11 Jam Perjalanan Pulang
28 Februari, 2015. Pukul 05.00, saat itu.
Saya akhirnya mebulatkan tekad, saatnya keluar dari zona nyaman. Sekarang, atau tidak sama sekali.
Tulisan ini mungkin akan menjadi tulisan yang super tidak penting bagi kalian yang akan membaca. Peringatan ini semacam kesempatan bagi kalian untuk tidak melanjutkan membaca tulisan ini hingga selesai. Tapi jika kalian tetap ingin membacanya, saya bisa apa.
===
05.20 angka digital yang tertera di jam tangan saya. Suasana masih gelap. Jalanan komplek masih sepi. Saya berharap di ujung jalan ada ojek. Harapan saya kosong, ternyata tidak ada ojek. Dan saya mulai ragu untuk melangkahkan kaki keluar pagar, ‘apa gue telefon taksi aja ya kaya biasa?’, membatin.
Tidak. Itu keputusannya.
Saya membuka pagar rumah, dan melangkah sendirian di tengah komplek yang masih gelap dan sepi. Takut? Iya. Tapi, mari berpikir lebih tenang, ini sudah pukul 05.30 di depan komplek pasti aktivitas pagi sudah dimulai, ‘santai, semuanya pasti lancar!’ kata saya kepada diri saya sendiri. alhamdulillah, belokan pertama, saya melihat satu ojek sedang ngetem.
05.30. Stasiun Cakung. Saya tersenyum lebar, akhirnya sampai juga ditujuan pertama saya.
“Mbak beli tiket ke Pasar Senen ya”
Mbak dari balik loket hanya mengangguk, dengan cekatan ia menyiapkan kembalian.
“Mbak, kalau mau ke Pasar Senen pas transit di Jatinegara saya harus pindah jalur berapa ya?”
“Hmmm... kalau enggak jalur tiga jalur empat, mbak, tapi coba nanti ditanyakan saja sama petugas kereta di sana” jawab mbaknya ramah.
“Oke, Terimakasih ya, Mbak” tiga kali lebih ramah. Ehhehe.
05.48. Commuterline dari Bekasi datang. Tempat duduk banyak yang kosong. Ini hari sabtu. Dan saya masih senyum-senyum sendiri di dalam kereta ini. Bangga.
06. 10. Stasiun Jatinegara. Dua sisi pintu sama-sama terbuka, saya bingung harus keluar di sisi pintu sebelah mana. Beberapa orang yang turun dari sisi sebelah kiri langsung memasuki Commuterline yang terparkir tepat di sebelah commuterline tempat saya berdiri sekarang. Di pintu sebelah kanan menuju ke peron jalur satu. Saya (mulai) panik. Commuterline yang saya naiki sudah bersiap untuk melaju lagi. Baiklah, saya putuskan untuk turun dari sisi kiri. Menuju ke arah commuterline yang sedang terparkir tadi. Kemudian keluar lagi. Kemudian (untungnya) ada seorang bapak-bapak berteriak dari jauh, “Adek mau kemana?” (asik! Udah lama enggak dipanggil adek! Hahaha, oke lupakan), sepertinya kepanikan dan kebingungan saya terlihat jelas bahkan dari jauh.
“Mau ke Pasar Senen, Pak!” balas saya.
“Naik kereta yang di belakang kamu!”
Saya menunju commuterline di belakang saya. Memastikan.
“Iya! Masuk kereta itu, dek!”
Akhirnya saya masuk ke kereta itu dan untungnya ada petugas yang lewat. Maka dengan sigap saya berlari menghampiri petugas kereta tersebut dengan semangat 45, karena telat sedikit saya bisa terbawa oleh kereta yang salah.
“Pak! Ini kereta ke Pasar Senen?” saya sadar petugas kereta agak kaget tiba-tiba disamperin dengan cara yang agak tidak biasa. Habis gimana, saya panik.
“Iya... ini ke Pasar Senen...”
