Saturday, August 31, 2013
Perbincangan Sore
"Cantik itu apa?,
seperti apa?,
dan bagaimana?"
Tanyanya kepada saya. “menurut kamu sendiri? Cantik itu apa, seperti apa dan bagaimana?” saya balik bertanya.
“Yang jelas bukan seperti kamu!”
“FINE! Iya aku enggak cantik, pendek, gendut, bawel”
“Kamu salah! Kamu itu enggak cantik bukan karena kamu pendek, gendut dan bawel! Sejak kapan kamu menganut bahwa semua bentukan fisik dan artifisial lainnya seperti itu mampu mendefinisikan kata cantik? Berarti laki-laki yang menikahi wanita pendek, gendut dan bawel artinya mereka menikahi wanita yang tidak cantik?”. Nada suaranya mulai meninggi.
Dia benar. Saya terdiam.
“Kenapa aku bilang sekarang kamu enggak cantik itu karena dari tadi kamu sibuk ngomel soal jerawat kamu, kulit kamu, berart badan kamu. Kalau diri kamu saja sudah tidak suka dengan diri kamu sendiri, lantas kamu mengharapkan orang lain bisa suka dengan pribadi yang tidak suka dengan dirinya sendiri?”
“Ampun...” suara saya pelan.
“Coba, kamu sebutkan semua wanita yang selalu kamu kagumi dan kamu bilang cantik ke aku? Dan sebutkan kenapa kamu merasa mereka cantik?” ujarnya lagi kepadaku.
“Audi, karena Audi orangnya baik, perhatian dan pintar. Melihat Audi itu selalu bikin aku iri tanpa membenci” jawab saya dengan suara pelan.
“Ada banyak nama yang sering kamu ceritakan ke aku tentang wanita cantik. Sebutkan semuanya dan kenapa kamu mengatakan mereka cantik” ulangnya lagi.
“Eka, karena Eka itu orangnya periang. Selalu bikin ketawa. Eka juga perhatian banget sama sahabat-sahabatnya termasuk aku. Kak Dila, aku pikir semua orang sepakat kalau dia memang cantik. Pintar, baik, solehah, dan menyenangkan. Ka Gitra, kak Gitra juga baik, menyenangkan dan pintar, dia orang pertama yang menurutku cantik saat masuk kuliah. Bu Ririt juga cantik! Keren banget malah. Pinter bangeeet dan ramaaaaah banget jugaaa”
“Ibu kamu?” tanyanya memotong.
“Kalau itu jangan ditanya!! Ibu wanita paling caaaaaaannnnntttiiiiik sejagat rayaa!! Karena ibu itu sosok yang hebat, kuat, sabar, penyayang dan orang yang terberuntung di dunia adalah Papah karena punya istri seperti Ibu! Hahahahaa” kali ini nada bicara saya sudah kembali riang dan meletup-letup.
“Sekarang, kamu paham apa itu cantik?”
Saya hanya diam.
“Cantik yang sesungguhnya itu bukan tentang mereka yang memiliki tubuh langsing, tinggi semampai, suara indah, rambut terurai, fashionable atau sekedar dia yang tidak jerawatan, Nisa. Cantik itu seperti yang kamu sebutkan tadi. Seseorang yang memberikan inspirasi buat orang lain untuk menjadi lebih baik. Seseorang yang hidup dengan memberikan contoh yang baik untuk sekitarnya. Kecantikan itu sudah seharusnya sesuatu yang bersifat abadi. Sesuatu yang bisa dirasakan bukan sekedar dilihat.”
Saya hanya menatapnya, dan masih terdiam.
“Dulu kamu pernah bilang sama aku kalau semua wanita itu cantik kan? Tapi sayangnya tidak semua wanita merasa cantik karena tampilan fisiknya. Apa yang bisa dirasakan dari wanita yang seperti itu? Ketidakbahagiaan bukan? Lalu bagaimna wanita yang tidak bahagia bisa menginspirasi wanita lain untuk menjadi lebih baik?”
“Tapi... wajarkan kalau perempuan ingin terlihat cantik?” tanya saya.
