Friday, September 26, 2014

Ketika Merbabu sebagai Ibu


Jika ada yang mengatakan bahwa alam adalah ibu, maka mungkin itu benar. Selayaknya ibu yang senantiasa memberikan semua kebutuhan anak-anaknya. Selayaknya ibu yang memberikan pelajaran dengan seribu cara untuk sebuah pemahaman. Selayaknya ibu yang memberikan kebijaksanaan akan rasa cukup.

Selayaknya ibu, alampun seperti itu.


Ini perjalanan saya menapaki Merbabu. Saya tidak pandai menjelaskan Merbabu secara geografis. Sebutlah saya sebagai anak IPS gagal (bo-do-a-mat). Tapi, izinkan saya bercerita tentang pengalaman saya memahami alam sebagai ibu, dari Merbabu...




Tanggal sudah diputuskan. Tanggal 6 dan 7 September kami naik ke Merbabu. Titis, teman saya, hanya bisa berharap di tanggal itu karena rutinitas kerjaannya. Saya meng-iya-kan. Asal Titis bisa ikut bersama kami walau hanya dalam waktu dua hari, itu sudah lebih dari cukup. Saya berhutang kepada Titis. Bagi saya, perkenalan saya dengan hal yang berbau gunung diawali dari dia. Ajakan dia untuk pertama kali menanjak Ranu Kumbolo adalah hal yang saya syukuri hingga detik ini.

H-3. Titis memberi kabar bahwa ia tidak diizinkan orang tuanya untuk naik ke Merbabu. Kecewa? Jelas. Tapi karena ini berhubungan dengan ‘izin orang tua’ saya dan teman-teman yang lain tidak bisa berbuat apa-apa. Titis tidak bisa ikut. Akhirnya, saya, Ghoza, Chiro, Bin dan Eka yang diberi kesempatan untuk berkenalan dengan Merbabu. Kali ini saya harus berterimakasih (lagi) kepada Reza yang bersedia menemani kami untuk naik Merbabu.

Bagi saya, Reza salah satu manusia unik yang pernah saya temui. Entahlah berlebihan atau tidak, tapi seandainya kita sepakat bahwa gunung adalah bagian dari jiwa ibu, mungkin Reza anak pertamanya. Jiwa yang paham bagaimana memperlakukan seorang ibu, dan bagaimana cara mengajarkan anak lainnya—manusia seperti kami—memahami makna mendaki sesuangguhnya. (sorry deh kalau bahasanya terlalu lebai)

Saya sepakat, mendaki itu bukan tentang puncak. Tapi mendaki itu adalah perjalanan kita dari awal berangkat hingga turun untuk pulang. Ini tentang proses. Proses berharap, proses berjuang dan (satu hal) proses saling memikirkan satu sama lain. Seperti saya yang sangat semangat untuk menaiki Merbabu, menebak-nebak apalagi yang bisa saya pelajari dari perjalanan kali ini.


Saya harus kecewa dengan diri saya sendiri karena kondisi badan saya sangat payah saat awal mendaki. Entahlah, di awal pendakian saya merasa sangat mual. Ulu hati saya sakit. Kaki saya terasa tidak sekuat seperti biasanya. Banyak kemungkinan mengapa kondisi seperti ini terjadi; pertama, karena saya tidak cukup makan sebelum mendaki (tapi sepertinya bukan ini penyebabnya); kedua, saya sebenernya sudah agak sedikit mual karena perjalanan dari Jogjakarta ke basecamp daerah Selo, mengingat jalannya berkelok-kelok (bisa jadi, bisa jadi); ketiga, itu karena saya benci tanjakan! (Merbabu tanjakannya enggak abis-abis cuy!). Apapun alasannya, saya kecewa dengan kondisi fisik saya saat itu.
Saya merasa jadi pengacau di pendakian kali ini. Manusia yang paling sering minta istirahat tidak lain dan tidak bukan adalah saya. Sebal.

