Monday, August 11, 2014
Tulisan dalam rangka nungguin jadwal sidang tesis...
Apakah kalian sedang tidak baik-baik saja?
Jika “ya”, maka mungkin perasaan yang kita miliki sama saat saya menulis tulisan ini. Saya merasa sedang tidak baik-baik saja. Menunggu Mas Memet (bagian administrasi perkuliahan) yang tidak kunjung mengabarkan jadwal ujian tesis saya membuat saya sedikit tidak baik-baik saja. hih.
Tapi kemarin saya diberitahu seseorang, bahwa merasa tidak baik-baik saja adalah suatu hal yang baik-baik saja (sebenarnya).
“Kamu tahu, Nisa? Kita tidak akan pernah mendapatkan pelajaran apa-apa dari kondisi yang selalu baik-baik saja. Saat kita kecewa, saat kita bersedih, saat kita ketakutan, saat kita sedang tidak baik-baik saja, maka kita sebagai manusia yang diberi akal pikiran ini akan mencari tahu bagaimana kita bisa keluar dari ketidak-baik-baik-sajaan ini. Dan dari sana tanpa kita sadari bahwa kita telah mendapatkan pemahaman yang baru tentang kehidupan”
Teman, kalian setuju dengan perkataan di atas?
Apa yang kalian lakukan saat kalian sedang tidak baik-baik saja?
Kalau saya...
Saya akan membaca lebih banyak tulisan-tulisan dan lebih mendengar banyak orang. Bagi saya, membaca dan mendengarkan salah satu proses penyembuhan. Alih-alih disuruh curhat panjang lebar, saya lebih memilih untuk mendengarkan curhat seseorang. Karena saya setuju dengan pernyataan saat berbicara, kita hanya akan mengulang informasi yang ada di dalam pikiran kita dalam bentuk ucapan. Sedangkan saat mendengarkan, kita akan mendapatkan informasi baru yang tidak ada sebelumnya dalam pikiran kita. Oleh karenanya saya suka mendengarkan orang bercerita.
Kembali dengan perasaan ‘tidak baik-baik saja’. Kali ini, yang menjadi alasan bagi saya adalah kebingungan karena terlalu banyak dugaan-dugaan yang saya ciptakan dalam pikiran saya terhadap hidup yang akan saya miliki KELAK. Terlalu banyak kekhawatiran untuk hidup masa depan saya.
Pertanyaan terbesar saya saat ini adalah: sebenarnya, saya akan dijadikan apa oleh Tuhan kelak? Sebenarnya, tugas apa yang saya emban dalam hidup saya? entahlah, apakah ini karena saya terlalu sering nonton power rangers atau sailormoon ketika masih kecil atau tidak, akan tetapi, entah sejak kapan saya memercayai bahwa setiap orang di bumi ini mengemban tugasnya masing-masing. Paling tidak, saya selalu percaya bahwa setiap orang yang hadir dalam hidup kita, baik dalam waktu singkat maupun cukup lama adalah mereka yang membawa pesannya masing-masing untuk kita.
Tidak ada kebetulan dalam dunia ini. Bagi saya, kebetulan hanyalah kamuflase dari hal yang telah direncanakan oleh Tuhan. Keterbatasan pengetahuan kitalah yang membuat banyak hal seolah-olah terjadi karena kebetulan. Jika kalian percaya Tuhan layaknya saya, kalian pasti pernah mendengar dan paling tidak sedikit percaya bahwasanya semenjak kita dalam rahim pun, ada takdir-takdir yang telah dituliskan Tuhan untuk kita. Tentang kelahiran, jodoh dan kematian, percaya?
