Saturday, September 13, 2014

CERITA DARI DIENG [CULTURE FESTIVAL 2014]


Setelah urusan per-tesis-an S2 saya selesai, saya memutuskan untuk memberikan hadiah kepada diri saya sendiri. Entah sejak kapan kebiasaan memberikan hadiah kepada diri sendiri ini saya lakukan. Tapi saya selalu merasa bahwa dengan memberikan hadiah kepada diri sendiri saya bisa terbiasa untuk menghargai apa saja yang telah saya perjuangkan, saya lakukan dan apa yang telah saya capai. Donat dan ice cream adalah kado yang paling sering saya berikan kepada diri saya sendiri ketika saya berhasil melakukan sesuatu. Kali ini, kado yang saya siapkan adalah dua perjalanan yang bertema pegunungan: Dieng dan Merbabu.

Semenjak perjalanan saya ke Ranu Kumbolo, saya akui saya jatuh cinta dengan gunung. Saya masih tidak terlalu suka dengan jalan menanjak, tapi entah kenapa saya tetap suka untuk melakukan perjalanan yang berhawa pegunungan. Aneh? Ah tidak juga. Bukankah jatuh cinta memang seperti itu? Jatuh cinta itu adalah saat kita tetap memilih bertahan walau kita memiliki alasan untuk meninggalkan.

Dieng, Langit dan Jazzatasawan, 30 Agustus 2014
Bersama Puspa dengan travel YOJO-nya, saya, Cula, Dita, Moyo, Ka Tity, Ka Tina, Ka Astrid dan (newbie) Mas Iqbal memilih untuk menghabiskan bulan Agustus dengan menghadiri Dieng Culture Festival (DCF). Dieng Culture Festival adalah festival budaya Jawa Tengah, pesta rakyat yang diselenggarakan di wilayah pegunungan Dieng guna mengeksplore nilai budaya dan pariwisata alamnya.


Dalam perjalanan menghadiri DCF kali ini, kami berkunjung di beberapa tempat wisata sekitar Dieng. Destinasi pertama kami adalah Kawah Sikidang. Secara tampilan fisiologis, kawah Sikidang adalah tempat wisata yang terdapat kawah-kawah aktif dan mengeluarkan aroma sulfur/belerang yang sangat tajam. Bentuknya seperti bukit-bukit dengan tekstur tanah liat yang cukup licin dan beberapa bagian punggung bukit memiliki kemiringan yang cukup curam. Sehingga akan jauh lebih baik menggunakan sepatu yang nyaman untuk tracking.


Kawah Sikidang. Nama ini cukup memancing penasaran dalam benak saya, tentang mengapa nama tempat ini dikatakan Kawah Sikidang atau dalam bahasa Indonesia menjadi Kawah Si Kijang. Konon, tempat ini memiliki sebuah legenda, cerita rakyat yang didongengkan dari generasi ke generasinya. Legendanya berkisah tentang seorang putri cantik jelita bernama Shinta Dewi yang hidup ratusan tahun yang lalu, di mana konon wajahnya selalu membuat jatuh cinta setiap pasang mata laki-laki yang melihatnya. Kecantikan Shinta Dewi tidak mudah ditaklukan oleh sembarang pangeran karena Putri Shinta Dewi hanya mau menikah dengan seorang pangeran yang mampu memberikannya mas kawin dalam jumlah yang besar. Singkat cerita, datanglah utusan Pangeran Sikidang Garungan yang mampu memenuhi permintaan Putri Shinta Dewi. Akan tetapi, betapa terkejutnya sang putri saat melihat calon suaminya yang ternyata manusia berkepala kijang. Akhirnya, Putri mencari cara untuk menggagalkan pernikahannya dengan meminta satu syarat lagi kepada Pangeran Kidang Garungan.

Putri Shinta Dewi bersedia dinikahi oleh Pangeran Kidang Garungan ketika sang pangeran mampu membuat sebuah sumur yang luas dan dalam dalam satu hari dan dilakukan sendiri oleh sang pangeran. Atas segala kesaktian sang Pangeran, berhasilah ia mebuat sebuah sumur yang luas dan dalam. Paniklah sang Putri, dan kemudian menyuruh dayang-dayang serta pengawalnya untuk menimbun sang Pangeran yang sedang menggali sumur. Pangeran yang merasa tertipu berteriak-teriak agar Putri menghentikan pengawal dan dayang-dayangnya menimbun dirinya yang berada di dalam sumur. Namun, semakin keras Pangeran Kidang Garungan berteriak, semakin cepat dan sigap pula para pengawal Putri Shinta Dewi menguburnya. Pangeran Kidang Garungan pun tewas tertimbun tanah di dalam sumur, akan tetapi... konon di nafas terakhirnya, Pangeran Kidang Garungan sempat mengucapkan kutukan bahwa keturunan Putri Shinta Dewi akan memiliki rambut Gimbal atau sekarang disebut anak gembel. Sementara itu, sumur yang ditimbun tadi meledak dan mengeluarkan letupan-letupan, membentuk kawah yang saat ini dikenal dengan Kawah Sikidang.