“Ayo Nisndut! Semangat” itu kata Chiro.

“Ayo Chiaobella...” itu kata Bin.

“Sa... semangaat!” itu kata Eka.

“Sa.. nek kamu mau istirahat yo ra popo lho” itu kata Ghoza

"Bentar lagi pemandangannya bagus lho" itu kata Reza.

Lebih dari itu semua, hal yang paling sukses menyemangati saya adalah melihat semangat Ciro, Bin dan Eka yang harus saya acungi jempol bisa bertahan dengan medan Merbabu—yang menurut saya berat—sebagai pendakian pertama mereka. Salut!
Jadi, walau sebenarnya perut masih sangat mual ditambah keseimbangan yang kurang, sepertinya saya harus menggunakan rumus, “you never know how strong you are until being strong is only choice you have”-nya Bob Marley. Di sini saya belajar untuk bertahan. Setidaknya, saya tidak mau merusak momen pendakian pertama tiga teman saya ini. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit rasa sakit mulai berkurang walau keseimbangan badan saya masih sedikit bermasalah, tapi ternyata semua baik-baik saja.


Ibarat perempuan, Merbabu mungkin tipe cewek keras kepala yang defensif. Kalau kalian tipe cowok yang mudah menyerah, kalian mungkin memilih untuk turun, nyerah dengan tanjakan aneka rupa yang disuguhi Merbabu. Mulai dari 30 derajat, 45 derajat sampai kemiringan di mana pilihan terakhir kalian adalah merangkak-pun disuguhi Merbabu. Bagi manusia sejenis saya yang kurang suka dengan yang namanya tanjakan, jelas perjalannan ini seharusnya terasa menyebalkan. Tapi... benar apa yang dikatakan Bob Marley (lagi), “if she amazing, she won’t be easy and if you give up, you’re not worthy...”. Dan ya... bagi saya si pendaki gunung amatiran ini, pada akhirnya terkagum-kagum dengan langit yang disuguhi Merbabu. Birunya, awannya, langitnya, bagi saya sore itu sempurna.

Di tanah lapang sebelum menuju sabana satu, kami menikmati sunset yang luar biasa anggunnya. Sampai akhirnya saya sadar bahwa badan saya memang sedang tidak baik-baik saja saat itu. saya mulai menggigil. Badan dan baju saya basah kuyup oleh keringat dingin. Kalau ada kamera yang standby, mungkin saya akan lambai-lambai tangan ke kamera: me-nye-rah.

“Ayo tong, satu bukit lagi kita sampai sabana satu terus pasang tenda” Kata Reza yang entah kenapa memanggil saya dengan sebutan “tong”. Mungkin entong, atau gentong, atau sotong,,, ah sudahlah.

Waktu saya melihat satu bukit yang dijelaskan Reza tadi, rasanya pengen nangis guling-guling minta baling-baling bambu ke Doraemon. Reza sudah jalan duluan mendaki. Bin, Ciro, Eka dan Ghoza masih menikmati sunset. Dan saya menggigil sendirian. Saya punya pilihan saat itu: tetap tinggal sejenak bersama yang lain di mana kemungkinan saya menangis itu sangat besar atau menyusul Reza menuju sabana satu dengan menaklukan satu bukit lagi. Tapi... mana tega saya merusak suasana sore itu dengan keluhan saya. Sore pertama bagi Ciro, Bin dan Eka yang mereka nikmati di atas gunung. Akhirnya saya memilih untuk menggendong tas saya dan segera menyusul Reza, berharap dengan bergerak, suhu badan saya bisa meningkat dan saya tidak menggigil.