Dan entah kenapa tiba-tiba seolah keluar cahaya dari belakang tubuh si petugas kereta ini... mata saya berbinar, suasana haru menyelimuti hati saya. saya tidak salah naik keretaaaa!!
Belum sempat saya keluar untuk mengucapkan terimakasih kepada bapak-bapak yang tadi teriak, pintu KRL sudah tertutup. Yasudahlah semoga Tuhan yang membalas kebaikan bapak-bapak tadi.
06.15. Di dalam Commuterline menuju Pasar Senen. Saya lega. (masih) Senyum-senyum sendiri.
06.25. Stasiun Pasar Senen.
Saya berjalan lega. Benar-benar lega. Saya sudah sampai pada tujuan kedua saya. ‘tinggal cetak tiket dan saya bisa duduk manis menunggu kereta ke Jogja’. Aaaah senang!
06.30. (di luar perkiraan) Antrian panjang di mesin cetak (tiket kereta) mandiri. Saya tersenyum. Saya masih punya banyak waktu untuk sampai ke antrian depan. Sampai akhirnya...
Saya sudah di barisan kedua dari salah satu mesin cetak mandiri di situ. Kemudian datang petugas KAI yang minta pengertian untuk penumpang selain tegal express dan gadjahwong untuk mempersilahkan terlebih dahulu para penumpang dua kereta itu untuk menyetak tiket karena keretanya sudah mau berangkat.
Saya melihat jam tangan, masih 45 menit lagi jadwal kereta saya. saya tidak keberatan. Sayangnya, mesin yang digunakan hanya mesin tempat antrian saya. padahal masih ada tiga mesin lagi yang bisa dipergunakan. Saya masih diam mempersilahkan, hingga akhirnya, mulai terdengar keributan di belakang saya.
“Pak! Kok jadi enggak adil gini sih? kasian dong yang udah antri dari tadi?!”
Saya masih diam. Berpikir, ‘iya juga sih’.
Kemudian mbak-mbak di samping saya yang merupakan penumpang tegal ekspres membalas, “tolong lah pengertiannya,, kareta kami berangkat lima menit lagi,, sabar sebentar kan enggak apa-apa”
Saya, manusia yang berdiri hanya dua baris lagi dari mesin cetak mandiri masih diam dan membatin, ‘iya juga, kasian kalau mereka sampai ketinggalan kereta’.
Kemudian mas-mas di belakang saya menepuk pundak saya, “Mbak, udah maju aja, kalau mbaknya enggak maju, kasian yang lain juga enggak maju2! Salah sendiri mereka udah tahu kereta jam segitu, harusnya datang lebih pagi”
Gue mikir, ‘iyaa bener juga sih!’.
Belum sempat gue jawab, datang lagi another penumpang Tegal express dan Gadjahwong, minta didahulukan. Kondisi mulai kacau, dan petugas KAI juga agak kebingungan. Sampai akhirnya....
Saya (refleks) maju ke depan nepuk pundak petugas KAI, dan di situ ada beberapa petugas keamanannya juga.
“Mas... kereta saya masih 45 menit lagi, saya enggak keberatan untuk ngasih kesempatan penumpang Tegal Express dan Gadjah wong duluan. Tapi kalau bisa jangan semua penumpang dua kereta itu ditumpuk di satu mesin ini aja. Kasian yang antri di barisan ini, enggak maju-maju”
“Jadi gimana, mbak enaknya?” salah satu petugas bertanya kepada saya.
“Di sini kan ada empat mesin, dispensasi antrian buat penumpang Tegal Express sama Gadjahwong jangan dipusatin di satu mesin ini aja, mas! Antrian dimundurin dulu untuk semua mesin terus diganti untuk penumpang dua kereta tadi, jadinya juga lebih cepat dan yang nunggu enggak Cuma satu barisan ini doang. Enggak adil dong, mesin yang lainnya penumpang lain bisa nyetak sesuai antrian, masa kami yang antri di mesin ini harus nunggu sampai mempet jadwal keberangkatan kami?”
