Tulisan ini sudah lama ingin saya publishkan di blog saya, kenapa, karena saya tidak ingin isi dari tulisan ini hilang dari kehidupan saya. Ini penting. Sangat berharga. Untuk saya pahami dan pelajari, serta untuk saya bagi.
Selamat menikmati...
Menemukan buletin MAHKAMAH (Buletin bulanan Fakultas Hukum UGM)edisi kedua di masa jabatan saya dan teman-teman angkatan saya. Saya tersenyum memandang buletin yang bercover wajah manusia ternakal (dalam arti sebenarnya) angkatan 2007 FH UGM. Saya membolak balik-balik dan menemukan banyak coretan kesalahan ketik atau penggunaan istilah dalam tata bahasa yang saya gunakan dalam tulisan. Kempampuan saya sebagai editor memang masih sangat harus diasah dan dikembangkan. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah tulisan dalam rubrik "POTRET", saya menmbaca lagi kalimat demi kalimatnya... dan saya tersenyum...
dalam hati saya berucap: Banyak orang harus membaca tulisan ini!
SEBUAH KEYAKINAN YANG MENGUATKAN
(Di saat manusia menjadi kuat karena sesuatu yang tidak ia miliki)
“Ahmat, S.H” inilah panggilan seorang muda Sumatra yang memiliki nama lengkap Ahmat Fauri, S.H. Ahmat terlahir sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara, enam kakaknya sudah terlebih dahulu meninggal dunia. Sosok kelahiran tahun 1983, Serdang, Bedagai Sumatra ini sedang dalam proses menamatkan studinya sebagai mahasiswa Magister Fakultas Hukum UGM.
Terlahir dengan kondisi tubuh di mana banyak orang menganggap “kurang beruntung”, Ahmat mencoba untuk menerima dengan bersyukur. “Dalam bahasa medis penyakit ini disebut dengan Tetra Amalia, didefinisikan sebagai kegagalan atau tidak terbentuknya anggota badan baik sebagian maupun keseluruhan” jelasnya.
Cerita dimulai ketika Ahmat berumur enam tahun. Ia didaftarkan kedua orangtuanya ke sebuah Sekolah Dasar di Sumatra Utara. Sayangnya pihak sekolah terlalu melihat Ahmat sebagai sosok yang “berbeda” dan membuat keputusan untuk menolak Ahmat sebagai murid di sekolah itu. Tak patah arang, pada tahun kedua, orangtuanya mendaftarkan kembali Ahmat di sekolah yang sama, namun kembali ditolak oleh pihak sekolah. Kegigihan orangtua Ahmat terus terjaga sampai pada tahun ketiga di mana akhirnya pihak sekolah menyetujui dan menerima Ahmat sebagai siswa dengan syarat. Syaratnya adalah apabila Ahmat tidak bisa mengikuti pelajaran pada caturwulan pertama maka ia tidak dapat melanjutkan sekolah.
Tak disangka, Ahmat menorehkan prestasi yang luar biasa. Pada caturwulan pertama Ahmat berhasil menjadi juara kelas, (syarat terpenuhi) karena prestasinya ini Ahmat diizinkan untuk terus bersekolah dan menamatkan pendidikan sekolah dasarnya di sekolah tersebut. Tidak hanya pada caturwulan pertama, selama ia mengenyam pendidikan di sekolah dasarnya, ia sukses membuktikan kepada pihak sekolah bahwa ia memang pantas diperhitungkan bahkan dijejerkan di antara anak-anak berprestasi. Dari prestasi sekolah Ahmat yang membanggakan ini, kedua orang tua Ahmat semakin yakin dan terus termotivasi untuk melanjutkan pendidikan anaknya ketingkat yang lebih tinggi sampai akhirnya pada jenjang perkuliahan.
Singkat cerita, Ahmat pun meraih gelar sarjananya dari Universitas Islam Negeri Sumatra Utara. Kesedihan merundungi saat ia harus menerima kepedihan atas kehilangan ayahnya menjelang detik-detik wisudanya sebagai seorang sarjana hukum.
Setelah kelulusan, Ahmat berniat untuk meneruskan cita-cita melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada. Masih dalam rasa kehilangan atas meninggalnya sang ayah, ia hijrah ke Kota Pelajar di Pulau Jawa. Di Yogyakarta ia menghimpun mimpinya dan bertekad untuk meraih pendidikan di sana dan melupakan semua keterbatasan fisiknya. Semua itu tidak pernah bisa menjadi alasan baginya untuk mundur dari segala impian.
