Apa hal yang sering saya lakukan ketika saya bahagia? Jawabannya adalah menulis.
Saat saya merasa bahagia selepas berkumpul dengan teman-teman dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan banyak hal serta bercerita, saya akan menulis.
Saat saya merasa bahagia selepas menyaksikan sebuah kejadian yang memberikan saya pemahaman baru, saya akan menulis.
Saat saya merasa bahagia selepas menonton sebuah film atau menamatkan sebuah buku, maka saya akan menulis.
Menulis bagi saya menjadi tempat untuk berbagii atas kebahagiaan yang saya rasakan. Atas pemahaman-pemahaman baru yang semoga bernilai baik yang saya dapatkan. Maka izinkanlah saya kali ini untuk berbagi kebahagiaan saya atas pemahaman baru yang saya dapatkan setelah menamatkan sebuah novel berjudul RINDU karya Tere Liye.
sumber : http://ruangmaknaqu.blogspot.com/2014/10/resensi-novel-rindu.html
Novel ini pemberian sahabat saya; Eka. Entahlah, mungkin Eka paham bahwa saya memang menyukai karya-karya Tere Liye. Saya mengoleksi novel-novelnya, saya jatuh cinta dengan tulisan Tere Liye sejak saya menamatkan novel karangannya yang pertama saya miliki: Aku, Kau dan sepucuk Angpao Merah. Kemudian saya terus membeli karya Tere Liye lainnya. Saya suka, saya suka dengan semua konsep yang ditawarkan Tere Liye dalam melihat kehidupan. Tentang bagaimana caranya mencintai, bagaimana caranya bermimpi, bagaimana cara menghargai kehidupan, saya selalu menyukai cara Tere Liye menyajikan itu semua dalam cerita-cerita karangannya.
Kembali pada RINDU. Novel yang memiliki 544 halaman ini memberikan kesan ‘lelah’ bagi saya saat pertama kali menerimanya dari Eka. Saya memang suka membaca karya Tere Liye, tapi sebelumnya saya harus menyatakan bahwa saya adalah pembosan. Saya tidak pernah bisa duduk diam lebih dari setengah jam hanya untuk membaca buku. Saya tidak terlalu suka cerita yang panjang, lebih tepatnya saya tidak terlalu suka melihat buku bacaan yang terlalu tebal. Karena saya selalu tidak sabaran menebak-nebak akhir cerita. Saya akui saya kurang sabar, tapi RINDU, membuat saya paham bahwa untuk memahami dan menemukan ‘keberhargaan’ sebuah buku, kita pun butuh sabar.
Jujur, novel ini saya tamatkan selama dua bulan. Bab 1 hingga Bab 30 terasa membosankan bagi saya. tidak ada konflik yang terlalu berarti. Tidak terlalu banyak perkataan-perkataan yang bisa diresapi dan dimaknai, maka jadilah novel ini selalu saya kesampingkan dan saya buka sekali-kali jika saya sedang tidak ada kerjaan. Saya tidak terlalu ingin menamatkannya. Tapi saya kembali berpikir, tidak mungkin penerbit sebesar REPUBLIKA menerbitkan buku yang isinya biasa saja. saya mulai bertanya, ceritanya yang membosankan, atau saya yang belum bisa memahami isi ceritanya?
Maka untuk mendapatkan jawabannya, tidak lain dengan terus melanjutkan membacanya dan menamatkannya.
BAB 31. Pertanyaan pertama mulai diajukan. Pertanyaan tentang apa? Bacalah sendiri.
Selanjutnya hingga BAB 50-51 pertanyaan-pertanyaan lain mulai diajukan dan dijawab. Ada lima pertanyaan dari lima kehidupan manusia yang berbeda. Empat dari lima pertanyaan itu terjawab oleh seorang guru besar bernama Ahmad Karaeng yang akrab dipanggil Gurutta dalam cerita ini. Kemudian satu pertanyaan terakhir, sebuah pertanyaan yang berasal dari Gurutta tanpa disangka-sangka terjawab oleh seorang kelasi kapal yang patah hati. Seorang pemuda yang dangkal ilmu agamanya dan tokoh paling muda di antara tokoh utama dalam cerita ini.
Kalian tahu apa yang saya dapatkan setelah membaca novel ini khususnya di BAB 31 hingga 51? Banyak hal! Dan salah satunya adalah saya kemudian mengerti bahwa setiap manusia yang hidup dengan segala macam takdir yang ia miliki akan selalu memiliki satu atau lebih pertanyaan hidup dalam dirinya. Pertanyaan yang berbeda-beda setiap orangnya, dan terkadang kita akan menemukan jawabannya itu dari orang-orang yang kita temui dalam hidup kita. Bahkan dari seseorang yang tidak pernah kita kira, seperti kelasi rendahan yang pada akhirnya mampu menjawab pertanyaan seorang Gurutta.
Ya, kita tidak pernah tahu serumit apapun pertanyaan yang kita bawa dalam hidup bisa jadi akan menemukan jawabannya dari seorang yang memiliki tingkat pendidikan, sosial atau bahkan agama yang jauh dari kita. Itu sebabnya, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghargai siapapun yang kita temui dalam hidup kita, karena bisa jadi, orang yang kita sepelekan karena kemampuanyalah yang memegang jawaban atas pertanyaan kita. Bisa jadi, orang yang paling tidak kita perhitungkanlah yang akan memberikan pemahaman hidup yang lebih baik untuk kita. Bisa jadi, orang yang paling membutuhkan pertolongan kitalah yang malah akan menolong kita keluar dari kebingungan.