Akhirnya masukan saya diterima, antrian untuk penumpang dua kereta tadi dibagi menjadi empat mesin. Sehingga dalam waktu beberapa menit antrian barisan saya mulai berkurang, dan tiket saya diprintkan oleh petugas KAI. Kemudian saya menghampiri mas-mas yang tadi berdiri di belakang saya,
“Mas maaf ya... jadi nunggu lama, habisnya kasian juga kalau mereka ketinggalan kereta” ujar saya sok-akrab-seperti-biasa-nya.
“Enggak apa-apa mbak yang penting antriannya sudah jalan lagi, masalahnya kasian juga mbak kalau yang udah antri di belakang harus nunggu lama Cuma gara-gara mereka yang datengnya kesiangan.”
“Iya sih mas, bener juga. yaudah mas, saya permisi dulu, makasih ya mas buat pengertiannya”
“sama-sama, mbak” kali ini suara masnya jauh lebih ramah dari sebelumnya.
Dan akhirnya saya keluar dari antrian yang cukup membuat badan saya penuh peluh karena gerah dan karena selain pengap, saya juga sempat panik.
Novi teman saya sudah berdiri di ujung antrian. Fuuuh... entah kenapa saya 3x lebih lega dari rasa sebelumnya. Setidaknya saya punya cukup waktu untuk menghandle kondisi tak terduga seperti tadi. Masih ada 30 menit sebelum kereta saya berangkat membawa saya kembali ke Jogjakarta.
Kali ini tulisan saya berhenti sejenak sampai di sini.
Entah pukul berapa, saya sudah di atas kereta memandang hamparan hijau dari bingkai jendela. Novi tertidur di samping saya. Kereta melaju menuju Yogyakarta. Saya tersenyum puas. Bangga dengan apa yang sudah saya kerjakan di awal hari tadi hingga saat ini.
Seperti yang saya ceritakan di awal, tulisan ini tentang hal yang sangat sederhana. Tentang perjalanan pertama saya ke Pasarsenen di pagi hari menggunakan commuterline. Buat kalian mungkin sangat sederhana atau bahkan tidak penting, tapi ini cerita tersendiri untuk saya, yang memberikan pemahaman baru dalam hidup saya.
Tepat malam kemarin ibu menelfon, apakah saya sudah memesan taksi untuk hari ini menuju Pasarsenen, saya jawab belum. Saya bilang ke ibu bahwa saya mau mencoba ke Pasarsenen dengan naik KRL. Lalu ibu bertanya, apakah saya yakin, saya jawab tidak. Tapi, kalau saya tidak pernah mencoba dari mana saya tahu dan kemudian yakin bahwa saya bisa?
Ibu kemudian bertanya, kenapa mau naik KRL, kenapa tidak taksi saja mengingat saya harus pergi di pagi buta saat suasana masih gelap, kalau duit kurang ibu sudah menyiapkan duit kas di laci. Kemudian saya menjawan bahwa saya ingin mencoba, saya ingin tahu bagaimana rasanya, saya ingin tahu bagaimana caranya dan di dalam hati, sebenarnya saya ingin tahu apa saya bisa melakukannya atau tidak.
Ibu mengizinkan. Ibu paham bagaimana watak anak bungsunya. Sama halnya saat saya pertama kali minta izin untuk naik gunung padahal saya tidak punya pengalaman naik gunung sebelumnya, yang saya punya justru penyakit asma yang bisa kambuh kapan saja. Tapi saat itu ibu tetap mengizinkan saya naik gunung karena ibu tahu, saya tidak jauh berbeda dengan dirinya saat muda yang ingin tahu dan ingin mencoba banyak hal dengan satu tujuan: untuk tahu seberapa kuat saya bisa bertahan.