Legenda Kawah Sikidang ini menyimpan pesan moral bagi saya. Pangeran Kidang Garungan adalah simbol dari ketidaksempurnaan penciptaan. Ia seorang pangeran yang sangat kaya-raya, sakti mandraguna, akan tetapi ia memiliki kepala kijang. Sedangkan Putri Shinta Dewi adalah simbol manusia yang menuntut kesempurnaan, yang mana kesempurnaan tidak akan pernah ada selama diri kita tidak bisa menerima ketidaksempurnaan itu sebagai sebuah kesempurnaan.
Next destination, Telaga Warna.


Sama halnya dengan Kawah Sikidang, objek wisata Telaga Warna Dieng pun memiliki legendanya sendiri. Konon katanya, jaman dahulu kala yang entah kapan masanya, telaga ini dijadikan tempat pemandian para bidadari. Dan konon untuk kedua kalinya, sebuah cincin seorang bangsawan pernah terjatuh ke dalam telaga ini dan menjadikan telaga ini berubah warna dan konon—untuk ketiga kalinya—warna air di telaga ini bisa berubah seperti warna pelangi.
Secara biologi, pergantian warna air telaga ini selain disebabkan oleh vegetasi yang hidp di dalamnya (seperti gangga dan lumut atau mungkin ada tumbuhan dan mahkluk hidup lainnya) yang bisa menyerap dan memantulkan warna sesuai vegetasinya, telaga ini adalah jenis telaga yang terbentuk karena kawah gunung vulkanik sehingga menyebabkan telaga ini memiliki kandungan belerang yang tinggi dan sifat belerang bisa memantulkan warna-warna dari spektrum sinar matahari. Menarik ya :D

Di dekat telaga warna, ada sebuah telaga yang ukurannya jauh lebih kecil. Namanya Telaga Pengilon. Kalau tidak salah, nama Pengilon diberikan kepada telaga ini karena air telaga yang jernih dan bisa untuk berkaca. Dan masyarakat Dieng percaya bahwa cerminan yang keluar dari air telaga Pengilon adalah pancaran hati si manusia yang sedang berkaca. Apabila bayangannya terlihat cantik dan ganteng, artinya manusia tersebut memiliki hati yang baik. Sebaliknya, jika bayangannya jelek dan bentuknya tidak beraturan, manusia tersebut berhati busuk. Percaya enggak percaya ya... hehehe...


Kurang puas dengan pemandangan di Telaga Warna, saya dan teman-teman memutuskan untuk tracking melalui jalur Sidengkeng, kali ini, saya tidak tahu makna di balik Sidengkeng... maaf ya... lama tracking sekitar setengah jam kurang. Medannya tidak terlalu ekstrim, hanya saja cukup menanjak. Rasa lelah menanjak akan terbayar saat melihat pemandangan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas Sidengkeng. Alhamdulillah, kebetulan sekali saat saya dan teman saya berada di atas Sidengkeng, pas banget sunset!! Yeay!! Terus kita foto-foto deh, tapi bukan foto-foto sunsetnya, foto-foto selfie.. yaaa... agak random sih,,, tapi,,, yaaa... namanya juga anak muda... yang penting gembiraaa!!! Hahahhaa



Dan... mari kita bercerita tentang malam di 30 Agustus... malam yang mungkin tidak akan saya lupakan.

