Thursday, January 1, 2015

CEMAS YANG WAJAR


Krisna pernah bertanya kepada saya, tentang seberapa besar saya mempercayai keberadaan Tuhan. Saat itu saya menjawab bahwa saya tidak memiliki satuan yang tepat untuk menyatakan ukuran seberapa besar saya mempercayai Tuhan.

“Gunakan satuan ‘kecemasan’ dan gunakan dengan perbandingan terbalik”, kata Krisna.

Saya mengernyitkan dahi.

“Seberapa besar kecemasan yang ada di dalam hati dan pikiranmu. Jika kamu merasa memiliki banyak kecemasan tentang apa saja dalam hati dan pikiranmu, itu artinya kamu harus lebih mengenal siapa Tuhanmu dan belajarlah untuk lebih memercayainya.” Jelas Krisna menjawab kebingungan yang tampak di wajah saya.

“Bukankah merasa cemas adalah manusiawi?”, sanggah saya,”lalu atas dasar apa kamu mengatakan bahwa kecemasan dengan pengoprasian berbanding terbalik bisa mengukur kepercayaan kita kepada Tuhan?”

Krisna diam. Menarik nafas panjang dan membuang pandangannya ke luar.

“Kamu benar, merasa cemas adalah manusiawi. Cemas yang manusiawi timbul karena kita mengetahui bahwa sesungguhnya kita tidak mengetahui apa-apa. Dan ketidaktahuan itu seharusnya melahirkan kecemasan yang sewajarnya saja. tidak berlebih. Tidak kemudian menjadi ketakutan yang membabi buta.Cemas yang manusiawi adalah ketika kita tahu bahwa semua hal yang kita anggap kebaikan tidak selalu berarti kebaikan untuk kita. Segala hal yang kita cintai, kita sayangi, sesuatu yang ingin kita miliki belum tentu adalah sesuatu yang baik. Tapi seharusnya kecemasan berhenti di situ, Nisa.
Ketika kita memiliki rasa cemas karena ketidaktahuan, maka hal yang selanjutnya kita lakukan adalah mencari tahu.”

“Mencari tahu?” tanya saya sambil menangkap pandangannya. Krisna menatap saya sebentar, kemudian melempar padangannya lagi ke luar sembari berkata,

“Ketika kamu menginginkan sesuatu maka cara mencari tahu yang terbaik adalah dengan mengusahakannya sekuat tenaga, dengan cara yang benar tentunya. Tidak dengan curang, tidak dengan menipu, tidak dengan menyakiti orang lain. Perjuangkan apa yang kau inginkan dengan cara yang benar. Karena semua proses yang benar akan menghasilkan hasil yang benar juga, walau mungkin hasil yang kamu dapat tidak sesuai yang kamu harapkan. Tapi itulah kebenarannya, bahwa hasil apapun itu akan memberitahukan kepadamu apakah sesuatu yang kamu inginkan itu terbaik untuk kamu”
Krisna masih melempar pandangannya keluar, kemudian berkata,

“Jika kamu telah melakukan semuanya dengan benar, dan hasil akhirnya masih membuat kamu cemas, maka artinya kamu belum cukup memercayai keberadaan Tuhan. Karena itu artinya kamu menyangsikan kebenaran Tuhan atas semua yang sudah Dia rancang untuk hidup kita”

Kami sama-sama menarik nafas panjang. Saya mulai bisa memahami arah pikirannya. Saya menyepakati apa yang sudah ia jelaskan.

“Nisa, kesempatan terbaik kita untuk belajar adalah saat Tuhan mengizinkan kita memiliki sesuatu sekaligus merasakan kehilangan atas sesuatu tersebut.”

“Kenapa begitu?” tanya saya.

“Karena kita akan paham pada akhirnya bahwa segala sesuatu tidak bersifat selamanya. Semua serba semnetara. Kita kemudian akan paham dan tahu bagaimana menghargai apa yang sudah kita punya dan pada akhirnya mengikhlaskan apa-apa saja yang harus hilang dan pergi tanpa rasa sedih dan menyesal. Karena kita tahu kita telah menghargai hal tersebut sebelumnya. Karena kita tahu bahwa siklus itu akan selalu ada. Saat kau mendapatkan suatu hal maka kau harus siap untuk kehilangan.”