Lalu saya pernah menjadi muak dengan segala pilihan yang ada di dalam hidup. haruskah saya memilih dan berusaha mempertahankan pilihan saya ketika ada kemungkinan: bisa jadi pilihan saya bukanlah bagian dari takdir yang dituliskan Tuhan untuk hidup saya? maka haruskah saya berusaha sekuat tenaga atas segala kemungkinan dan ketidakjelasan yang dibawa oleh pilihan-pilihan yang ada, oh percayalah saya pernah sangat muak dengan pemahaman ini.
Untuk apa kita berusaha kalau takdir sudah menuliskannya?
Untuk apa kita berdoa kalau Tuhan sudah memutuskan sebelumnya?
Untuk apa?
Ini adalah pertanyaan yang ada di kepala saya saat saya berumur enambelas tahun. Saat saya sudah sangat muak mengerjakan try out ujian masuk universitas. Bingung saat teman-teman sangat sibuk untuk menentukan universitas dan jurusan apa yang akan diambil setelah lulus SMA. Sedangkan saya? sementara teman-teman wara-wiri cari info formulir ujian masuk masing-masing universitas, saya nangis di kolong meja karena saya bingung, kenapa saya tidak punya tujuan sejelas yang dimiliki mereka :’(
Saya terlalu yakin bahwa pasti akan ada jalannya yang diberikan Tuhan, kemana saya akan melanjutkan kuliah. Singkat cerita saya mendapatkan surat yang menyatakan saya dapat masuk tanpa tes di fakultas hukum salah satu universitas swasta favorit di Yogyakarta. Surat ini membuat saya tenang dan senang pastinya. Saya merasa bahwa memang takdir saya untuk berkuliah di sana. Saya bersyuku tidak disuguhi pilihan (lagi). Ini penawaran yang Tuhan turunkan kepada saya. Akhirnya saya terlepas dari kegilaan dalam memilih universitas dan fakultas. Saat itu, dengan surat itu, saya tinggal menjalankan. Saya akui, terkadang saya orangnya terlalu (kalau kata orang Jawa) nrimo.
Tapi ternyata cerita tidak berakhir di sini...
Pembukaan pendaftaran ujian tulis UGM mulai tersebar. Hasil dari permintaan orang tua dan dorongan teman-teman, saya mengikuti (juga) ujian tulis masuk UGM. Tidak ada harapan yang terlalu besar saat itu. dalam pikiran dan hati saya: lulus atau enggak toh gue udah keterima di universitas yang enggak jelek-jelek amat.
Saya sudah membulatkan hati, untuk memilih jurusan komunikasi atau fisipol UGM di pilihan pertama. Sampai akhirnya beberapa menit sebelum ujian dimulai, papah menelpon saya. kata papah, “jangan lupa berdoa, minta yang terbaik sama Allah apapun hasilnya”. Begitu saja.
Sampai akhirnya selepas kami diberikan waktu untuk berdoa, kertas jawaban dibagikan dan saya harus mengisi pilihan fakultas, tiba-tiba wajah papah terlintas di pikiran saya dan detik itu juga saya menuliskan fakultas hukum di pilihan pertama (JFYI, Papah saya praktisi hukum), kemudian fisipol. Semuanya berjalan begitu saja. Saya tertidur di kelas saat ujian karena saya sudah selesai mengerjakan soal (yang berbau) sosial, sedangkan bagian matematika hanya saya isi dua soal. Terkait pilihan pertama, kedu, ketiga atas fakultas yang ingin dipilih, sesungguhnya saya tidak tahu sama sekali kalau itu pada akhirnya sangat berpengaruh saya akan diterima di fakultas mana.
Sekali lagi, semua berjalan begitu saja.
Dan saya LULUS. Tujuh tahun yang lalu saya resmi menjadi mahasiswa fakultas hukum UGM. Belakangan saya diberi tahu bahwa FH UGM hanya menerima peserta yang memenuhi grade nilai dan MENGISI FH UGM DI PILIHAN PERTAMA, jadi.. walaupun ada nilai yang lebih tinggi dari nilai saya tapi menulis FH UGM pada pilihan kedua maka tetap ia tidak diterima.