Entah sejak kapan, seperti ada kekuatan mistis yang menarik perhatian saya ketika melihat sebuah lampion diterbangkan ke angkasa. Saya mempunyai impian untuk bisa berada di bawah angkasa yang penuh dengan lampion terbang. Berlebihan ya mimpi saya? atau terlalu kekanak-kanakan? Hihihi... Akhirnya, tahun lalu saya menghadiri acara waisak di plataran candi Borobudur untuk mewujudkan mimpi saya: melihat lampion terbang!, tapi... sayangnya, karena hujan, penerbangan lampion ditiadakan malam itu. Kecewa sih... tapi... ya mau bagaimana lagi, mungkin belum rejekinya.
Semenjak saat itu, saya suka browsing di internet gambar-gambar lampion terbang, berharap suatu saat bisa melihat lampion terbang di angkasa malam secara langsung.
Alhamdulillah, mimpi itu diwujudkan, bahkan lebih indah dan menyenangkan daripada mimpi saya. :)

Malam itu untuk pertama kalinya saya menerbangkan lampion bersama teman-teman yang lain. Ada puluhan orang yang juga menerbangkan lampion mereka, dan perlahan, langit malam itu penuh dengan lampion terbang di angkasa. Dan saya terharu terus nangis (tapi nangisnya dikit kok :p ) Akhirnyaaaa... berada di tengah-tengah lampion terbang!!!
Kami menerbangkan empat lampion. Sambil menunggu lampion mengembang dan terbang, saya yakin, masing-masing di antara kami mengucapkan mimpi kami masing-masing. Dan saat lampion berhasil terbang, kami berharap mimpi kami bisa sampai dan diamini oleh Tuhan.

Saat menerbangkan lampion ketiga, tiba-tiba ada seorang wanita yang meghampiri kami dan beratanya, “Mas... Mbak... saya dan teman-teman saya boleh ikutan nerbangin lampion bareng kalian?”. Serempak kami mengiyakan. Makin ramai makin seru!! Namun kemudian... tiba-tiba ada kamera yang menurut saya cukup heboh menyorot kami, dan... sosok laki-laki tinggi yang sepertinya-saya-kenal muncul sambil ngomong ke kamera, “Mereka sedang berusaha menerbangkan lampion mereka, kita lihat saja apakah mereka akan berhasil?” kata laki-laki ganteng itu.
Saya masih berpikir, mengingat-ingat, ‘ni cowok siapa sih? Sepertinya ga asing deh.’, sampai akhirnya Ka Astrid nyenggol saya, “Robhy Purba, Dek! Pembawa acaranya X-Factor!”
Hooooooiiiyah!! Ya Ampuuun... Kurang baik apa Tuhan sama saya? sudah diberi kesempatan nerbangin lampion bonus ditemenin sama artis lagi!! Makin terharu... hiks...

Setelah menerbangkan lampion, saya dan teman-teman saya menikmati kembang api di langit malam pelantaran candi Arjuna Dieng. Bagus. Dan air mata netes lagi... kali ini bukan karena terharu, tapi asap kembang apinya bikin mata perih. (T..T) tapi tetap alhamdulillah... karena kembang apinya keren banget.
Udara malam di pelataran candi Arjuna Dieng semakin dingin menusuk (kali ini saya enggak lebai, seriusan dingin-me-nu-suk!) Tapi... mungkin karena bersama orang-orang yang menyenangkan jadinya ya... seneng! Jadi ingat satu kalimat, kemana saja kakimu melangkah, seberat apapun kondisi yang ada, jika ada teman yang mengelilingimu semuanya akan terasa ringan dan menyenangkan. Yup! Kalimat itu terbukti BENAR!

Malam semakin larut, saya, Puspa, Cula dan Mas Iqbal masih bertahan untuk duduk di atas rumput sambil menyaksikan JAZZATASAWAN. Hingga akhirnya malam semakin larut dan udara Dieng semakin Bbbbrrrrrr... DINGIN! Kami memutuskan untuk kembali ke homestay. Ada yang harus Cula beli di Indomaret satu-satunya di sekitar acara DCF. Alhasil, antrian kasir Indomaret mengular, saya, Mas Iqbal dan Puspa memilih menunggu di luar.

“Kata bapak-bapak tadi, yang dateng ke acara DCF hampir 2.000 orang lho!” kata Mas Iqbal.

“Wiiiiih.. seriusan tuh! jadi mikir deh, mungkin enggak ya di antara 2.000 orang ini ada jodoh kita? Mwehehhee...” kata saya, asal.

“Jodoh lagi... Jodoh lagi... enggak di bawah, enggak di atas gunung, masiiiih aja jodoh!” sahut Puspa.

Beberapa menit kemudian, mungkin beberapa detik bahkan, tiba-tiba Puspa memeluk saya dan menangis. Ada hal yang tidak bisa diceritakan di sini, tapi malam itu Puspa menutup 30 Agustus dengan air mata. Sepertinya, ia seolah-olah menemukan jodohnya di antara 2.000 orang yang datang. Tuh kan, apa kata saya!