Kenyataan pahit yang harus saya akui adalah bahwa kaki saya tidak sepanjang kaki Reza dan jelas kaki Reza tidak sependek kaki saya. Sudah bisa menyimpulkan mana yang kakinya panjang dan siapa yang kakinya pendek? Sudah... jawabannya cukup di dalam hati saja. atas kenyataan ini, saya tidak berhasil menyusul Reza, jadilah saya sebatang kara mendaki bukit dengan kemiringan entah-berapa-tapi-yang-jelas-butuh-perjuanga-banget-dakinya. Saya masih sangat kedinginan. Pergerakan tidak bisa cepat karena saya harus berhenti dan memilih bagian mana yang harus saya pijak. Saya ingatkan kembali, saya masih amatir. Tangan saya mulai mati rasa. Akhirnya, saya memasukan lengan saya ke dalam jaket. Melangkah sedikit demi sedikit. Memilih langkah, dan.... BrRRrUUUkkkKK... saya terjatuh. Karena posisi tangan saya yang masuk ke dalam jaket jadilah lutut saya yang harus rela mendarat pertama di tanah.
Saat jatuh, saya diam. Menoleh ke kiri dan ke kanan, nihil, tidak orang. Aman, pikir saya. Akhirnya, dalam rangka mengurangi rasa sakit saya, saya berteriak “AAAAAAAAAAA..... SSSAAAAAKKKKKKIIIT YA ALLLAH!!” dengan posisi yang masih berlutut. (bodo deh teriak. Ga ada orang ini!). Tapi saya salah. Tiba-tiba ada suara mas-mas...

“Mbak! Enggak kenapa-napa?!!” suaranya panik.
Saya enggak kalah panik. Saya teriak karena saya pikir tidak ada orang.

“Enggak papa kok mas... hehehehe...” jawab saya yang alhamdulillah rasa sakit terkofer sama rasa malu.
Tidak ada satu menit badan mas itu ada di dekat saya (syukurlah... masnya sendirian jadi gue enggak malu-malu amat teriak macam Baim baca doa di sinetron Ramadhan).

“Mbaknya kepeleset ya? Hati-hati mbak, licin!” ujar si mas baik hati.

“Hahahahaha... iya mas... ga papa sih sebenernya... hahahaha... itu... tadi mata saya meleng ngeliat sunset” a-la-san sih sebenarnya, demi menjaga harga diri biar tidak terlihat lemah.

“oh... tapikan dari sini enggak keliatan mbak sunsetnya? Yaudah mbak tunggu di situ... saya bantu berdiri” posisi medan kemiringannya lumayan curam. Kalau masnya harus ke arah saya dan bantuin saya berdiri pasti bakal ribet dan merepotkan masnya jadi terpaksa saya berbohong lagi “Masnya duluan aja mas... ini saya masih mau istirahat dulu aja, hahahha” entah kenapa kalau saya salting, saya selalu ketawa garing dan ini menyebalkan!

“Istirahatnya di sabana satu aja Mbak, sunsetnya lebih jelas. Di sini terhalang pohon dan medannya enggak nyaman buat lihat sunset” jawab si mas-mas yang entah siapa namanya.

Haduuuuh... mas nya masih ngungkit sunset lagi... nyindir apa gimana nih... tahu banget kayanya kalau saya lagi ngeles. Rasanya mau ngebor tanah terus ngumpet sejenak hingga masnya pergi. Akhirnya saya hanya memilih tertawa-enggak-bermakna-yang-mungkin-menyebabkan-mas-nya-takut-lalu-memutuskan-untuk-duluan.

Tapi ambil sisi baiknya. Hal yang menyenangkan saat naik gunung adalah kita akan menjumpai banyak orang yang tidak saling kenal tapi saling menyemangati dan dengan senang hati membantu pendaki lain yang sedang kesusahan. Mas itu salah satunya. Dan sayangnya dia kurang beruntung harus menolong pendaki amatir macam saya.

Selepas mas itu pergi, kembalilah saya sendiri. ada beberapa pendaki yang melewati saya dan menyemangati saya. Tapi saat itu, mereka mungkin tidak tahu kalau saya sedang menyemangati lutut saya. “Ayo lutut... Ayo badan... sedikit lagi... gue mohon...” bisik saya. dan Alhamdulillah akhirnya saya bisa berdiri sendiri dan bisa sampai di sabana satu dengan selamat. Saya senang, menyadari bahwa baru saja saya belajar untuk berkompromi.
Berkompromi dari rasa sakit.