Dan setelah tujuh tahun berlalu, hal ini membuat saya berpikir...
Seandainya saat itu saya begitu yakin dengan surat “undangan” universitas swasta dan menolak untuk mengikuti ujian tulis UGM, mungkin...
Seandainya saat itu Allah tidak menghadirkan bayangan Papah saat menulis pilihan fakultas, mungkin...
Mungkin saya tidak mendapatkan kesempatan untuk berkuliah di UGM, dengan SPP yang lebih murah dibanding universitas swasta itu, dengan lingkungan yang lebih bersahaja, dengan kebanggan yang lebih besar tentunya.
Apakah itu adalah salah satu cara bagaimana tangan Tuhan bekerja? Dengan cara yang serba “begitu saja”?
Sekarang... kebingungan itu terulang... di saat satu persatu teman-teman saya sudah menemukan karirnya, dan beberapa lainnya sibuk mencari informasi lowongan kerjaan. Lagi-lagi saya hanya bisa diam dalam bimbang. Kenapa setelah sekian lama proses pendewasaan pikiran dan penuaan badan ini tetap saja tidak memberikan saya tujuan yang jelas ingin saya capai dalam hidup? Bisakah... bisakah saya berharap hal seperti tujuh tahun yang lalu itu terjadi lagi? Berharap tangan-tangan Tuhan mengarahkan (lagi) dengan begitu saja atas segala niat dan usaha yang saya lakukan?
Bisakah kali ini tangan Tuhan kembali mengarahkan? Mengarahkan bukan sekedar kepada yang saya inginkan, tapi yang saya butuhkan dan yang terbaik untuk kehidupan saya di saat ini dan di masa yang akan datang. Tuhan... saya ingin Kau jadikan apa sebenarnya?
Kau Maha Tahu apa yang saya inginkan, dan pun tahu apa yang saya butuhkan.
Saya tahu apa yang saya inginkan, tapi sayangnya saya tak tahu atau setidaknya tidak begitu yakin tentang apa-apa saja yang sesungguhnya saya butuhkan. Bisa jadi, apa yang saya nilai baik belum tentu baik untuk saya, pun sebaliknya.
Jadi... bisakah Kau bantu saya mengarahkan apa yang harus saya lakukan dan perjuangkan?
Hal yang baik. Hal yang baik pilihan Mu.
Karena saya mengharapkan bahwa keberadaan saya di dunia ini bisa menjadi sepotong kebaikan yang pernah ada di dunia ini. Izinkan hidup saya bisa menjadi alasan kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang di dunia ini, terutama kedua orang tua saya.
Kebingungan tujuh tahun yang lalu kembali terulang. Jujur, kekhawatiran dan dugaan-dugaan ini menggelisahkan pikiran saya. tapi... setidaknya, saya yang saat ini adalah saya yang tujuh tahun lebih dewasa dari Annisa yang dulu. Annisa yang setidaknya mulai memegang jawaban atas pertanyaan...
Untuk apa kita berusaha kalau takdir sudah menuliskannya?
(mungkin)Untuk menempa diri kita sendiri agar lebih menghargai saat kita telah memilikinya. Kita menghargai sesuatu itu karena kita tahu itu hasil perjuangan. Rasa menghargai itu akan berubah menjadi syukur, dan rasa syukur akan berubah menjadi rasa cukup. Bukankah bagian terpenting dalam kebahagiaan adalah hati yang terus merasa cukup?
Lalu...
Untuk apa kita berdoa kalau Tuhan sudah memutuskan sebelumnya?
(mungkin)Untuk terus meyakinkan dan mengingatkan hati kita, bahwa kehidupan kita telah diatur oleh sesuatu yang memiliki kemampuan Maha atas segala kemampuan yang ada di alam semesta. Maka berdoa akan selalu membuat perasaan kita menjadi tenang terjaga. Dan bukankah bagian terpenting lainnya dari kebahagiaan adalah hati yang senantiasa merasa tenang?