Lelap beberapa jam dalam dinginnya malam di Dieng, pukul 02.00 pagi saya dan teman-teman bergegas untuk persiapan menyambut sunrise di Sikunir! Dinamakan Sikunir karena gunung ini tampang kuning seperti kunyit apabila terkena sinar matahri, khususnya di saat terpapar sinar matahari pagi. Pukul 03.00 kami berangkat, 03.20 WIB kami mulai mendaki Sikunir.


Sejujurnya, saya bukan manusia yang terlalu mengelu-elukan datangnya atau tenggelamnya matahari. Dibanding fenomena sunrise dan sunset, saya labih jatuh cinta dengan suara angin di pegunungan, atau awan-awan yang berjalan tenang. Tapi... saya harus akui, langit menjadi kanvas dengan warna-warna yang anggun saat matahari datang dan menghilang di garis horizonnya. Dan itu membayar lunas dari udara dingin yang menusuk kulit saat di puncak Sikunir.

Karena bertepatan dengan DCF, pagi itu khitmatnya sunrise kurang terasa karena ramai orang. Bahkan terjadi kemacaetan saat kami turun dari Sikunir. Tapi, bagi saya pribadi, hal ini tidak akan saya biarkan merusak suasana hati dan suasana liburan kali ini. Setidaknya, saya belajar lagi satu hal, menuruni gunung tidak selalu lebih mudah daripada saat kita mendakinya. Kita harus paham bahwa setiap proses memiliki kejutannya masing-masing dan yang sebaiknya dilakukan adalah menikmati setiap kejutan itu.


Gunung selalu mengajarkan hal yang baru untuk saya.

31 Agustus 2014, seusai mandi dan mengenakai kain batik yang diikat dipinggang, kami siap menghadiri upacara adat pemotongan rambut anak gembel. Sedikit cerita tentang anak-anak rambut gimbal atau yang disebut anak gembel Dieng ini selain mitos atau dongeng rakyat Kawah Sikidang tadi, ada kepercayaan bahwasanya anak yang berambut gimbal adalah keturunan Tumenggung Kolo Dete yang merupakan titipan Ratu Laut Kidul. Tumenggung Kolo Dete adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan Dieng. Tumenggung Kolo Dete merupakan pertapa berambut gimbal dari Majapahit, nantinya keturunan dari Tumenggung Kolo Dete akan mempunyai rambut gimbal. Tapi rambut gimbal ini akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul.


Mulanya, anak-anak tumbuh dengan rambut normal. Sebelumnya, anak akan sakit panas terlebih dahulu, kemudian setelah sembuh, di kepala anak tersebut akan tumbuh bintik kecil sebesar biji kedelai. Lama kelamaan, bintik itu membesar dan rambutnya akan menggimbal, saat itu pula orang tua sudah tahu bahwa anaknya merupakan keturunan Tumenggung Kolo Dete.
Orang tua pastinya menginginkan rambut gimbal anaknya dipotong secepatnya, namun hal ini tidak bisa dipaksakan jika anak tersebut belum mau. Jika anak sudah mau, tentunya harus dengan ritual dan semua persyaratan dari anak tersebut harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, maka rambut gimbal akan tumbuh kembali dan anak akan jatuh sakit.
Permintaan keturunan gimbal dapat bermacam-macam, mulai dari barang-barang sederhana seperti binatang peliharaan seperti kambing gimbal, permen sekeranjang, sampai sepeda dan handphone dengan bluetooth. Cukup menyenangkan saat mendengar permintaan anak-anak gimbal ini sebelum rambutnya dipotong.

Panasnya matahari seolah sirna seketika saat saya menoleh ke belakang dan di sana duduk dengan manis sosok laki-laki ganteng yang sama saya temui di penerbangan lampion... AGAIN ,ROBHY PURBA!! Maaf ya norak, maklum, jarang ketemu artis sih! hihihi... Akhirnya, dengan tekad yang bulat dan kuat saya dan teman-teman memutuskan untuk...

Minta foto bareng!!


Hahahaha...

Sampai sini dulu cerita perjalanan Dieng saya,,, selanjutnya perjalanan Merbabu...



Foto dari kamera Dimitri Nindita


1 comment:

  1. Jam 3 berangkat ke SIkunir kalau naik motor dinginnya nggak kuat >.<

    ReplyDelete