Monday, January 26, 2015
Semua harus dimulai dengan prasangka baik,
Saat kau mulai melangkah menuju suatu tempat yang belum pernah kau ketahui,
Saat kau mulai melakukan sesuatu yang belum pernah kau lakukan,
Saat kau mulai bertemu dengan hal-hal baru,
Maka semua harus dimulai dengan prasangka yang baik.
Hatimu harus diisi dengan prasangka yang baik,
Saat kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan,
Saat kau mulai lelah memperjuangkan satu hal yang terasa tidak pernah selesai,
Saat kau kehilangan hal-hal yang kau cintai,
Hatimu harus tetap diisi dengan prasangka yang baik.
Tetaplah berprasangka baik,
Saat ketulusan dibalas dengan pamrih,
Saat kejujuran dibalas dengan pengingkaran,
Saat cinta dibalas dengan kebencian,
Tetaplah berprasangka baik.
Teruslah berpikir dengan baik dan penuh kebaikan,
Karena kau memiliki hati yang tidak pernah ingkar kepada mu
Karena kau memiliki pemahaman yang tidak pernah mengelabui mu
Karena kau memiliki orang-orang yang selalu mengingatkanmu,
Maka... teruslah berpikir dengan baik dan penuh kebaikan.
Kau mungkin akan kecewa, bersedih atau mungkin terluka,
Tapi ingatlah bahwa Tuhan tidak akan pernah jahat kepada hambaNya yang baik,
Dia selalu menjadi yang paling baik untuk hidupmu.
Percayalah bahwa Ia yang memiliki obat atas segala luka
Ia yang memberikan kecukupan atas segala kebutuhan
Ia yang menjadi sumber ketenangan atas segala kecemasan.
Jadi...
Tetaplah berusaha menjadi wanita yang baik,
Karena kecantikan akan hilang ditelan tua
Karena kepintaran akan memudar oleh lupa
Tapi wanita baik akan selalu menjadi wanita yang baik.
Tuesday, January 6, 2015
Happiness from The Stranger
“each moment contain s a hundred messages from God”
-Rumi-
Terkadang kita lupa bahwa kebahagiaan sering kali lahir dari hal-hal kecil yang sederhana. Karena mungkin memang benar, bahwa kebahagiaan bukan suatu hal yang rumit. Saya kemudian menyadari, bahwa kita memang tidak bisa meletakan kebahagiaan kepada siapapun selain diri kita sendiri, tapi kita harus tetap percaya bahwa siapa saja bisa membawa kebahagiaan dalam hidup kita.
Seperti kata Rumi, bahwa setiap momen—even the simplest one—selalu terkandung pesan Tuhan.
1. Percakapan di pinggir jalan
Beberapa kali saya melihat bapak tua itu. ia membawa setumpuk keset di atas kepalanya, dan seikat kemoceng di tangan kirinya.
Tangan kanannya memegang tongkat. Bukan sebagai penopang badannya, tapi sebagai alat yang menuntun ia berjalan, menentukan kemana ia harus mengambil langkah. Iya. Bapak itu tidak bisa melihat. Dan betapa penasarannya saya dengan si bapak penjual keset dan kemoceng ini.
Beberapa kali saya melihat sosoknya melintas di sekitaran kampus UGM. Tapi saya tidak bisa menjangkaunya karena posisi saya sedang mengendarai kendaraan dari arah yang berlawanan. Sekali, dua kali, saya hanya bisa melihatnya lewat begitu saja. Tapi apakah kalian percaya dengan keberjodohan? Dengan takdir? Dengan pernyataan bahwa setiap detik tidak pernah lepas dari perhitungan Tuhan? Ya, saya mempercayainya.
