Siang tadi saya berpikir, mungkin saya harus menulis tulisan ini untuk seseorang yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Karena mungkin saja tulisan ini bisa jadi tidak terlalu berarti untuknya, tapi mungkin berarti untuk kamu yang sedang membacanya sekarang.
Kali ini tentang KECEWA.
Siang tadi saya tidak benar-benar memerhatikan jalan pulang dari rumah bude daerah pisangan lama ke rumah saya yang terletak di daerah Bintara, Bekasi Barat. Harusnya saya menghapalnya, mengingat kemampuan saya memetakan jalan, lokasi maupun mengingat posisi suatu tempat levelnya di atas “payah”, atau dapat diartikan: payah sekali. Tidak, kali ini di kepala saya penuh dengan pemikiran-pemikiran tentang bagaimana kita bisa menerima rasa kecewa, berdamai dengannnya.
Pikiran ini tidak serta-merta ada di kepala dan benak saya. Pikiran ini muncul dari hasil mendengarkan cerita keluarga, obralan ibu bersama bude. Tidak penting cerita detilnya seperti apa, tapi obrolan mereka yang kemudian membuat saya berpikir bagaimana bisa menjalani hidup dengan senantiasa berdamai dari rasa-rasa kecewa.
Sewajarnya, kita pernah merasakan kecewa. Entah itu karena penerimaan yang di bawah espektasi kita, atas suatu kehilangan, atas suatu harapan yang tidak tercapai, kepercayaan yang tidak dihargai, dan masih banyak hal yang membuat kita merasa kecewa. Saya pun pernah merasakannya. Tapi mungkin saya harus bersyukur, bahwa saya manusia yang cukup bisa berkompromi dengan rasa kecewa itu. Dalam bentuk apapun kekecewaan yang pernah saya rasakan, saya tidak pernah terlalu lama bersedih akan suatu hal yang membuat saya kecewa.
Beberapa teman menganggap bahwa saya terlalu ‘keras’ kepada diri saya sendiri, ‘kamu punya waktu untuk menghabiskan sedihmu, Nisa’, dan jawaban saya adalah, ‘tidak ada waktu yang harus dihabiskan hanya untuk sebuah kesedihan’. Saya tidak pernah terlalu keras dengan diri saya, tapi begitulah cara saya berkompromi dengan segala masalah dan rasa kecewa. Saya terbiasa hidup dengan ‘deadline’, maka begitupun di kehidupan sehari-hari saya, saya selalu memberikan deadline kapan saya harus berhenti bersedih dan kecewa. Kapan saya harus menerima atau jika terlalu sulit, maka kapan saya harus melupakan suatu hal. Menggapnya tidak pernah ada atau terjadi.
Bagi saya, salah dalam membuat pilihan, tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, kehilangan sesuatu yang kita sayang adalah bagian yang bisa dijadikan tolak ukur kedewasaan kita. Kita tidak perlu mengingkari kesedihan, kita tidak perlu berpura-pura untuk baik-baik saja dan mengatakan tidak apa-apa. Hal yang paling jarang dilakukan oleh orang-orang yang kecewa adalah MENERIMA.
Menerima bahwa kita telah melakukan kesalahan
Menerima bahwa apa yang kita inginkan bukanlah hal yang bisa kita dapatkan
Menerima bahwa kita tidak pernah bisa memiliki sesuatu selamanya.
Menerima bahwa kecewa adalah merupakan suatu kewajaran.
Ya, kamu pasti akan berpikir bahwa menuliskan suatu hal akan jauh lebih mudah daripada mempraktikannya. Tapi saya sudah mempraktikannya. Dan saya tidak pernah terlalu lama terperangkap oleh rasa kecewa. Saya tidak mau menghabiskan waktu saya dengan bersedih dan menyesal berkepanjangan. Saya menerima bahwa saya kecewa ataupun dikecewakan, kemudian saya habiskan sedih saya dengan menangis, berpikir, berdoa, dan kemudian mengakui kesedihan saya dengan menuliskannya atau bercerita, kemudian saya cukupkan kesedihan itu dengan memberikan tenggat waktu, kapan saya harus berdamai dengan perasaan-perasaan ini kemudian menjalani kehidupan dengan normal kembali.
Suatu waktu saya pernah terlibat pertengkaran (sangat hebat) dengan teman sekolah. Bagi saya, dari sisi manapun, dialah yang melakukan kesalahan terhadap saya. Saat itu saya benar-benar marah sejadi-jadinya. Beberapa teman menenangkan saya, mencoba menjelaskan bahwa mungkin si-teman-yang-membuat-saya-marah-itu tidak bermaksud melakukan hal itu kepada saya. sayangnya, saya tidak peduli. Saya terlanjur sakit hati. Menghindari orang yang kita (sebut saja) benci bukan perkara mudah jika ia satu organisasi. Saat itu saya masih belasan tahun, saya lebih memilih menghindar dibanding menyelesaikan. Sampai akhirnya, saya di satu titik mengambil kesimpula bahwa membenci seseorang ternyata melelahkan. Saya harus pergi jika melihat dia masuk ruangan sekretariat. Saya sekuat tenaga menjaga detak jantung saya yang berdetak cepat ketika (terpaksa) mendengar dia berbicara di sebuah rapat kordinasi yang tidak mungkin saya hindari. Saya terus menyimpan kebencian ini dan semakin hari merasa lelah sendiri.