Dan saya yakin, teman-teman yang lainpun pasti merasakan hal yang sama. Eka yang bertahan naik dengan keribetan alat bawaannya di tangan. Ghoza yang harus bertahan dari rasa sakit punggungnya yang harus membawa beban seberat anak gajah atau seperti Bin yang harus nahan sakit di jari kakinya saat turun karena sepatunya kurang besar. Saya yakin, kami semua belajar hal ini hanya saja dalam bentuk yang berbeda-beda tapi.

Kami bermalam di Sabana satu. Reza, Gozha dan Bin menyiapkan makan malam. Jangan tanya kenapa dan kemana anak perempuannya, karena saat kami selesai berbesih badan, makan malam sudah dalam proses penyediaan. Terimakasih para lelaki. Hehehe...

Keesokan harinya, hanya Ghoza ditemani Reza yang menuju puncak Merbabu. Saya memilih beristirahat di sabana satu, saya tidak boleh egois dengan kondisi badan. Kemarin sudah cukup badan saya berjuang demi saya, sekarang saatnya beristirahat sambil melihat awan, langit dan puncak merapi dari Merbabu. Hal yang paling menyenangkan saat di Merbabu adalah di mana awan ada di bawah kita. Ya! Satu hari itu saya merasa lebih tinggi dari awan selain di dalam pesawat. Dan saya luar biasa senang melihat langit hari itu.


Pukul 13.00 kami bersiap untuk turun. Saya memimpin doa, harapan saya saat itu, semoga kami semua bisa turun dengan selamat dan penuh suka ria. Doa saya terkabul. Karena banyak turunan curam, saya memilih untuk merosot di atas pasir Merbabu. Dan sumpah itu seru! Berasa kaya di Dufan dapet tiket terusan! Eum... mungkin beberapa pendaki melihat ini sebagai sesuatu yang konyol, tapi... untuk satu hari ini, menjadi manusia konyol tidak ada salahnya saya pikir ;)
Reza menuntun kami melalui jalan baru yang masih cukup rapat vegetasinya dan masih sedikit pendaki yang memilih untuk melewati jalur itu. Kami melewati hutan. Dan itu menyenangkan bagi saya! kenapa? Karena hutanpun punya suara khas bagi saya. Suara daun yang terkena angin, serangga-serangga kecil atau burung yang entah apa jenisnya. Seperti di dongeng. Ada semacam gua-gua kecil yang entah rumah hewan apa. Udaranya sejuk dan segar. Perjalanan pulang jauh lebih menyenangkan! Dan... untuk beberapa hal, sedikit... eum... menyeramkan...


Reza paling depan. Saya kedua setelahnya. Saya terlalu asik melihat tumbuhan hijau dan suara-suara yang ada. Saya juga mengikuti ritme jalan Reza yang mana satu langkah kaki Reza sama dengan tiga langkah kaki saya. sampai akhirnya kami menemukan percabangan jalan,
“ambil kanan tong!” kata Reza

“Za... kayanya anak-anak ketinggalan jauh di belakang deh... gimana kalau kita tunggu sebentar... gue takutnya ntar mereka salah ambil jalan?” tanya saya.

“Kagak... mereka tahu pasti” jawab Reza sambil jalan dengan langkah kaya main enggrang bambu.

“Reza... lo duluan aja kalau gitu. Gue nunggu di sini aja dulu” setelah saya pikir-pikir kasian juga kalau Reza disuruh menunggu, karena bawaannya berat, Reza bawa tenda. Singkat cerita, saya berdiri sendiri di percabangan jalan. Satu menit berlalu tidak ada tanda-tanda Ciro, Bin, Eka dan Gozha mendekat. Suara semakin hening. Setiap ada suara langkah, saya harus kecewa karena langkah itu bukan milik mereka melainkan pendaki lain.

