Monday, February 21, 2011

Saat itu...







SESUATU YANG KU INGINKAN TERJADI DI MASA DEPAN

Yogyakarta, 21 Februari, 2021.

Kami duduk membentuk lingkar. Puncak merapi tampak bersih, udara segar dan dingin mengerayang di kulit pipi. Aku duduk tersenyum melihat mereka satu-persatu. Semakin lama kupandangi, semakin lebar senyuman ku. Ternyata Tuhan ada di antara kami saat berbagi mimpi sepuluh tahun yang lalu.

***

Jarum jam itu, aku tidak tahu harus berapa kali kuputar mundur untuk sampai di saat aku menemukan mereka pertama kalinya. Sepuluh, sebelas, atau mungkin sudah duabelas tahun yang lalu itu terjadi. Ada rentang waktu yang cukup panjang hingga akhirnya membawa kami dalam duduk lingkar ini.

Lagi. Aku tersenyum melihat wajah-wajah mereka.

Tuhan menjawab mimpi kami.

Pada akhirnya.

***

Kaliurang. Patung Udang. Sebuah kesatuan yang mengingatkan kami pada sebuah bulletin hitam-putih, dan selembaran kertas tempel yang berlogo: MAHKAMAH

Aku melihat dua sosok di depanku. Seorang wanita matang, ayu dengan balutan terusan kembang sederhana. Rambutnya tergerai sebahu, tak lagi iya gelung seperti sepuluh tahun yang lalu terakhir aku melihatnya. Puspaningtyas Panglipurjati, S.H., M.H. seorang dosen pengampu Mata Kuliah Perdata yang juga menjabat wakil dekan bidang kemahasiswaan Fakultas Hukum UGM. Iya. Fakultas kami dulu. Fakultas yang mengawali mimpi dan cerita ini.

Di sebelahnya, seperti sosok yang tak pernah berubah. Rapi dan sangat elegan. Noe, Notaris handal yang dimiliki dunia hukum Indonesia saat ini. kacamatanya yang tidak lagi berbingkai tebal, dan tanpa kawat gigi, membuat Noe benar-benar menjadi wanita dewasa. Walau namanya tersebar di media masa dengan “Noeki” tapi bagiku, dia tetap Noe-ku.

Tiara. Rambut ikal gantungnya masih milik gadis satu ini, Ups---ralat, nyoo-nyaa satu ini. tanpa kehadiran nyonya satu ini, meja ini kosong tanpa hidangan. Siapa lagi saudagar roti dan kue yang punya 3 cabang di Jakarta? Dan kantor ketring ternama di Yogyakarta? Jawabannya, Tiara Ramdhani Gucciana dengan Cugicu Bakrienya. Resoles keju yang pernah dia bikin saat KKn, masih menjadi andalannya.

Aku kembali tersenyum. Sepuluh tahun itu tidak sebentar. Tapi… kejadian-kejadian itu seolah baru terjadi kemarin. Dan aku tahu sepuluh tahun memang tidak sebentar, karena perubahan yang ada di depanku saat ini jelas hasil sebuah proses besar yang tidak mungkin terjadi dengan sebentar.

“Mbak Nis… jadi nambah bibitnya enggak?” suara Lia mengikat keliaran pikiranku.
“Bibit apa lagi yang pengen kamu tawarin ke aku?”
“Bibit Mujaer! Cocok nih buat kolam belakang. Saya kasih murah, harga cincaulaaah…” jawabnya penuh semangat. Tidak berubah.
“berapa?” tanyaku.
“ 100 juta, bersih.” Jawabnya sangat yakin.
“Yakin lepas murah?” aku meyakinkan.
“Udeh.. kaga papa… mau?”, aku hanya mengangguk meng-iyakan tawarannya. Lia masih seperti Lia saat terakhir aku melihatnya. Tapi jelas bukan Lia saat pertama kali aku mengenalnya. Lia yang selalu menolak ketika aku mempercayainya untuk mengedit tulisan bulletin kecil itu sambil menjawab dengan muka melas “Mbak… saya enggak bisa nulis… Natal ajaaa deh…”. Kalau ingat waktu itu , ingin tertawa rasanya. Mungkin saat itu kamu benar, dalam menulis kamu tak sepandai menjual ikan seperti sekarang.
Bukan penjual ikan pasar local yang dia pegang. Tapi pasar ikan dunia. Berawal dari kelas-konsentrasi-hukum-internasional, seorang Lia berubah menjadi seorang eksportir ikan terbesar.