Siang itu saya melihat sosok itu lagi, masih dengan tumpukan keset di kepala dan seikat kemoceng warna-warni di tangan kirinya. Kali ini kami berada di jalur yang arahnya sama. Dia ada sekitar sepuluh meter dari kendaraan saya. implusif. Saya pasang reting kiri dan menepikan kendaraan tanpa pikir panjang di ruas jalan yang tertera tanda P-SILANG (dilarang parkir). Biarlah dimarahin SKK (Sistem Keamanan Kampus) sekali-kali. Bapak ini terlalu membuat saya penasaran untuk dilewatkan hanya karena tanda dilarang parkir.
“Pak... sebentar...” kata saya mencoba menghentikan langkahnya. Bapak itu berhenti.
“Pak... saya mau beli kemocengnya, boleh?” ucap saya yang saat ini sudah berdiri di hadapan si bapak.
“Boleh, Neng... sebentar ya” bapak itu kemudian jongkok dan menurunkan tumpukan keset dari kepalanya di atas trotoar jalan. Lalu ia mulai membuka ikatan rafia yang menyatukan kemoceng-kemoceng itu.
Saat itu saya diam. Memperhatikan perjuangan si Bapak membuka pilinan tali raffia kemoceng-kemocengnya dengan kondisi matanya yang buta. Benar-benar diam. Kemudian saya sadar bahwa si Bapak kesulitan membuka pilinan tali yang mengikat kemoceng-kemocengnya.
“Pak, biar saya bantu...” saya berusaha sekuat tenaga agar suara saya terdengar tidak bergetar.
“Bapak rumahnya di mana?” tanya saya. mata sudah basah.
“Saya tinggal di daerah UNY, Neng!” jawab si bapak dengan nada penuh suka cita.
“Bapak jalan kaki dari UNY ke UGM?”
“Kadang jalan kaki, kadang naik bis, Neng... kalau cuacanya adem kaya sekarang, ya bapak jalan kaki.”
“Barang dagangannya dapet dari mana, Pak?”
“Ini saya yang buat, Neng, kualitas terjamin pokoknya! Hehehe, mau beli kemocengnya berapa buah, Neng?”
“Terus anak bapak di mana? Kok enggak nganterin?” tanya saya tanpa menghiraukan pertanyaan bapak tadi.
“Anak saya juga sedang jualan, Neng. Ini kita bagi-bagi tugas.”
“Bapak enggak takut jalan sendirian begini?”
“Ngapain harus takut, Neng? Kan saya lagi cari rejeki yang halal, saya enggak minta-minta, semoga jatuhnya ibadah. Jadi ngapain takut, Neng... Allah yang lindungin saya. cukup.”
Saya meletakan selembar uang di atas tangannya,
“Ini berapa Neng? Saya masih bisa sedikit-sedikit lihat tapi agak gelap” kata si bapak membolak-balik lembar uang yang saya kasih. “Bapak harus ngembaliin berapa ke eneng?”
Kemudian saya pikir penting untuk memberitahu nominal uang yang saya berikan kepada si Bapak agar ia tidak salah ambil saat membayar ongkos bis. Bisa jadi kalau kenek bis nakal, uang ini tidak dikembalikan.
“Pak... ini uang se***kian buat kemoceng dan ongkos bapak pulang, ya... ditaruh di kantong atau tempat yang aman. Jangan sampai salah ambil dan ketuker buat bayar bis atau ngasih kembalian orang yang beli dagangan, Bapak”
Kemudian bapak itu mengucapkan terimakasih dan membingkis doa untuk saya. saya membantu memilin kembali tali rafia dan menyatukan kemoceng dagangan si bapak.
Kalian tahu, sesungguhnya sayalah yang harus berterimakasih kepada si Bapak. Karena bisa mendengar kata “cukup” dari seorang buta yang (bagi saya) hidup serba kekurangan itu adalah pelajaran yang tidak ternilai harganya.
Terimakasih Tuhan. Bagaimana hanya dalam waktu beberapa menit saya bisa melihat ada keyakinan dan keberanian seorang tua renta yang buta hanya karena ia percaya bahwa ia sedang beribadah untuk Mu. Bagaimana lewat sebuah kemoceng saya bisa memahami bahwa iman tetaplah iman—tidak bisa dinilai dari strata ekonomi ataupun kemampuan fisik.
