Sunday, November 10, 2013

Rey!





“Lo sakit?” Tanya saya saat itu kepadanya. Dia hanya menjawab dengan gelengan dan wajah yang sendu. Dia adalah salah satu teman yang cukup jarang mengeluarkan suara di kelas. Pendiam, dan tertutup. “lo udah ngerjain tugas?” tanyanya datar. Saya buru-buru membuka ransel saya, “Ini! Gue udah selesai ngerjain tugasnya. Lo mau liat?” ujar saya dengan penuh semangat dan penuh senyuman sambil menyodorkan tugas saya kepadanya. Saat itu dia hanya menatap saya. Melihat dalam ke mata saya. Tangannya tampak tidak ada niat smaa sekali untuk menyambut buku Tugas saya, dan saya mulai bingung, “Ya... gue enggak tau kalau tugas gue bener apa enggak... tapi... kalau lo mau liat ya boleh... tapi kalau enggak ya juga enggak apa-apa sih...”, kata saya. Dia masih memandang wajah saya lekat dan bola matanya seperti mencari-cari sesuatu di bola mata saya, “Gue enggak mau liat tugas lo kok, gue Cuma nanya aja” jawabnya kemudian kembali menenggelamkan kepalanya, meletakan di atas meja. Saya bingung, kemudian pergi meninggalkannya. Sebal!

________________________________________________________________


“Lo sahabat gue, Sa” katanya. Sore itu jam sudah menunjukan pukul 17.00, delapan puluh persen murid sudah pulang. Sudah tidak ada lagi pelajaran. Panggilah dia dengan sebutan “Rey” salah satu teman dekat (yang unik) yang saya miliki. Masih di sore yang sama, mata kami basah karena suatu hal-- biasa masalah organisasi (gaya!). “Dulu, gue ngerasa kalau gue enggak punya siapa-siapa di dunia ini, Sa... gue selalu ngerasa kalau enggak ada yang mengharapkan kehadiran gue di dunia ini. Sebesar apapun gue mencoba untuk menunjukan ke dunia bahwa gue berharga dan pantas diperhitungkan, semakin gue menemukan banyak orang yang tidak tulus terhadap hidup gue, Sa..”. Rey mulai menangis lagi. Saya hanya diam mendengarkan. “Gue tumbuh tanpa rasa percaya kepada siapapun. Semua orang yang datang ke dalam hidup gue hanya karena mereka membutuhkan gue, bukan karena ingin mengenal gue. Sampai akhirnya di suatu pagi ada perempuan menghampiri gue dengan senyuman andalannya dia, dan dia nanya apa gue baik-baik saja. Waktu dia nanya keadaan gue, yang gue pikirin saat itu adalah ‘dia pasti mau minjem tugas gue’ pas gue tanya apa tugasnya sudah selesai , eh ternyata dia malah ngasih buku tugasnya ke gue”. Saya yang memang agak lama nyambungnya, hanya manggut-manggut saja mendengarnya.
“Waktu dia mengeluarkan bukunya dan bilang, ‘lo mau liat tugas gue?’, gue coba nyari apa sih yang sebenernya perempuan ini mau dari gue, semakin gue liatin wajahnya, gue enggak nemuin apa-apa. Hari itu hari bersejarah buat gue, karena dia adalah orang pertama yang nawarin tugasnya untuk gue contek. Kali pertama ada orang yang menyapa gue dan bertanya keadaan gue tanpa tendensi apa-apa. Biasanya... temen sekelas gue nanyain kabar gue karena mereka mau liat tugas gue, Sa...”

“Tapi buktinya enggak semua orang mau manfaatin lo kan, Rey? Buktinya ada si perempuan temen lo itu yang lo ceritain tadi” jawab saya.

“Lo beneran enggak tau ya Sa, gue dari tadi lagi nyeritain siapa?”

“Enggaklah, Rey! Emangnya gue mama loreng bisa tau masa lalu lo... emang siapa, Rey”

“Perempuan itu, elo, Sa... Annisa Rahmah!”

Saya yang merasa bingung dan sedikit bersalah karena sebenarnya dari awal Rey bercerita saya agak bingung dengan apa yang Rey ceritakan. Saya hanya bisa senyam-senyum bingung. Hal terkait ‘meminjamkan tugas untuk dilihat teman’ bukan suatu hal yang harus diingat bukan? Materi sekolah dan kuliah saja saya sering lupa, apalagi tentang kepada siapa saya menunjukan tugas saya?

“Eh gue ya, Rey? Gue lupa Rey...”

“Hahaha... enggak usah masang wajah melas gitu juga kali, Sa! It’s oke. Karena sekarang pun gue sadar, kadang ada hal-hal yang menurut kita sangat sederhana, tapi menjadi sangat berarti buat orang lain. Dan waktu itu... mungkin menurut lo, menawarkan tugas ke gue bukan hal yang besar, tapi saat itu, buat gue yang hampir kehilang seluruh kepercayaan kepada orang lain, menganggap hal itu luar biasa, Sa!”


***


Sampai saya lulus kuliah S1 pun saya masih merasa bahwa Rey terlau berlebihan menilai tentang saya. Tapi kemudian, saat ini saya mulai memahami apa yang dikatakan Rey sore itu. Bahwa ada hal-hal yang (mungkin) menurut kita sangat sederhana dan biasa saja, namun menjadi sangat istimewa bagi orang lain yang menerimanya. Begitupun sebaliknya, adakalanya sesuatu yang menurut kita istimewa, dianggap biasa saja oleh orang lain. Kemudian saya mengingat nasihat senior saya, bahwa karena kita tidak pernah tahu bagaimana hati orang lain menangkap perilaku dan ucapan kita, maka kita harus terus berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Bersyukur ketika hal yang menurut kita (ucapan dan perbuatan) biasa itu menjadi suatu hal yang positif buat oran lain, tapi bagaimana jika sebaliknya? maka jangan sekali-kali kita memperlakukan orang lain dengan tidak baik, karena bisa jadi, hal yang menurut kita sesuatu yang remeh-temeh tapi ternyata melukai hatinya.

Kemudian saya bertanya, “Kak... bagaimana kalau dia merasa sakit karena bukan sepenuhnya kesalahan kita? Tapi karena hatinya yang dari awal sudah penuh curiga terhadap kita?”

dan senior saya pun menjawab,

“Itu bukan lagi masalah kamu, Nisa... tentang isi hati dia, kamu dan manusia lain yang ada di dunia ini hanyalah kapasitas Tuhan,,, Kita sebagai manusia hanya berusaha untuk berperilaku baik kepada manusia lain. Tentang mereka yang menerima kita dengan senang hati ataupun penuh curiga itu bukan hal yang harus kamu pikirkan. Mulai semuanya dari niat yang baik, Nisa... kemudian biarkan tangan Tuhan yang mengatur hati mereka yang menerima niat baik kita”

Kemudian saya mengingat pesan Ibu,

“Jangan pernah takut untuk melakukan hal baik kepada orang lain. Nantinya orang itu akan menganggap niat baik kita sebagai bentuk cari perhatian atau apalah, jangan terlalu dipikirkan! Karena niat baik dan ketulusan akan selalu sampai ke dalam hati yang menerimanya”


Maka... terimakasih untuk kalian yang selalu mengingtakan saya untuk menjadi manusia yang tidak takut untuk berniat baik :)

No comments:

Post a Comment