“Dan”, Krisna melanjutkan,”dengan konsep ini kita akan sama-sama paham bahwa kehilangan adalah kegetiran yang harus bisa kita terima. Kau tak perlu takut atau cemas kehilangan sesuatu ataupun seseorang, karena pada akhirnya mereka akan hilang. Cemaslah jika kau merasa tidak bisa menghargainya dan menjaganya dengan baik, karena mungkin kau akan menyesalinya kelak.”

“Aku rasa aku sudah terbiasa dengan kehilangan, Krisna” jawabku.

“Sesungguhnya tidak ada manusia yang akan terbiasa dengan kehilangan, Nisa. Sesering apapun kamu kehilangan barang-barang yang kamu sayang, orang-orang yang kamu cintai, jika setiap dari mereka hilang satu per satu, maka kau pun akan bersedih untuk tiap-tiap mereka yang pergi, untuk setiap benda yang hilang.
Tapi sekali lagi aku ingatkan, atas kesedihan-kesedihan yang mungkin datang kelak nanti janganlah kamu cemaskan sekarang. Karena kamu harus percaya, Tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkan luka dari sebuah kehilangan.”

“Kamu benar. Aku masih sering bersedih bahkan menangis jika mengingat Bumbum. Masih terasa getir jika mengingat Alm. Bik Tinah yang saban pagi menyapu teras rumah dan memanggil Bumbum untuk pulang jika sudah sore. Dan aku masih sedikit marah dengan angka 0.2 yang gagal menggenapi hasil kelulusan. Kadang aku berpikir, mengapa Tuhan selalu membuatku sangat bekerjakeras untuk mendapatkan sesuatu, bahkan aku tidak mendapatkan apa yang aku mau walau sudah berusaha lebih keras dari yang lain?!”

“Karena Tuhan tahu, ketika kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan setelah berupaya sekuat tenaga, kamu akan lebih menghargainya. Begitupun ketika kamu tidak mendapatkan apa yang kamu upayakan sekuat tenaga itu, kamu tidak akan menyesalinya karena kamu paham, upaya yang kamu lakukan adalah upaya kamu mencari tahu apakah yang sedang kamu upayakan adalah baik untuk kamu miliki atau tidak. Jika pada akhirnya kamu tidak mendapatkannya, artinya itu bukan yang terbaik untuk kamu. Dan tidak semua manusia diberikan mengecap proses seperti itu, Nisa. Bersyukurlah”

Saya tersenyum. Beruntung punya sosok Krisna dalam hidup saya. Krisna selalu menjadi tempat semua pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya berlabuh. Dia bisa menjadikan ke-abu-abua-an yang saya bawa menjadi hitam atau putih. Keraguan hilang seketika.

Krisna yang paling tahu bahwa di dalam kepala saya tidak akan pernah habis pertanyaan-pertanyaan. Dan dia yang paling tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan sederhana.

Ya. Benar kata Krisna bahwa mungkin kita harus belajar mengurangi kecemasan kita. Ketakutan-ketakutan akan masa depan atau hal-hal abstrak yang tidak bisa selesai hanya dengan menebak-nebak. Yang harus kita lakukan adalah mencari tahu lewat usaha, dan percaya bahwa Tuhan selalu memberikan hasil yang benar atas sebuah proses yang benar pula. Tanpa menipu dan menyakiti siapapun.

Mungkin Tuhan merahasiakan masa depan agar kita bisa menghargai semua proses yang harus dilalui. Menghargai semua orang yang kita temui. Menghargai semua hal yang telah kita miliki dan mencukupkan hati kita dengan tidak terus-terusan mengharapkan hal yang belum kita punya atau kita dapatkan.

Hingga detik inipun saya masih belajar untuk mencukupkan hati. Belajar menerima semua hal yang mungkin sebenarnya masih sulit bahkan sekedar untuk saya terima. Tapi mau tidak mau kita semua harus belajar seperti itu. dan mungkin akan harus terus belajar.




No comments:

Post a Comment