ngasihnya ke aku, aku belum tentu bisa sabar kaya Mbak Tari... orang kaya bosnya mbak sering-sering di al-fatihah-in aja mbak sehabis solat... Allah itu kan Maha Pembolak-balik hati manusia... siapa tahu nanti si bos bisa sadar sama kelakuannya yang keliru selama ini...” jawab saya.

“Aku sudah sangat berusaha buat bersabar, Sa... tapi kadang ya aku ga tahan juga... dan sering bingung mau cerita ke siapa... Maaf ya, Sa... kamu jadi tong sampahku pagi ini, dengerin cerita-cerita bosku yang enggak penting”

“Mungkin Allah tuh lagi menyiapkan Mbak Tari jadi orang besar nantinya... Allah kasih contoh bos yang salah saat ini, biar nanti kalau Mbak Tari jadi bos, mbak enggak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bos mbak saat ini”

“Amin ya, Sa...”

Saya bersyukur pagi ini Mentari menghampiri saya dengan ceritanya. Sudah lama sekali saya tidak mendengarkan. Dulu, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam di ruang tamu untuk mendengarkan teman-teman saya yang silih berganti bercerita tentang banyak hal. Saya suka mendengarkan. Karena saat mendengarkan saya berpikir dan menebak-nebak apa yang dipikirkan Tuhan saat menciptakan kehidupan seorang manusia. Sesedih apapun cerita itu, segetir apapun seseorang menceritakan hidupnya, tapi saya selalu yakin Tuhan Maha Baik. Seperti sebuah luka yang kita dapat, adalah untuk mengajarkan kita bagaimana caranya mengobati dan meredakan rasa sakit, juga tentang bagaimana kemudian kita paham, bahwa luka adalah sesuatu yang sementara.

Hidup itu tidak selalu mudah, maka itu berarti hidup tidak akan terus-menerus susah. Adakalanya kita di bawah, dan melihat banyak ketidak-adilan di atas sana, tapi sekali lagi, keadilan adalah hal terabstrak di dunia ini selama manusia terlalu mudah menilai seseorang sesederhana benar dan salah, hitam dan putih. Bertahanlan saat di bawah, belajarlah banyak hal, agar kelak kita paham benar bagaimana berada di atas dengan gagah, dan memberi contoh kebaikan untuk mereka yang di bawah. Amin.

No comments:

Post a Comment