Saya jadi berpikir bahwa mungkin memang benar bahwa kebercukupan terkadang adalah bentuk ujian yang tidak kita sadari membuat kita sulit memiliki kepekaan dari rasa cukup dan syukur. Maka mungkin, atas semua kecukupan yang Tuhan titipkan ini, harusnya kita lebih sering menyapa mereka yang sering diremehkan namun pada kenyataannya mereka lebih paham bagaimana caranya bersyukur.
2. Halte Trans Jogja
Kadang, saya merasa ada suatu hal yang menyuruh saya untuk melewati atau memilih jalan tertentu. Entah kenapa, hanya tentang saya-ingin-melewati-jalan-yang-ini-saja secara tiba-tiba. Begitupun saat itu, saat saya bertemu dengan seorang ibu umur paruh baya yang lahi-lagi juga buta di parkir masjid kampus UGM.
Saya baru keluar dari ruang ATM Bank Muamalat masjid kampus UGM. Entah kenapa rencana ambil uang yang tadinya setelah makan siang, saya putuskan untuk saya lakukan sekarang. Ibu itu lewat di depan saya dengan tongkat penuntunnya. Entah kenapa saya berjalan di belakangnya siap-siaga untuk menjaga kalau-kalau ada kendaraan ngebut yang bisa membahayakan si ibu.
Saat melewati pagar, menuju pertigaan jalan, ibu itu terlihat kebingungan. Sampai akhirnya ia memutuskan menyebrang dan ... okey, saya enggak bisa untuk hanya diam saja di belakang sambil nungguin ibu itu bisa selamat menyebrang sendirian. Mengingat tidak ada orang lain lagi di sana. Saya menghampirinya.
“Ibu mau menyebrang? Mari saya bantu”
Selepas menyebrang. Saya minta pamit untuk menyebrang kembali karena kendaraan saya terpakir di sisi jalan tadi.
“Nak... halte trans rumah sakit di mana ya?” tanya si Ibu?
“Halte trans rumah sakit? Yang mana ya maksud ibu?” untuk kali ini saya akui saya agak lemot dan telat paham. Mengingat konstruksi berpikir saya terkait lokasi dan tempat memang (sangat) bermasalah.
“Iya, halte trans yang dekat rumah sakit. Kata teman saya, kalau dari masjid UGM halte trans terdekat itu yang dekat rumah sakit.”
Dan saya masih proses berpikir.
“Panti Rapih, Nak”
“Astagaaaa! Maksud ibu, ibu mau ke halte trans jogja yang di depan RS Panti Rapih? Itu di sebelah sana bu... (sambil menunjuk ke arah depan, [saya lupa ibunya tidak bisa melihat]). Maksud saya, kita balik nyebrang lagi aja Bu,, karena haltenya lebih dekat lewat jalan potong belakang rumah dosen itu...”
Ibunya hanya diam
Duh, Nisaaaaa!!! Sama orang yang bisa lihat aja belum tentu paham sama petunjuk yang lo kasih!!, saya membatin. Tahu diri. Hm...
Akhirnya kami menyebrang ke tempat semula.
“Bu... ini ibu tinggal lurus saja ya... nah nanti sampe ketemu pertigaan jalan, ibu belok kanan.” Jelas saya.
“Oiya, Nak... terimakasih.”
Akhirnya si Ibu pergi berjalan ke arah yang tadi saya tunjukkan. Tapi kemudian...
“Bu....!” saya berlari kecil menyusul ibu tadi. Ibu itu berhenti.
“Bu... saya lupa, jadi di ujung jalan itu bakal ada semacam portal, nah ibu hati-hati ya melangkahnya, karena di bawahnya juga kaya ada rantai kecil gitu... jadi ibu agak tinggi aja ngelangkahnyaa...” DUH NISAAAA LO NGOMONG APAAN SIIIIH!!
