Sunday, June 9, 2013

INVESTASI TERBAIK DALAM HIDUP

Judul tulisan kali ini adalah “INVESTASI TERBAIK DALAM HIDUP”
Narasumbernya adalah Ibu dan sedikit pelengkap dari Papah.
Saya tiba-tiba ingin menulis perbincangan saya dengan ibu yang tanpa ibu sadari sudah di ceritakan berulang kali. Kalau Ibu sudah bercerita—walau hal itu sudah diceritakan kepada saya beberapa kali—saya memilih untuk tetap mendengarkan. Itu dikarenakan saya selalu senang melihat wajah dan mendengar intonasi suara Ibu yang sungguh-sungguh. Mengingat saat ini saya sedang mengambil studi Magister Hukum Bisnis, jadi kali ini akan saya ceritakan tentang investasi keuangan terbaik dalam hidup versi Ibu saya. Kita tidak akan membicarakan tentang pasar modal, saham, obligasi atau efek lainnya, tidak. Kita berbicara tentang keikhlasan dan kepercayaan. Itu saja 





Pesan yang selalu saya ingat dari Ibu saya adalah “Sebanyak, sebagus, secanggih dan semahal apapun hal yang orang lain miliki, milik kita tetap yang terbaik. Kita harus menyukuri apa yang kita punya. Tidak peduli barang tersebut kalah bagus, kalah canggih atau kalah mahal.” Awalnya—saat masih SD—saya berpikir ini cara Ibu agar saya dan kakak-kakak saya tidak membiasakan diri untuk meminjam barang orang lain. Kami dibiasakan untuk menggunakan dan memanfaatkan apa yang ada. Ibu dan Papah sering sekali bilang “gunakan saja yang ada dulu”. Dulu pemahaman saya memang hanya sebatas itu; bahwa gunakan saja apa yang kita miliki, jangan membiasakan meminjam barang orang lain (apalagi uang) kecuali benar-benar diperlukan. Ini adalah cara investasi yang pertama: memanfaatkan apa yang telah kita miliki, bukan sibuk mengharapkan yang tidak kita miliki


Semakin dewasa, semakin banyak orang yang saya temui dan kondisi yang saya alami, saya memahami lebih luas lagi tentang hal ini. Pesan Ibu saat itu adalah tentang menanamkan kebiasaan bersyukur kepada anak-anaknya. Ibu ingin anaknya selalu merasa bahagia dan bisa bertahan dalam kondisi apapun. Papah pun sama seperti Ibu. Kalimat pamungkas yang cukup sering Papah ucapkan kalau saya mulai meminta ini-itu adalah “Dedek itu harus bersyukur bisa hidup seperti ini, coba lihat ... (menyebutkan nama siapa saja yang relevan untuk dibandingkan)... boro-boro beli yang dedek minta, buat sekolah saja Ibunya harus minjem kesana-kemari”. Ya. Saya tumbuh dan dididik sebagai anak yang tidak dengan mudah mendapatkan apa yang saya inginkan. Setidaknya itu yang saya rasakan. Tapi ini tidak berlaku untuk kepentingan sekolah atau yang berhubungan dengan kegiatan belajar di luar sekolah. Andaikata saya butuh satu judul buku untuk sekolah, pasti saya dapat paling tidak dua atau tiga buku di samping buku yang saya perlukan. Andaikata saya butuh crayon untuk menggambar, bisa dikatakan saya memiliki crayon yang masuk 10 besar kategori crayon yang memiliki warna terlengkap di sekolah, bahkan crayon saya dulu ada rautannya! Hahaha...
Berbeda dengan barang-barang penunjang belajar, dulu, saya baru dibelikan sepeda setelah saya jatuh bangun dengan sepeda wimcycle kakak pertama saya yang sudah di-“lengser” dua kali. Saking reyotnya, saya tidak berpikir dua kali untuk melempar anjing liar yang mengejar saya dengan itu sepeda! (jangan terlalu kaget dengan kemampuan saya, mungkin ini definisi “the power of kepepet” karena saya terlalu kaget melihat dua anjing mengejar saya di belakang, refleks saya turun dari sepeda dan kemudian melempar sepeda saya setinggi mungkin ke angkasa berharap si anjing bisa terkesima dengan atraksi saya, dan saya langsung berlari sekuat tenaga—itu yang ada di pikiran saya saat itu, dan ternyata BERHASIL!! - Annisa Rahmah, 6 tahun-)

Ketika tidak ada harapan untuk mempunyai sepeda kece selain tetap setia dengan sepeda wimcycle merah yang makin reot karena saya lempar untuk tipu-tipu anjing, disaat itulah Papah tiba-tiba membelikan sepeda Olympic Gold untuk saya pergi bersekolah—walau besoknya saya jatoh dan pedalnya patah sebelah, terus besoknya saya jatuh lagi, terus beret sana-sini (“-__-)

Papah hampir selalu seperti itu, beliau baru memberikan sesuatu ketika memang sudah dianggap sangat perlu. Dulu saya agak protes dengan perlakuan seperti ini, tapi semakin dewasa, saya bersyukur Papah mendidik dengan cara yang membuat saya paham bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat dimiliki dengan cara yang mudah. Dan karena tidak selalu mudah kita mendapatkan sesuatu, kita jadi lebih menghargai dan lebih menjaga barang tersebut. Dan ini cara investasi yang kedua; menghargai apapun yang kita miliki.



Dan cara ketiga ini mungkin menjadi cara yang cukup ampuh dan sudah banyak yang membuktikan.
Ibu sering bercerita tentang kehidupan di awal menikah dengan Papah. Kehidupan yang bisa dibilang cukup berkekurangan. Ada waktu di mana Ibu harus putar otak karena tidak ada uang untuk membeli susu (saat kakak pertama saya masih bayi). Atau saat Ibu harus membeli perlengkapan bayi dan lagi-lagi uangnya tidak cukup. Tapi kemudian, di akhir cerita Ibu pasti mengatakan ini “Eh tapi tau ga, Dek?! Ajaibnya, setiap Ibu butuh apa-apa ya kok pas kebetulan ada orang yang dateng ngasih barang yang Ibu perlu itu!! (dengan nada takjub)” .
“Pas Mba Arum—kakak pertama saya—kehabisan susu, Bos ibu dateng bawain susu! Dan ajaibnya lagi, mereknya sama dengan susu yang biasa Mba Arum minum! Emang ya, kita tuh ga boleh sekalipun menyangsikan pertolongan Allah! Ibu tuh mikir ya Dek, kok Allah baik banget sama Ibu,,, tapi kalau Ibu sih yakinnya begini Dek, kalau kita baik sama orang lain, Allah juga bakal baik sama kita. Itu ada di Alqur’an. Makin-makin kesini Ibu mikir lagi, Dek, sebenernya tabungan kita yang sesungguhnya itu bukan uang yang kita simpen! Tapi uang yang kita keluarkan untuk sedekah atau membantu orang lain!”

Yap! Itu cara investasi ketiga: (Keyakinan ibu saya dan saya pun mulai meyakini) Bahwa tabungan yang sesungguhnya bukanlah uang yang kita simpan di bank atau celengan, tapi justru uang yang kita sedekahkan dan kita berikan untuk menolong orang lain dalam hal kebaikan. Dan percaya saja, uang itu yang nantinya akan menolong kita di saat kita memang benar-benar membutuhkannya.










No comments:

Post a Comment