Mereka ketinggalan jauh berarti. Kemarin saat naik, mereka nungguin saya sekarang giliran saya nungguin mereka. Akhirnya Ciro, Bin, Eka dan Ghoza terlihat. Saya lega. Terbiasa mengikuti ritme jalan Reza beberapa kali saya melaju paling depan dan mendapati empat teman saya jauh tertinggal di belakang. Dengan kecepatan langkah Reza, saya perkirakan dia sudah jauh ada di depan. Disusulpun sepertinya tidak terkejar. Bismillah... ngikutin jalur dan mastiin teman-teman yang lain baik-baik saja sekarang prioritasnya.

Akhirnya selama turun hal ini terjadi beberapa kali. Saya jalan paling depan, dan setiap percabangan jalan saya berhenti untuk menunggu empat orang teman saya yang tertinggal cukup jauh di belakang. Dan saat menunggu... adalah saat di mana saya merasa seorang diri di gunung. Tidak banyak pendaki yang berlalu-lalang saat itu, dan saya sendiri di tengah hutan. Tapi saya senang karena saya bisa puas melihat langit dan awan untuk beberapa menit. Sampai akhirnya...
Di saat saya jalan di depan sendiri, di mana empat teman lainnya ada di beberapa meter belakang saya, langkah saya terhenti, saat melihat seorang anak kecil berdiri di balik semak sambil tersenyum kepada saya... bahkan saya masih ingat wajahnya hingga detik ini. Dia menggunakan kaos hitam, celana pendek dan rambutnya berponi. Umurnya berkisar 7-9 tahun. Dan di ketinggian ini, saya pikir ini bukan tempat anak-anak bermain bukan?

Saya berhenti kemudian berbalik dan berteriak, “CIROOOOO!!!!”
Sial. Tidak ada jawaban. Sepertinya mereka masih jauh di belakang.
Saya tidak berani berbalik. Saya hanya bisa beristigfar dan berdoa dan akhirnya saya mengeluarkan suara... “Jangan ganggu saya..”

kemudian terdengar suara langkah di kejauhan...

“CIROOOOOOO!!!!” teriak saya

“OOOOYYY!!” jawab Ciro...

Akhirnya.

Jantung saya serasa baru dipasang kembali. Saya masih belum berani menoleh ke arah di mana saya mendapati anak kecil tadi. Saya jelas tidak berani.

“Sa! Jalan lo cepeet amaat kaya di sinetron ganteng-ganteng serigalaa!!” kata Ciro


“Hehehehee...” entah kenapa saya Cuma bisa cengengesan. Saya tidak mungkin menceritakan pengalaman disenyumin sama anak kecil kepada mereka. Suasananya bisa berubah. Mungkin nanti saya akan cerita, tapi tidak sekarang. Akhirnya saya beranikan diri untuk kembali berbalik ke arah semak tadi. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya beberapa semak dan daun yang tertiup angin. Sudah saya duga. Mungkin tadi hanya ilusi saya.


Saya melanjutkan langkah. Empat teman saya lengkap dan dalam kondisi aman. Itu sudah sangat melegakan. Medan turunan yang agak curam ternyata jauh lebih menyenangkan bila dilalui dengan berlari. Hal ini saya lakukan setelah saya berpapasan dengan beberapa pendaki yang mengatakan, “Mbak... kalau turunan, langkahnya jangan ragu-ragu. Harus yakin. Tap. Tap. Tap. Kalau ragu-ragu malah sering kepeleset.”