Saya tersenyum lebar. Hari ini saya bisa memuaskan diri saya sendiri. saya puas akhirnya bisa membuktikan kepada diri saya sendiri bahwa hari ini saya bisa berkompromi dengan rasa takut untuk berjalan sendiri di tengah subuh yang masih gelap untuk mencari ojek, alhamdulillah saya ketemu Pak Ruslan, bapak ojek tua yang super ramah.
Saya puas karena pagi ini saya bisa menaklukan kepanikan dan kebingungan saya, alhamdulillah ada bapak-bapak yang entah siapa yang memberi petunjuk kereta mana yang harus saya naiki.
Saya senang karena pada akhirnya—walau-sedikit-lama—bisa memberikan masukan dan solusi di tengah kondisi yang sedikit kacau saat di mesin cetak mandiri, alhamdulillah tidak ada yang terpancing emosi di situ.
Dan pada akhirnya, saya bahagia, kelak saya punya cerita yang bisa dibagikan kepada anak dan cucu saya bahwa dulu saya pernah melakukan ini semua dalam rangka keluar dari zona nyaman saya. ini hal kecil, saya tahu ini hal kecil. Tapi bukankah sebuah perjalanan yang panjang selalu dimulai dengan sebuah langkah yang tidak peduli seberapa lebar langkah tersebut?
Setidaknya hari ini saya berhasil memaksakan diri saya untuk melakukan hal yang benar bukan hal yang mudah.
Hal yang benar, karena pada akhirnya saya tahu proses ini membuat saya lebih yakin pada diri saya sendiri bahwa saya yang hobi nyasar dan mudah panikan bisa sampai ke tujuan dengan selamat sentosa! haahahha
Hal yang benar, karena pada akhirnya saya tahu proses ini membuat saya bisa lebih menghargai setiap rupiah yang saya miliki dan berpikir bersyukurlah kita yang tidak menggantungkan kemudahan hidup kepada uang.
Hari ini saya paham, mungkin benar uang bisa memudahkan banyak hal, tapi tidak dengan proses pendewasaan—karena pada akhirnya itu adalah pilihan yang kita buat sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh entah siapa di dalam sebuah petikan tulisan: Kita tidak akan pernah mendapatkan hal yang baru jika kita terus melakukan banyak hal dengan cara yang sama.
Jadi, jika ada kesempatan yang bisa menantang kemampuan kita untuk semakin berkembang, lakukan!
Pukul 15.30. Stasiun Tugu Yogyakarta. Perjalanan hampir selesai.
Pukul 16.00. I’m home.
Setiap orang, mungkin, punya hasrat untuk membuktikan, menunjukan dan meyakinkan kepada orang lain akan kemampuan yang dimilikinya. Tentang hasrat dan kebanggan untuk mendapatkan pengakuan seseorang atas kemampuannya.
Siapa orang yang paling ingin kalian puaskan atas kemampuan yang kalian miliki?
Siapa orang yang bisa memuaskan hasrat kalian jika kalian berhasil menunjukan bahwa kalian bisa melakukan suatu hal yang mereka ragu kalian akan berhasil melakukannya?
Siapa?
Dalam hidup saya, seseorang yang paling ingin saya puaskan atas segala hal yang saya usahakan adalah diri saya sendiri.
Dan hari ini, saya berhasil membuktikan kepada diri sendiri bahwa saya bisa!
(Duh gila ya,,, ke Pasarsenen naik KRL sendirian aja udah sebahagia ini perasaan gue)
Semoga, kalian yang memilih untuk menamatkan tulisan ini tidak merasa menyesal menghabiskan sedikit waktu untuk membaca tulisan sesederhana ini. Tapi mungkin bisa menjadi pertimbangan dan masukan bagi kalian, bahwa semua selalu berawal dari hal yang paling sederhana. Jika kalian bisa menghargai kesederhanaan, mungkin kita akan terbiasa untuk merasa bahagia dengan lebih sederhana juga. Sekali lagi, semoga. :)
No comments:
Post a Comment