Pada proses pendaftaran Magister FH UGM, Ahmat mengaku tidak mengalami kesulitan atau masalah yang berarti atas keterbatasan fisik yang ia miliki. Padahal pada waktu itu terdengar kabar bahwa UGM memberlakukan syarat kesehatan bagi mahasiswa baru. Dan akhirnya Ahmat pun diterima sebagai mahasiswa Magister di Fakultas Hukum UGM pada tahun 2007 jurusan Hukum Pidana.
Semua berjalan sesuai harapan dengan semua ketangguhan dan harapan yang ia punya. Sampai pada tahun 2008, lagi-lagi ia harus menguatkan hati atas kematian sang bunda. Saat itu juga ia mengambil cuti kuliah dan pulang ke kampung halaman. Kebimbangan dan depresi yang sangat menyerang batinnya. Ia sadar saat itu ia sebatang kara. Tidak ada saudara. Ayah dan ibu pun kini tiada. Beruntung ia memiliki teman yang tak pernah lelah menyemangati Ahmat untuk menyelesaikan studinya di Yogyakarta. Dan di tahun 2009 ia memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikanya di Universitas Gadjah Mada. Untuk menuntaskan mimpinya-- yang ia yakin juag mimpi kedua orang tuanya.
Ia melangkah dengan keyakinan dan keinginan yang keras. Kata-kata yang ia pegang untuk terus bertahan adalah:
Apapun masalah yang ada harus saya hadapi! Kata-kata ini yang mengantarkan dia sampai saat ini—saat-saat penantian jadwal pendadarannya. Di dalam perjalanan hidupnya, ia berharap kepada teman-teman difablenya untuk terus mengejar pendidikan tanpa menjadikan “kekurangan” fisik sebagai penghalang. Selagi akal masih mampu berjalan, maka lakukanlah.
Sejauh ini ia tidak mengalami kesulitan yang berarti di fakultas hukum ini. Kuliah di lantai tiga ataupun transportasi menggunakan bis umum ternyata bukan menjadi pemberat dan alasan bagi Ahmat untuk mengasihani kondisi fisiknya. Namun terlahir sebuah harapan agar kedepannya kampus menyediakan fasilitas yang memadai untuk mahasiswa berkebutuhan khusus seperti dirinya.
Pada akhirnya, dari sebuah potret kehidupan kita dapati sepenggal cerita terselip petuah yang bermakna. Kepergian ayah dan ibunya mengajarkan banyak pemahaman hidup yang menjadi pegangan hidup Ahmat. Dan semoga ketangguhan Ahmat menjadi pelajaran dan kekuatan bagi kita semua.
Saya masih ingat saat saya harus menulis ulang hasil wawancara teman saya Agi dan Bayu. Karena saya hanya mendapat bahan berupa hasil wawancara yang masih snagat "random" konfirmasi berulang-ulang saya lakukan. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk bertemu dengan pemilik cerita ini. Karena saya saat itu masihlah mahasiswa S1, sedang Ahmat adalah mahasiswa S2, jadi memang agak sulit bertemu dengan perbedaan jadwal kuliah yang berbeda.
Di suatu siang saat saya berkumpul dengan teman-teman MAHKAMAH,, saya terdiam ketika sosok yang saya cari selama ini melintas di depan saya. Harusnya, saya berlari dan melakukan langkah seribu untuk melakukan konfirmasi. Tapi kenyataannya, hingga saat ini saya tidak pernah melakukan itu. kenapa...?
Karena saat itu lewat di hadapan saya, kaki saya kaku terpaku. Hati saya menciut malu. Selama ini saya sering mengeluh tentang hal kecil tentang fisik saya, diri saya, hidup saya. Tapi saya yakin "mengeluh" bukan hobi Bang Ahmat (kalau saya boleh memanggilnya seperti itu). dengan kondisi fisik seperti itu (maaf), memang hanya manusia berjiwa kuat yang diberikan ujian seperti itu oleh Tuhan. Dan saya? hanya manusia lemah yang mengeluhkan (bahkan) anugrah yang saya miliki.
Maka... saya ingin bertanya kepada anda, wahai pembaca yang bijaksana,
Apakah anda sudah pernah menyatakan syukur atas Kedua tangan anda? Kedua kaki anda? Sudahkah?
Saya bersyukur Allah menciptakan manusia seperti bang Ahmat. Manusia yang penuh impian dan harapan baik, manusia yang mampu membuat saya tersentak untuk berskur dan belajar menghargai tentang kehidupan. Semoga anda merasakan hal yang sama.
inspiratif banget, tulisan yang bagus sedikit kutipan kata2 bijak: All our dreams can come true, if we have the courage to pursue them. ~ Walt Disney
ReplyDeletesiaaapp!! ka harsya:))
ReplyDelete