“Eh iya, Natal mana?” tanyaku.

“Dia enggak nelepon kamu po Mbak? Dia harus ngeliput konvrensi buruh internasional di Vietnam selama satu minggu ini” Jawab Eel.

“Lha lo enggak ikut?”

“Udah diwakilin sama sekertarisku.”

“Gaya Lo El!! Mentang-mentang sudah jadi Kepala Persatuan Buruh Indonesia, bedaaaa omongannya sekarang!!” Teriak Cula.

“Hoh… iya dong Cul… Elviraaaa gituuu… mimpi jaman dulu boleh skala Bantul, eh malah jadi Kepala Persatuan Buruh Indonesia…, Lha? Kamu sendiri bukannya ditugasin ke Inggris kan?”

“Iya, emang, aku ambil cuti El… kapan lagi bisa ngumpul kaya gini, duduk sampingan sama kepala perserikatan buruh Indonesiaaa! Iya enggak Mbak Nisa?”

“Elvira gitu Cul…” jawabku.

“Ih mba Nisa… aku tuh kangen tauuu dipanggil kaya tadi… di kantor formil banget… “Mrs. Ursula, have you got the letter from embassy of Haiti” gituuuu Mbaaak…”

“Heh Cul!! Bersyukur kamu tuh bisa jadi dubes di negara se-oke ituuu!! Bisa jalan-jalan and keliling dunia kan enak Cul!!” samber Puspa.

“Ahhh… awalnya enggak enak Mbak!! Aku kan pertama kali di taro di Timor Leste!! Kaya pulang kampung aja aku!! Untung ada Bokir… dapet promosi aku… dan akhirnyaaa… Ta-daaaa…!!”

“Kakaaaaaak… gimana kabarnya… sombong dia kemaren aku telepon katanya enggak bisa datang harus ikut rombongan Presiden rapat PBB” dumel Puspa.

“Hahahahhaaaa… kangen gue sama lo yang manggil kirun kaya gitu Pus!” sergah Noe.

“Ah… najis lo Pus… gak malu ma mahasiswa lo… masa dosennya Camen!!”tambah Tiara

“Camen opo tho Tir?” Tanya Puspa

“Cantik Metal Mbak!!” Jawab Lia

“AAAAaaaaaakuuuu maaaaalllluuuuu eeee ttttiiiiiirrrr…. Eh terus kakak gimana sekarang Cul?”

“Cacat Mental sih lebih tepatnya” singkat Tiara.

Puspa terdiam… dan berteriak… “KaaaaaaaKaaaaaaaak…”

Kami hanya tertawa.

Gazebo ini seperti mesin waktu yang membawa kami kesepuluhtahun itu.


“Bokir Mbak Pus? Yah, beda setingkat ma akulah mbakpusss… yah tapi tetep senioran dia daripada aku, eh kan si Bosche juga ikutan rombongan presiden tahu…”

“AAAAA… Iyaaa… bosche kita kan ketua komisi II, jadi dia semacam perwakilan parlemen”

“Dia punya fighting spirit yang besaaaarrr”.

“Jargonnya mas Refly ngebuat bosche menuju mimpinya menjadi politisi!!” ujar EEL.



Dan perbincangan itu terus berlanjut. Angin dan gemerisik daun yang hampir kuning ini benar-benar menghanyutkankan kami menuju belasan tahun yang silam. Saat kami hanya sebagai “nama” yang kami miliki. Bukan sebagai siapa-siapa, ataupun sesuatu. Tapi tidak untuk hari ini. Tidak sekedar sebagai “nama” yang kami punya, namun sesuatu yang memang membanggakan untuk menjadi seperti ini.

Tiba-tiba deru mesin mobil terdengar dari gazebo tempat kami melepaskan kenangan liar belasan tahun itu. Sebuah VW gading terparkir. Dua sosok yang sangat aku kenal keluar dari mobil itu.

“Ijaaaaaaaannnnn!!! Haaaaaaamceeee….!!!” Teriak kami semua.