Hingga akhirnya saya menemukan sebuah cerita tentang seorang guru yang menugasi murid-murid nya untuk membawa kentang sejumlah orang yang mereka benci dengan menuliskan satu nama orang yang mereka benci di satu kentang. Kalian pasti pernah mendengar atau membacanya. Kentang-kentang itu harus dibawa kemanapun para murid pergi. Selang beberapa hari, murid-murid mulai mengeluh karena kentang yang mereka bawa kemana-mana mulai mengeluarkan bau busuk.
Di akhir cerita, sang Guru mengizinkan mereka untuk membuang kentang-kentang itu. kemudian sang Guru bertanya adakah dari murid-muridnya yang mengerti maksud dari tugas itu. dan tidak ada satupun murid yang mengerti. Sang guru kemudian menjelaskan bahwasanya kebencian yang kita miliki kepada orang lain seperti kentang-kentang yang dibawa setiap hari. Semakin banyak rasa benci itu, akan semakin berat beban yang kalian bawa. Dan semakin lama kita menyimpan rasa benci itu, maka akan semakin menyesakkan hari-hari kita. Begitulah akhirnya saya paham tentang kelelahan menyimpan kebencian dan kekecewaan—yang padahal hanya satu orang saja.
Tidak seperti dicerita bahwa kita seharusnya memaafkan. Saat itu saya belum bisa memaafkannya, bahkan hingga beberapa tahun kemudian. Maka yang saya lakukan adalah menganggapnya tidak pernah ada. Bagi saya, ini adalah hal yang paling kejam yang pernah saya lakukan kepada seseorang, maklum, waktu itu saya masih ABG. Labil.
Saya tidak pernah keluar ruangan (lagi) jika dia datang. Tak pernah menegurnya. Tak pernah berbicara tentang dia kepada siapapun. Tidak pernah menyebut namanya. Jika ada kepentingan organisasi, maka saya selalu beranggapan bahwa saya sedang berhadapan dengan jabatan yang ia pegang, bukan pribadinya. Dan saat ini saya menyadari betapa saya keras kepala saat itu. seiring berjalannya waktu, tanpa saya sadar saya melakukan proses ‘berdamai’. Berdamai kepada rasa keras kepala saya. Berdamai dengan masa lalu yang pernah membuat saya sangat kecewa dan bersedih. Menerimanya sebagai suatu hal yang memang seharusnya saya terima sebagai bentuk pendewasaan saya.
Semakin saya bertumbuh, saya memilih untuk tidak sekedar menua tanpa menjadi semakin dewasa. Saya semakin memahami bahwa saya adalah satu-satunya mahkluk yang mempunyai hak prerogratif atas perasaan saya, dan saya tidak akan membiarkan siapapun membuat saya kecewa dengan mudah. Dan saya yakin setiap orang mempunyai caranya masing-masing terkait hal yang satu ini. Dan percaya atau tidak, cara yang saya pilih saat ini adalah dengan memaafkan. Cara yang dulu sangat sulit saya lakukan.
Ketika seseorang mengecewakan saya, maka hal yang pertama saya lakukan adalah berpikir hal-hal positif tentangnya. Mengarang-ngarang kemungkinan bahwa ia tidak sengaja melakukannya. Atau jika memang nyata-nyata dia melakukannya untuk menyakiti saya maka yang saya lakukan adalah melupakan. Melupakan semua hal tentang dia. Dan itu berarti saya membuatnya menjadi seseorang yang tidak bermakna apa-apa lagi dalam kehidupan saya. mungkin mengerikan, tapi ini lebih baik daripada membenci. Saya tidak akan membiarkan diri saya membenci siapapun. Tidak. Karena itu melelahkan. Dan saya tidak mau dilelahkan oleh orang yang tidak berarti apa-apa dalam hidup saya.
Maka...
Jika saat ini kamu sedang merasa kecewa atas sesuatu yang hilang, sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang tak tergapai atau bahkan sesuatu yang menimbulkan kebencian, maka saya sarankan untuk menerima semua itu sebagai pemberian Tuhan. Bersedihlah, akui kesedihan itu, menangislah bila memang perlu. Tidak ada yang harus diingkari. Menerima kekecewaan adalah satu dari sekian banyak proses menjadi dewasa, maka nikmatilah, pelajarilah. Setelah kamu paham, maka berdamailah dengan hatimu dan perasaan-perasaan kecewa yang ada. Kamu tidak perlu memaafkan siapapun jika memang belum mau. Tapi percayalah, seperti aku, kamu tidak akan sadar bahwa waktu dan lupa adalah dua hal yang akan menyembuhkan luka. Waktu dan lupa akan membuatmu menerima. Dan semuanya akan menjadi kembali baik-baik saja. Jadi tenanglah. Jangan membenci, karena itu melelahkan. :)
No comments:
Post a Comment