B.A.H.A.G.I.A
Bahagia itu bukan untuk ditunggu. Ia tidak akan pernah datang untuk bertamu. Jadi jangan pernah menunggu kebahagiaan. Bahagia itu diciptakan. Jika kita tidak bisa menciptakan kebahagiaan untuk hati kita sendiri, mungkin kita bisa memulainya dengan menciptakan kebahagiaan untuk orang lain.
Dan ketika itu berhasil...
Tanpa kita sadari, kita tidak sedang membahagiakan orang lain, tapi sedang membahagiakan diri kita sendiri.
Bahagia itu bukan tentang mendapatkan apa yang kita inginkan. Juga bukan tentang tidak pernah merasa sedih. Sedih adalah waktu jeda bagi kita untuk bersyukur bahwa artinya kita pernah bahagia.
(bagi saya) Bahagia itu tentang merasa cukup. Seseorang pernah berkata kepada saya,”jika sedikit sudah cukup, maka untuk apa lebih banyak?”. Saya suka dengan kalimat itu. Sederhana. Tapi kita sering kepayahan memahaminya.
Jika sedikit sudah cukup, maka untuk apa lebih banyak? Karena lebih banyak sesungguhnya tidak pernah menjamin kita merasa cukup.
Tahukah kalian bahwa mencukupkan hati tidak selalu mudah. Banyak teman mengatakan bahwa membandingkan kehidupan kita dengan orang lain adalah bentuk kejahatan untuk diri kita sendiri. Tapi... bagi saya, adakalanya membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain adalah cara kita untuk menyadari kenikmatan apa yang telah kita miliki yang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Sesekali melihat ke atas untuk memotivasi diri.
Sesekali melihat ke bawah untuk menyukuri.
Sesekali berpikir ...
Bahwa tidak semua orang bisa merasakan apa yang kita rasakan,
Bahwa tidak semua orang (bahkan) berani bermimpi setinggi apa yang kita mimpikan,
Bahwa tidak semua orang bisa merasakan cukup seperti Tuhan mencukupi hidup kita.
Dan percayalah, kita adalah manusia yang cukup beruntung terlahir sebagai diri kita sekarang.
Saat manusia hidup tanpa diberikan pilihan, banyak dari kita kemudian menyalahkan Tuhan. Namun pada kenyataannya, kadang hidup tanpa pilihan menjadi harapan beberapa orang, karena kemudian ia tidak perlu kebingungan untuk memilih.
Beberapa orang kebingungan untuk menjelaskan apa yang akan dituju dalam hidup ini. Kesuksesan? Kesejahteraan? Atau kebahagiaan? Lalu... apa itu sukses, apa itu sejahtera, apa itu bahagia saat banyak orang menerjemahkannya dengan konsep yang berbeda-beda?
(salah satu cuplikan dialog dalam film Indonesia yang maaf saya lupa judulnya)
“Tidak perlu kau kaya harta, Nak, karena semakin kita menumpuk harta maka akan semakin kepayahan kita menjaganya. Sedang jika kita kaya ilmu maka semakin banyak ilmu yang kita punya maka ilmu itu yang akan menjaga kita”.
Maka.. apa kebahagiaan itu sebenarnya? Punya banyak uang? Punya keluarga yang bahagia? Dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai kita? Terkenal? Berkuasa? Atau... selalu merasa cukup dengan apapun yang ada dalam hidup kita?
Saya beri tahu...
Merasa cukup itu hal yang paling sederhana untuk dimengerti,,, tapi tidak terlalu mudah untuk dirasakan :)
Mengingatkan lagi... mungkin benar, kebahagiaan bukan sekedar dinanti... tapi juga diciptakan. (Ah... saya juga maih belajar tentang ini... )
Subscribe to:
Posts (Atom)