Bisa jadi seperti itu.
Hal lain yang saya temui dalam buku ini adalah tentang penerimaan dan sabar. Tentang bagaimana kita belajar untuk menerima takdir Tuhan yang terkadang terasa tidak adil bagi kita. Bagaimana kita bisa menerima bahwa hal yang kita inginkan tidak selalu menjadi hal yang terbaik untuk diri kita. Maka atas luka, atas rasa kecewa, atas rasa marah dan rasa bersalah, ada baiknya mulai saat ini kita belajar menerima. Menerima tidak sekedar menerima. Menerima dengan pemahaman yang baik untuk belajar mengerti bahwa atas sebuah proses hidup yang baik, atas sebuah kesalahan yang dilakukan karena ketidaktahuan, atas sebuah luka yang entah mengapa diberikan Tuhan, selalu ada pelajaran dan pesan yang ingin disampaikan Tuhan.
Dan ketika itu berasal dari Tuhan, maka itu akan selalu menjadi kebaikan. Belajarlah menerima dengan konsep yang seperti itu.
Kemudian, sabar. Dalam novel ini dituliskan bahwa sabar adalah penolong kita yang luar biasa. Bagaimana bisa? Begini, ketika kita menerima sebuah takdir Tuhan, takdir yang tidak kita inginkan, takdir yang entah mengapa dan kita tidak paham dan mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci dan tidak menyukai takdir tersebut. Jika kita bersabar, menerima, maka kelak waktu akan menjelaskan hal-hal yang tidak kita pahami sebelumnya. Dan apabila kita sabar dan menerima, waktu akan mengobati semua luka dan kecewa yang sempat kita dapatkan sebelumnya. Ingatlah bahwa pengetahuan manusia terbatas, dan sungguh, kita tidak perlu tahu seluruh hal di dunia ini.
Sabarlah, ikhlaslah.
Saya hingga detik ini yakin, atas semua hal yang selama ini saya perjuangkan namun belum bisa saya menangkan atau dapatkan adalah karena (mungkin) memang belum pantas saya dapatkan atau (mungkin) akan diganti yang lebih baik oleh Tuhan. Hal yang terus saya lakukan adalah berjuang dengan cara yang benar, agar saya mendapatkan hasil yang benar juga, walau mungkin hasilnya tidak sesuai dengan keinginan saya, karena sekali lagi saya ingin belajar memercayai bahwa hal yang saya ingini belum tentu menjadi hal terbaik bagi hidup saya. semoga pemahaman ini akan selalu saya pegang agar saya bisa belajar ikhlas saat bertemu dengan kegagalan ataupun kekecewaan dalam bentuk apapun.
Saya adalah pelupa yang akut. Saya sering melupakan nama-nama orang yang saya temui. Saya sering melupakan jalan cerita sebuah film atau buku yang saya baca. Saya sering melupakan arah jalan yang (padahal) sering saya lewati. Tapi entahlah untuk yang satu ini saya harus bersyukur atau tidak atas saya yang sebagai pelupa akut; saya sering melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup saya. Bahkan sering saya lupa jika saya sedang marah dengan seseorang. Saya hanya tidak ingin terbiasa membenci. Saya tidak ingin merasa sedih dan kecewa terlalu lama. Maka tanpa saya sadar, saya menggunakan kemampuan saya—jika saya boleh mengakui pelupa saya sebagai sebuah kemampuan—melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Saya hanya berusaha menjadikan kekurangan pelupa saya sebagai kelebihan tersendiri untuk beberapa hal.
Dan seperti yang saya nyatakan di awal, inilah yang dilakukan pelupa saat merasa bahagia; menulis.
Saya menulis agar kelak, suatu saat nanti yang entah kapan, ketika saya membaca tulisan ini lagi saya bisa merasakan bahagia yang sama seperti malam ini saat saya menuliskan ini semua. Inilah kejujurannya, saya menulis untuk diri saya sendiri sebenarnya, tapi jika tulisan ini bisa membuat orang lain juga merasa bahagia, maka kebahagiaan saya berkali-kali lipat. Adakah hal bahagia selain ketika kebahagiaan kita menjadi sumber kebahagiaan (juga) bagi orang lain?
Saya tidak perlu menjawab.
Terakhir saya ingin menuliskan tentang pengalaman saya menamatkan novel ini. Saya sempat berpikir, adakalanya kita hampir menyerah untuk menyelesaikan suatu hal—seperti saya yang hampir menyerah menuntaskan novel ini—tapi kemudian ada di mana kita seolah ‘dibisikan’ untuk terus menyelesaikannya. Jika itu terjadi dalam kehidupan kita kelak, maka, yakinilah bahwa itu petunjuk alam semesta dan Tuhan agar kita tidak lekas menyerah, karena ada hal berharga yang bisa kita dapatkan di ujung sana. Jadi... membaca saja butuh sabar, apalagi memahami dan menemukan keseruan akan kehidupan. Jika alur cerita hidup kita saat ini terasa datar dan kurang seru, maka bersabarlah. Sabar! Tetap teruskan dengan penuh harapan baik. Akan ada waktunya kalian memasuki bab baru dalam kehidupan kalian yang membuat kalian kehilangan rasa lelah dan kehilangan kesempatan untuk sekedar menggerutu!!
No comments:
Post a Comment