“Hehehehe... sip mas! Makasih lho! Dicoba deh” jawab saya sok asik.
Lagi-lagi tanpa saya sadar saya meninggalkan jauh empat teman saya. saat saya menoleh ke belakang suasana sepi. Dan saya tidak mau ada halusinasi seperti tadi. Akhirnya saya putuskan untuk terus berjalan dan mencari lokasi yang sedikit lapang guna menghindari kejadian aneh semacam disenyumin anak kecil seperti tadi.
Di belakang saya benar-benar tidak ada orang. Sampai akhirnya di depan, saya melihat seorang pendaki. Sedikit lega. Setidaknya saya tidak sendiri.

tapi...

Bukankah sedari tadi semua pendaki berjalan bersamaan. Tidak ada yang sendirian?

Okay... tenang Nisa... itu pasti pendaki. Lebih tepatnya, itu pasti orang.

Saya melangkah menjaga jarak di belakang pendaki yang sendiri itu. kemudian, tiba-tiba pendaki itu berhenti dan menoleh ke arah saya. saya pun berhenti. Kemudian pendaki itu berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya lagi. Dan saat itu sunyi. Tidak ada perbincangan di antara kami. Dan entah mengapa suasana menjadi sangat hening dan sepi. Jelas ini aneh.

Ya Allah... lindungilah Nisa...

“Mas!!” saya memberanikan diri untuk membuka suara duluan

Pendaki sendiri itu berbalik. Menatap saya. masih diam.

“Mas... kok sendirian... hehehehe...” tanya saya sambil cengengesan, padahal hati saya dag dig dug duaaarrr!!

“Mbaknya juga sendirian” jawabnya.

Sial. Makin parno aja nih gue.

“Satu teman saya sudah di depan. Empat teman saya yang lain masih di belakang” jelas saya dengan suara mulai serak.
“Saya juga, teman-teman saya sudah di depan. Saya ketinggalan di belakang... hehehe” jawabnya,”Mbaknya dari mana?” tanyanya balik.
Syukurlah... suasana mulai normal. Saya pastikan dia orang.

“Jogja mas! Tapi ada yang dari Solo sama Jakarta juga” akhirnya ada pembicaraan normal di antara kami. Degup jantung saya mulai teratur. Saya melupakan empat teman saya yang tertinggal di belakang. Saya memilih berhenti saat sampai di tempat terbuka. Di mana saya bisa melihat bunga kecil-kecil berwarna ungu dan langit yang cerah.

“Mbak? Kok berhenti?” teriak pendaki tadi

“Duluan aja mas... saya nungguin temen-temen saya!” teriak saya

“Berani sendirian?” katanya lagi

“Hahahaha... santai, Mas! Sebentar lagi juga kelihatan kok!” jawab gue yang masih sok asik sama orang baru.

“Duluan ya. Mbak! Hati-hati. Salam buat temen-temennya!”

Dan dalam beberapa menitpun saya kembali sendirian di jalur turunan itu. tidak ada yang harus ditakutkan seharusnya. Saya tidak melakukan hal yang tidak baik. Saya juga percaya kalau Tuhan selalu melindungi. Paling tidak, saya belajar sok asik demi memastikan seseorang itu beneran orang atau tidak. Hahhahaa...

Selepas kejadian tadi, saya pastikan saya tidak berjalan meningglkan teman-teman saya terlalu jauh lagi. Ditambah Eka dan Gozha yang beberapa menit sekali berteriak “kulu kulu kulu kuuluuu!!” untuk memastikan kita berlima tidak terpisah.
Dua hari satu malam, waktu yang singkat sebenarnya. Tapi Merbabu memberi banyak cerita untuk saya.

Belajar untuk bertahan, berkompromi dan melawan rasa takut, juga belajar untuk saling memastikan bahwa masing-masing dari kita baik-baik saja.

Seperti yang sering saya bilang, gunung selalu saja memberi pelajaran baru untuk saya. Terimakasih Merbabu. Terimakasih teman-teman... Terimakasih juga buat Reza dan Ghoza yang ikhlas membawa tenda kita... Biar Tuhan yang balas ya...
Semoga ada kesempatan lain lagi untuk pelajaran yang baru lagi ;)





No comments:

Post a Comment