Tuesday, March 25, 2014

Kita (tidak) Memiliki Apapun




Pada kenyataannya, Tuhan menakar kebahagiaan yang berbeda di hidup manusia. Yang harus kamu pahami, tak semua orang seberuntung dirimu. Sesakit apapun kamu terjatuh dan merasa kecewa, percayalah, bahkan ada yang tak merasa apa-apa dengan sakit seperti yang kamu punya karena terlalu sering ia merasakannya. Jangan mudah bersedih, murung dan menyalahkan Tuhan, Nisa. Dia paling tahu seberapa kuat dirimu. Belajarlah untuk tidak mudah menyalahkan. Belajarlah untuk menerima dan belajarlah untuk selalu belajar dari rasa sedih yang kamu punya.

-K-


Pesan itu sampai lagi di kepala saya malam ini. Entah kenapa dan mengapa, tapi berhasil membuat saya berpikir cukup dalam. Mengingat hal-hal buruk apa saja yang pernah saya lakukan di masa lalu. Bagaimana seringnya saya menggugat Tuhan atas rasa sedih dan kecewa yang saya rasakan.

Waktu itu umur saya masih delapan tahun, mungkin umur yang masih rapuh dan belum tahu bagaimana menghadapi yang namanya perpisahan. Di umur itu, saya harus berpisah dengan semua bagian terpenting masa kecil saya. Hampir setiap malam saya menangis. Merasakan hal yang saya pahami sebagai kata rindu saat ini.

Saya tumbuh dengan pemahaman sendiri, bahwa perpisahan terasa begitu menyakitkan karena rasa terlalu mencintai dan memiliki.

Saya tidak mau merasakan kesedihan yang serupa. Maka saya memutuskan untuk tidak terlalu mencintai hal-hal yang mungkin akan saya tinggalkan nantinya.

Saat umur saya empatbelas tahun, perpisahan harus kembali saya rasakan. Tapi, kali ini tak sesedih dulu. Entah karena saya sudah mulai belajar ikhlas, atau mungkin saya sudah tak selugu enam tahun yang lalu--tidak ingin mencintai sesuatu dengan terlalu.

Memasuki umur belasan tahun, saya mencoba memahami makna memiliki. Kemudian hal yang saya dapati adalah bahwa tidak ada satupun di dunia ini yang bisa selamanya saya miliki. Meminjam istilah sahabat saya Puspa, perjumpaan adalah perpisahan yang tertunda, dan perpisahan adalah rasa rindu yang tertunda. Apa artinya? bahwa cepat atau lambat, dari sebuah perjumpaan kita akan berjumpa dengan kerinduan. Sesederhana apapun pertemuan itu, kelak (mungkin) akan kita rindukan.

Saya memiliki pemahaman bahwa saya akan baik-baik saja dengan sebuah perpisahan ketika saya bisa lebih memahami bagaimana caranya mengikhlaskan. Memahami benar bahwa semua yang datang pasti akan pergi. Bahwa semua lahir pasti akan mati. Bahwa semua yang pernah tercipta pasti akan musnah. Bahwa semua yang ada pasti akan hilang.

Iya. Semua akan menghilang.

Saya menanamkan benar bahwa semua yang saya miliki, apapun itu, nantinya akan menghilang.


Saya menanamkan pemahaman kepada diri saya sendiri bahwa sesungguhnya tak ada yang perlu saya takuti dari sebuah kehilangan. Karena pada akhirnya saya pun akan menghilang, musnah, hancur dan menjadi tidak ada.

Saya menanamkan pemahaman kepada diri saya sendiri bahwa sesungguhnya tidak ada yang perlu saya takuti dari sebuah kehilangan. Karena sesungguhnya saya tidak pernah memiliki apa-apa.

Yang datang biarlah datang.

Yang pergi biarlah pergi.

Iya. Tanpa saya sadar saya memahami sepotong hidup dengan cara seperti ini. Sederhana. Walau tidak mudah sesungguhnya.

Apa saya terbaca terlalu pasrah? Tidak juga.

Karena sepotong pemahaman saya yang lain adalah bahwa saya bertanggungjawab untuk menjaga dan mempertahankan selama mungkin apa yang dititipi Tuhan kepada saya. Menjaga sebaik mungkin. Karena 'menjaga' apa yang kita miliki adalah bentuk terimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan sementara kepada saya sesuatu itu. Dan ketika saya telah menjaga sekuat tenaga, sesuatu itu hilang, pergi atau bahkan musnah. Yasudah. Karena memang seperti itulah hukumnya.

Apakah saya berhak sedih atas kehilangan itu? Hmm... untungnya Tuhan Maha Baik kawan. Dia memberikan kita hak penuh atas apa yang Ia titipi kepada hidup kita. Jadi bersedihlah jika kehilangan itu terasa menyakitkan. Menangislah.

Tapi kemudian, ikhlaslah.

Saya tahu, mengikhlaskan sesuatu bukan perkara yang mudah, tapi bukan berarti tidak bisa :)

Saya pun masih belajar. Dan mungkin masih banyak 'materi ikhlas' yang harus saya pelajari dan pahami. Dan saya berterimakasih kepada bidadari tak bersayap saya (ibu) yang mengajarkan ikhlas dengan cara yang sangat sederhana.

Dari sini saya mulai membangun kerangka berpikir bahwa, tidak ada di dunia ini yang harus dicintai dengan terlalu, karena sesuatu itu akan hilang. Saya mencoba mencintai apapun dengan sewajarnya. Mencintai karena ingin mencintai saja. Mencintai karena saya bahagia. Ya! cintailah sesuatu yang membahagiakan kita :)

Sekali lagi, cintailah sesuatu karena kita bahagia mencintainya. Itu saja cukup. Oh, bahkan itu lebih cukup menurut saya. (Apa yang lebih indah dari merasa bahagia?)

Jadi jangan menuntut lebih dari itu. Jangan berespektasi lebih dari itu.

Mencintailah karena kita ingin mencintainya. Karena kita bahagia mencintainya. Mencintai saja.
Memberilah karena kita ingin memberi. Karena kita bahagia kita bisa memberi. Memberilah saja.


Janganlah kita mencintai seseorang karena kita ingin memiliki cintanya

Janganlah kita menemani seseorang karena kita ingin memiliki perhatiannya

Janganlah kita baik kepada seseorang karena kita menginginkan simpatinya

Jangan...

Karena sesungguhnya, kita tak pernah diizinkan untuk memiliki siapapun dan apapun di dunia ini.

Karena ketika kita melakukan sesuatu dengan harapan untuk memiliki sesuatu, sangat mungkin kita akan kecewa.

Saat ini saya sedang belajar bagaimana hidup dengan bahagia dengan cara saya sendiri:
1. Mensyukuri hal-hal kecil dan sederhana dengan senyuman;
2. Mengingat-ingat hal-hal baik dalam hidup yang sering saya lupakan kemudian menyukurinya;
3. Mengerjakan apa yang harus dikerjakan dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan;
4. Memberi waktu untuk bersedih, menangis ketika ingin menangis;
5. Menjaga semua hal yang membuat saya merasa bahagia...

Dan yang terakhir adalah... MENERIMA








No comments:

Post a Comment