Dua pewarta nasional sudah datang ternyata. Walau sepuluh tahun mengubah penampilan mereka, menghilangkan rambut yang gondrong, cepolan tinggi ataupun celana sobek-sobek yang dulu sering mereka pakai. Tapi di mataku, mereka berdua tidak berubah sedikitpun.

“Ada kabar apa Indonesia hari ini Bung Ham-ham dan Bung Ijan?” Tanya Lia.

“Gileeeeekaaaliiiyeeee… Mbak Litaaaa… kepilih jadi ketua Tim Penyusun KUHP Indonesiaaaa!!” jawab Ijan.

“OH MY GOOOOOOOOD!!” dan kitapun berteriak melepas eforia sukacita ketika masih di ruangan kecil MAHKAMAH. Se-pu-luh-ta-hun-yang-la-lu.

Handphone ku bergetar. Sms dari Gita.

Sa, jadi make EO gue kan buat lounching hotel lo? Soal harga gampang Sa… Demi lo gue cancel tawaran kawinannya cucunya pak Beye! Oya, kata Ayunita, soal Baju muslimnya dari dia aja… Dia punya stock baru rancangan mesir!! Hahahahaa… baju Cleopatraaaa kali yaaaa…. Eh, buruan bales sms gue ya… butuh kepastian!!

Aku tersenyum membaca sms sahabatku yang satu ini. baru kemarin rasanya aku mengerjakan mading di kosannya belakang mesjid kampus, sekarang dia sudah memiliki perusahaan EO sendiri yang cukup terkenal di Indonesia. Lalu ku ketik : Suatu kehormatan menggunakan jasa EO se-prestige KIRANA EO.

“Sa…” suara Noe, membuatku menengadah.

“Mau nunggu siapa lagi Sa?” Tambah Tiara.

“Bang Samgar sama Bos Moyo sebentar lagi datang, lagi mutar-mutar Jogja pake helicopter katanya!!” Jawab Cula.

Kami semua tertawa mendengar Cula dengan logat Bataknya.

“Dapet Kabar darimana Cul?” Tanya Ham-ham.

“Siapaaaaalllaaaagiiiii mahkluk tersombong sejagat raya kalau bukan BOS MOYOWW!!”

“Hahahahahaa… kangeeen banget yaa!! Enggak sabar pengen liat Bang Samgar pake seragam Pilotnya!!” tambah Lia.

“Jangan-jangan tu helicopter, beneeeraaan lagi?!!! Samgar yang bawa!!” sergah Noe.

“Embeeeerrrr Cyyyiiiiin… soal Samgar yang bawa emang bener. Tapi kalau tu heli punya Moyo, ya enggak bener… itu heli punya Mwel…” jelas Tiara, “Tadi mwel 3G gue. Doi masih di Eropa ngambil foto buat project terbarunya,,,”

“Mas Samuel jadi photographer mbak?” Tanya Ijan.

“Where have you beeeeen? Jaaaaan… kalau lo ke Jerman, you pasti bakal sering banget ngeliat iklan majalah yang dipojoknya ada tulisan mwelfiosoart.photographie itu berarti punya si Mwel anak Tuhaaaan!!”

“Tu.. makanya Jan… besok kita ajuin promosi aja buat ngeliput piala dunia di Jerman” sambung Ham-ham.

Perbincangan terus memuncah sembari menunggu dua sahabat lagi yang sedang menuju kesini.
Aku mengambil laptopku, mengecek data apakah keperluan untuk lounching hotel dan butik ku sudah siap. Tapi entah mengapa layar tiba-tiba mati… seperti biasa, laptopku berulah.
Ku tekan semua tombol agar layar kembalinyala. Dari f1 sampai f10. Dan layar terbuka. Layarku penuh dengan icon folder yang entah darimana asalnya. Ku klik slaah satunya.




Dan aku terdiam.



Sebuah tulisan terbuka di layar laptopku saat ini.
Sebuah tulisan yang ku buat sepuluh tahun yang lalu.

Tulisan yang kubuat di tengah malam. Aku masih bisa mengingat itu. Sebuah tulisan yang berjudul


SESUATU YANG KU INGINKAN TERJADI DI MASA DEPAN
Tertanggal

Yogyakarta, 21 Februari 2011.



No comments:

Post a Comment