Si ibu diam.
Dan okay. Saya tidak tega. Akhirnya saya memutuskan untuk...
“Bu... kalau ibu tidak keberatan, biar saya antar saja ya naik kendaraan saya ke halte trans nya, boleh ya?”
Ibu tadi masih diam. (takut kayaknya)
“Saya khawatir ibu kesulitan pas nanti ngelewatin portal. Kebetulan saya juga mau lewat ke arah sana kok. Mau ya?”
“Apa nanti tidak merepotkan?”
“Enggak apa-apa bu... mari saya antar ke kendaraan saya”
Kalian tahu, saat saya membawa ibu tadi menuju kendaraan saya, suasana tidak sesepi tadi. Ada beberapa satpam dan SKK yang jaga di pinggir jalan. Ah sudahlah, mungkin memang jalan Tuhan ketemu sama ibu ini.
Dan akhirnya sampai di halte yang dituju. Setelah saya parkir kendaraan dan membantu ibu tadi keluar dari kendaraan saya dihampiri oleh petugas trans Jogja yang juga ikut membantu menuntun si Ibu.
“Mas,, ibu ini mau ke daerah Gejayan, tolong dibantu ya” ucap saya.
“Iya, Mbak... ini......” nada petugas halte yang intinya ini-siapa-nya-mbak?
“Ibu ini tadi bingung di masjid kampus. Jadi saya bantu antarkan ke sini. Titip ya mas”, jawab saya.
Kemudian masnya tersenyum, “Siap, Mbak! Terimakasih ya!” jawab masnya semangat, “Ibu nanti tenang saja ya,, saya nanti yang ngarahin ibu biar bisa sampai ke gejayan!” lanjutnya lagi, kali ini kepada si ibu.
“inggih...” jawab si ibu
“Hahaha... sama-sama makasih mas... saya pamit” kata saya.
Kalian tahu,, perjalan dari masjid kampus UGM ke halte Trans Jogja menghabiskan waktu kurang dari lima menit. Tidak ada percakapan serius di dalam mobil. Tapi kalian tahu apa yang saya rasakan saat saya meninggalkan ibu tadi di halte trans jogja dan menitipkannya dengan petugas yang tampaknya cukup baik hati dan bisa dipercaya?
Saya merasa hati saya dipenuhi dengan kebahagiaan yang entah apa. Saya tersenyum sepanjang jalan menuju rumah. Mungkin ini bukti bahwa Tuhan benar-benar akan membantu hambaNya yang mau membantu hambaNya yang lain. Hanya karena saya membantu ibu tadi ke halte Trans Jogja yang jarak tempuhnya hanya lima menit, diganti Allah dengan mengahapus rasa sedih dan menggantinya dengan rasa bahagia yang tiba-tiba saja saya rasakan di pagi itu. Janji Allah enggak pernah bohong ya!
Teman, inilah yang saya sebut bahwa Tuhan selalu menyelipkan pelajaran, kebahagian, di tempat dan dari orang yang tidak pernah kita sangka. Inilah yang saya maksud bahwa jika kita bisa lebih peka, kita akan menemukan banyak kebahagiaan di dalam hidup kita. Kebahagiaan dari ucapan atau sekedar senyuman terimakasih orang lain yang belum pernah kita kenal sebelumnya.
Jadi mulai sekarang saya belajar untuk tidak meremehkan siapapun, dimanapun dan kapanpun, karena saya tidak pernah tahu, seberapa besar kebahagiaan yang Tuhan titipkan kepada mereka untuk diri saya. :)
Thursday, January 1, 2015
CEMAS YANG WAJAR
Krisna pernah bertanya kepada saya, tentang seberapa besar saya mempercayai keberadaan Tuhan. Saat itu saya menjawab bahwa saya tidak memiliki satuan yang tepat untuk menyatakan ukuran seberapa besar saya mempercayai Tuhan.
“Gunakan satuan ‘kecemasan’ dan gunakan dengan perbandingan terbalik”, kata Krisna.
