Saturday, February 25, 2012

SASMITA




Sasmita terjebak dalam keriuhan di alam batin dan pikirannya. Dilema dalam hatinya jelas-jelas mengusik damai di tengah keheningan yang dirajai oleh purnama.


Sasmi aku memanggilnya. Dia terlalu polos, terkadang sangat naif. Bagiku, menjadi sedikit naif saja di jaman sekarang sama saja mengelompokan diri untuk menjadi bagian manusia yang ditertawakan. Tapi Sasmi seakan tak pernah mau mendengar. Kepolosannya sudah mendarah daging. Aku bisa apa.

Aku dan Sasmi berdiri dalam dua sisi yang berbeda;

Ketika terjatuh, akulah sosok yang akan menjerit dan menangis dan kemudian Sasmi datang menghapus air mata sambil berkata " Tidak apa-apa,,, semuanya baik-baik saja. Kamu kuat ", kemudian dia tersenyum.

Ketika menunggu, akulah sosok yang menggurutu ketika Sasmi sibuk menikmati detik demi detik dengan penuh senyuman

Ketika gagal, akulah sosok yang menyalahkan semua hal dan kemudian Sasmi menepuk dadaku sambil berbisik, "Tuhan punya rencana yang lebih besar untuk mu !!

---

Ditanganku ada selembar kertas. Sebuah puisi cinta dan sebuah gambar goresan tangan.

"Apakah ini berarti dia menyukaiku Sasmi?" tanyaku.
"lebih dari itu, dia mengagumimu Mita" ujar Sasmi dengan senyum seperti biasanya.
" Lalu bagaimana?" tanyaku lagi.
" Apa yang hatimu rasakan?" tanyanya kembali.
" Aku bahagia... tapi... aku tidak merasakan apa-apa..." jawabku ragu.

"Apakah kau masih akan menunggu? aku akan menemanimu Mita" jawabnya singkat.

Kemudian ada jeda di antara kami. diam.


" Sasmi,,, haruskah aku menyakiti dia juga?!" Aku membuka suara.

" AKu tak pernah menyuruh mu untuk menyakiti siapapun Mita..."

" Dan kau tidak pernah mengizinkan aku untuk mencintai atau dicintai oleh siapapun!", aku menyerah. Air mata mulai mengalir dan dadaku mulai terasa berat untuk bernafas. Aku melihat air wajah Sasmi berubah. Aku juga melihat air mata di matanya.
" Kau dicintai... sangat dicintai... Kau tahu itu Mita, hanya saja kau mengingkarinya. Aku tidak pernah melarang mu untuk mencintai ataupun dicintai oleh siapapun, tidak pernah..." Nada Sasmi mulai fluktuatif.
" Tapi kau selalu menanyakan hal itu!! pertanyaan itu yang kemudian membuat aku... aku..."

" Kaulah yang akhirnya menentukannya Mita..., bahkan menjawabpun aku tidak pernah. Aku hanya kembali bertanya atas pertanyaanmu, dan kemudian jawaban itu kaulah yang memiliki. Bukan. Kaulah yang punya kuasa atas jawaban apa yang kau inginkan. Bukan aku"

Kali ini air mata kami sama-sama mengalir dari sepasang mata. Untuk ku, ini adalah air mata lelah. Sebuah kelelahan dalam menunggu seseorang yang benar-benar pantas untuk ku nantikan. Seseorang yang nantinya akan kutambatkan hatiku dan mengahabiskan sisa hidup yang ku punya. Seumur hidupku, dalam waktu menungguku, beberapa kaum adam silih berganti mengentuk pintuku. Mereka datang dengan cara yang berbeda. Mengetuk hati dengan cara yang berbeda pula. Apapun yang mereka lakukan terhadapku, aku tak pernah berani untuk melakukan apa-apa. Aku hanya selalu menoleh ke arah Sasmi. Menangkap air wajahnya. Kemudian kuputuskan untuk mengatakan "Aku rasa bukan aku orang yang kau cari" , kemudian dia pergi meninggalkan aku dan Sasmi.

Aku dan Sasmi kembali menunggu.

Lalu kembali datang lelaki yang berbeda mencoba mengetuk hatiku. Lagi. Aku menoleh ke arah Sasmi. Senyumnya selalu sama, membuatku mengatakan "Aku rasa bukan aku orang yang kau cari". Hampir tidak ada jawaban lain.