Saya mengernyitkan dahi.
“Seberapa besar kecemasan yang ada di dalam hati dan pikiranmu. Jika kamu merasa memiliki banyak kecemasan tentang apa saja dalam hati dan pikiranmu, itu artinya kamu harus lebih mengenal siapa Tuhanmu dan belajarlah untuk lebih memercayainya.” Jelas Krisna menjawab kebingungan yang tampak di wajah saya.
“Bukankah merasa cemas adalah manusiawi?”, sanggah saya,”lalu atas dasar apa kamu mengatakan bahwa kecemasan dengan pengoprasian berbanding terbalik bisa mengukur kepercayaan kita kepada Tuhan?”
Krisna diam. Menarik nafas panjang dan membuang pandangannya ke luar.
“Kamu benar, merasa cemas adalah manusiawi. Cemas yang manusiawi timbul karena kita mengetahui bahwa sesungguhnya kita tidak mengetahui apa-apa. Dan ketidaktahuan itu seharusnya melahirkan kecemasan yang sewajarnya saja. tidak berlebih. Tidak kemudian menjadi ketakutan yang membabi buta.Cemas yang manusiawi adalah ketika kita tahu bahwa semua hal yang kita anggap kebaikan tidak selalu berarti kebaikan untuk kita. Segala hal yang kita cintai, kita sayangi, sesuatu yang ingin kita miliki belum tentu adalah sesuatu yang baik. Tapi seharusnya kecemasan berhenti di situ, Nisa.
Ketika kita memiliki rasa cemas karena ketidaktahuan, maka hal yang selanjutnya kita lakukan adalah mencari tahu.”
“Mencari tahu?” tanya saya sambil menangkap pandangannya. Krisna menatap saya sebentar, kemudian melempar padangannya lagi ke luar sembari berkata,
“Ketika kamu menginginkan sesuatu maka cara mencari tahu yang terbaik adalah dengan mengusahakannya sekuat tenaga, dengan cara yang benar tentunya. Tidak dengan curang, tidak dengan menipu, tidak dengan menyakiti orang lain. Perjuangkan apa yang kau inginkan dengan cara yang benar. Karena semua proses yang benar akan menghasilkan hasil yang benar juga, walau mungkin hasil yang kamu dapat tidak sesuai yang kamu harapkan. Tapi itulah kebenarannya, bahwa hasil apapun itu akan memberitahukan kepadamu apakah sesuatu yang kamu inginkan itu terbaik untuk kamu”
Krisna masih melempar pandangannya keluar, kemudian berkata,
“Jika kamu telah melakukan semuanya dengan benar, dan hasil akhirnya masih membuat kamu cemas, maka artinya kamu belum cukup memercayai keberadaan Tuhan. Karena itu artinya kamu menyangsikan kebenaran Tuhan atas semua yang sudah Dia rancang untuk hidup kita”
Kami sama-sama menarik nafas panjang. Saya mulai bisa memahami arah pikirannya. Saya menyepakati apa yang sudah ia jelaskan.
“Nisa, kesempatan terbaik kita untuk belajar adalah saat Tuhan mengizinkan kita memiliki sesuatu sekaligus merasakan kehilangan atas sesuatu tersebut.”
“Kenapa begitu?” tanya saya.
“Karena kita akan paham pada akhirnya bahwa segala sesuatu tidak bersifat selamanya. Semua serba semnetara. Kita kemudian akan paham dan tahu bagaimana menghargai apa yang sudah kita punya dan pada akhirnya mengikhlaskan apa-apa saja yang harus hilang dan pergi tanpa rasa sedih dan menyesal. Karena kita tahu kita telah menghargai hal tersebut sebelumnya. Karena kita tahu bahwa siklus itu akan selalu ada. Saat kau mendapatkan suatu hal maka kau harus siap untuk kehilangan.”