Dan terus begitu.

Kali ini, sosok lelai yang berbeda datang lewat puisinya dan gambar wajahku yang ia ciptakan lewat goresan tangannya. Aku rasa ia menginginkanku. Tapi seperti sebelumnya, aku selalu bimbang apakah aku menginginkannya.

Kebimbangan ini mulai tumbuh subur di benak dan pikiranku hari demi hari. Banyaknya cerita cinta yang berakhir air mata dan kemunafikan yang menjijikan menetapkan hatiku untuk menjadi wanita yang menunggu. Aku memang peragu, tapi adan keyakinan yang lebih besar daripada raguku bahwa Tuhan sudah menciptakan satu orang yang akan memperjuangkan hatiku, dan aku yakin aku akan bertemu dengannya. Yang kulakukan saat ini hanyalah menunggu. Menunggu bersama Sasmi.

Kali ini aku bertanya kepada Sasmi, tidak lagi hanya menoleh dan menangkap air wajahnya. Dan pertanyaanku hanya dijawab oleh pertanyaan kembali olehnya. Tapi entah kenapa setiap pertannyaannya memberikan jalan bagiku untuk menemukan jawaban yang aku cari.

Walau sekarang aku ragu dengan jawaban yang kutemukan itu.

"Sasmi, katakan padaku apakah aku harus mengatakan hal yang sama kepada orang ini?" tanyaku setengah berbisik.
"Apakah harus aku yang menjawab?" ujar Sasmi.
"Jawab saja Sasmi! AKu tidak tahu!" suaraku mulai meninggi.
"Aku pun tidak tahu Mita. Tapi yang harus kau ingat, terkadang ungkapan ketidaktahuan adalah sebuah pengingkaran akan keyakinan sebuah jawaban. Mungkin kau tahu, atau paling tidak kau meyakini akan perasaan yang kau rasakan, kemudian kau ingkari itu dengan ucapan 'aku tidak tahu'"
"Ini terlalu tidak logis Sasmi! sampai kapan aku harus menunggu? sedang aku tidak tahu siapa dan seperti apa manusia yang kutunggu!"

"Aku tidak tahu Mita,,, tanyakan pada dirimu. Apa yang membuatmu bertahan untuk menunggu selama ini?", kemudian Sasmi melanjutkan, "Seperti kau yang yakin untuk menghabiskan waktu menunggu nya... mungkin... ada keyakinan yang sama saat kau bertemu dengan nya. Keyakinan bukanlah hal yang bisa dijabarkan Mita. Karena tidak terjelaskan itulah sebuah keyakinan hadir; bahwa apapun dan bagaimanapun bentuknya kau yakin dengan semua keyakinanmu selama ini."

Kemudian aku dan Sasmi terperangkap dalam diam. Mungkin benar, pernyataan ketidaktahuanku (mungkin) adalah pengingkaran akan keyakinanku. Sebuah pengingkaran yang kecetuskan karena kelelahanku menunggu--mungkin saja aku memang mengetahui apa jawabannya.

Itulah aku dan Sasmi.

Aku yang melahirkan bimbang, kemudian dialah yang memekatkan keyakinan.

Akulah yang menumpahkan air mata, kemudian Sasmi yang menyekanya dengan senyuman,

Akulah yang mengumpat, kemudian Sasmi menyelanya dengan kata istigfar

Akulah yang membenci, kemudian Sasmi yang memaafkan

Akulah yang menyerah, kemudian Sasmi yang membangkitkan

Mengapa aku tidak bisa seyakin Sasmi walau akulah yang memiliki hak jawab untuk semua pertanyaan hidupku. Aku terlalu mempercayainya. Ya, aku terlalu mempercayainya. Karena dia selalu mempercayaiku bahwa aku memiliki jawaban atas semua pertanyaan yang kulontarkan.


Akulah gelap, kemudian Sasmilah terang.


Seperti gelap dan terang, sesungguhnya kami tidak pernah hadir bersama dalam detik yang sama. Kami adalah dua jiwa yang timbul tenggelam dalam satu tubuh bernama SASMITA.




1 comment:

  1. terkadang ungkapan ketidaktahuan adalah sebuah pengingkaran akan keyakinan sebuah jawaban.. like this yo'..

    kenapa mesti sasmita, kenapa gak ses mita :p
    haha

    ReplyDelete