“Dan”, Krisna melanjutkan,”dengan konsep ini kita akan sama-sama paham bahwa kehilangan adalah kegetiran yang harus bisa kita terima. Kau tak perlu takut atau cemas kehilangan sesuatu ataupun seseorang, karena pada akhirnya mereka akan hilang. Cemaslah jika kau merasa tidak bisa menghargainya dan menjaganya dengan baik, karena mungkin kau akan menyesalinya kelak.”
“Aku rasa aku sudah terbiasa dengan kehilangan, Krisna” jawabku.
“Sesungguhnya tidak ada manusia yang akan terbiasa dengan kehilangan, Nisa. Sesering apapun kamu kehilangan barang-barang yang kamu sayang, orang-orang yang kamu cintai, jika setiap dari mereka hilang satu per satu, maka kau pun akan bersedih untuk tiap-tiap mereka yang pergi, untuk setiap benda yang hilang.
Tapi sekali lagi aku ingatkan, atas kesedihan-kesedihan yang mungkin datang kelak nanti janganlah kamu cemaskan sekarang. Karena kamu harus percaya, Tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkan luka dari sebuah kehilangan.”
“Kamu benar. Aku masih sering bersedih bahkan menangis jika mengingat Bumbum. Masih terasa getir jika mengingat Alm. Bik Tinah yang saban pagi menyapu teras rumah dan memanggil Bumbum untuk pulang jika sudah sore. Dan aku masih sedikit marah dengan angka 0.2 yang gagal menggenapi hasil kelulusan. Kadang aku berpikir, mengapa Tuhan selalu membuatku sangat bekerjakeras untuk mendapatkan sesuatu, bahkan aku tidak mendapatkan apa yang aku mau walau sudah berusaha lebih keras dari yang lain?!”
“Karena Tuhan tahu, ketika kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan setelah berupaya sekuat tenaga, kamu akan lebih menghargainya. Begitupun ketika kamu tidak mendapatkan apa yang kamu upayakan sekuat tenaga itu, kamu tidak akan menyesalinya karena kamu paham, upaya yang kamu lakukan adalah upaya kamu mencari tahu apakah yang sedang kamu upayakan adalah baik untuk kamu miliki atau tidak. Jika pada akhirnya kamu tidak mendapatkannya, artinya itu bukan yang terbaik untuk kamu. Dan tidak semua manusia diberikan mengecap proses seperti itu, Nisa. Bersyukurlah”
Saya tersenyum. Beruntung punya sosok Krisna dalam hidup saya. Krisna selalu menjadi tempat semua pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya berlabuh. Dia bisa menjadikan ke-abu-abua-an yang saya bawa menjadi hitam atau putih. Keraguan hilang seketika.
Krisna yang paling tahu bahwa di dalam kepala saya tidak akan pernah habis pertanyaan-pertanyaan. Dan dia yang paling tahu bagaimana cara menjelaskannya dengan sederhana.
Ya. Benar kata Krisna bahwa mungkin kita harus belajar mengurangi kecemasan kita. Ketakutan-ketakutan akan masa depan atau hal-hal abstrak yang tidak bisa selesai hanya dengan menebak-nebak. Yang harus kita lakukan adalah mencari tahu lewat usaha, dan percaya bahwa Tuhan selalu memberikan hasil yang benar atas sebuah proses yang benar pula. Tanpa menipu dan menyakiti siapapun.
Mungkin Tuhan merahasiakan masa depan agar kita bisa menghargai semua proses yang harus dilalui. Menghargai semua orang yang kita temui. Menghargai semua hal yang telah kita miliki dan mencukupkan hati kita dengan tidak terus-terusan mengharapkan hal yang belum kita punya atau kita dapatkan.
Hingga detik inipun saya masih belajar untuk mencukupkan hati. Belajar menerima semua hal yang mungkin sebenarnya masih sulit bahkan sekedar untuk saya terima. Tapi mau tidak mau kita semua harus belajar seperti itu. dan mungkin akan harus terus belajar.
Subscribe to:
Posts (Atom)