“Wajar, Sa. Sangat wajar malah.tapi hal yang harus kamu renungkan; cantik di mata orang lain tidak akan lebih berarti dibanding saat kita, diri kita sendiri, yang merasakan kecantikan itu. Kecantikan yang sesungguhnya itu datang dari dalam sini, Sa. Dari dalam hati”, kemudian dia melanjutkan, ‘Aku enggak rela kalau kamu mengartikan kecantikan hanya sesempit; berjerawat dan tidak berjerawat, langsing atau tidak langsing, tinggi atau tidak tinggi, dan bawel atau tidak bawel. Hey, Tuhan menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing, Nisa. Biarlah ada beberapa orang menyeragamkan makna cantik itu dengan “enak dilihat”, tapi tidak kita. Kita seharusnya bukan orang yang memiliki pemikiran sempit seperti itu.”
Saya menarik nafas dalam.
“Mau aku kasih tahu rahasia agar terlihat cantik?” katanya.
“Apa? Totok aura?” jawab saya ngasal.
Kemudian dia mencubit pipi saya, “Bukaaaaan, Nisaaaaa!! Tapi ini....” kemudia dia menarik dua ujung bibir saya.
“SENYUMAN! Senyuman adalah make up terbaik setiap perempuan agar terlihat cantik”
“Ingat, Sa... cantik itu bukan dari mata, tapi dari hati. Cinta yang datang dari mata dan jatuh ke hati enggak bakal lama. Karena saat mata tertutup atau menemukan yang lebih indah, maka hati menjadi kosong. Tapi cinta yang datang dari hati akan tetap ada di hati bahkan sampai mata ini tertutup selamanya.”
---
Itu pembicaraan saya dengan dirinya. Saya sadar dia benar. Cantik itu tentang bagaimana kita mampu menghargai diri kita sendiri dan melihat sisi indah yang kita miliki untuk bisa menginspirasi banyak orang. Wajar kalau ada perempuan yang uring-uringan soal jerawat atau berat badan, sayapun seperti itu, tapi dulu.
Saya kembali percaya, bahwa Tuhan memang menciptakan setiap perempuan di dunia ini dengan kecantikannya masing-masing, dengan keunikan yang kita miliki. Cermin yang sesungguhnya itu bukan kaca yang tergantung di dinding kamar kita. Bagi saya, cermin yang sesungguhnya adalah lingkungan kita sendiri. Mulai hari ini saya ingin belajar bagaimana mengahargai diri sendiri. Belajar lebih baik dengan memperhatikan perempuan-perempuan cantik yang ada di sekitar saya. belajar dari mereka dengan tetap menjadi diri saya sendiri. Mungkin saya pendek, gendut dan bawel, tapi saya bangga untuk menjadi perempuan yang seperti ini. Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal. Tuhan selalu menciptakan sesuatu dengan tujuan.
TEMAN SEBANGKU
Dia teman sebangku saya. Namanya tidak perlu saya sebutkan. Saat itu ada perombakan tempat duduk. Saya dipindahkan untuk duduk berdua bersamanya dalam satu meja. Awalnya saya agak takut karena dia terkenal sebagai ‘seseorang yang ditakuti’, pendiam dan dingin. Tapi ternyata tidak juga. Dia orang yang cukup baik, mau membantu saya untuk bolak-balik meminjam tip-ex ke meja sebelah. Dia juga mau kalau saya ajak main do-mi-ka-do. Atau main “suit” yang kalah dicoret pake gliter. Dia cukup sabar mendengar curhatan saya tentang ini-itu, dan yang paling menyenangkan, dia tidak pernah memberontak kalau saya sedang marah-marah. Beberapa kali kami belajar bersama. Dia tidak begitu pandai dalam pelajaran, jadi saya sering mengajarkannya-- dengan kebawelan saya tentunya. Entah sejak kapan saya menyukainya. Saya menikmati saat saya bercanda atau sedang marah-marah dengan dirinya. Terkadang, saya merasa terlindungi karena menjadi teman sebangkunya, tidak banyak teman laki-laki yang berani menakali saya—karena saya teman sebangku DIA! Hehehe.
Sampai akhirnya, seorang adik kelas yang cantik, imut dan menggemaskan curhat kepada saya kalau ia menyukai teman sebangku saya. Sebut saja Vanya. Kamu tahu bagaimana perasaan saya saat mengetahui itu? Itu seperti lomba siapa yang tercepat untuk menuju ke garis finish; Vanya menunggani kuda. Saya menunggani keledai. Saya merasa kalah.
Hal yang bisa saya lakukan saat itu adalah berusaha melupakan perasaan saya. Vanya jelas lebih baik untuk dia. Tapi melupakan dan menutupi perasaan itu tidak mudah kawan. Adakalanya kita harus tersenyum di saat sesungguhnya kita merasa di titik tersedih yang dalam.Ada saatnya kita harus tetap berada di dekatnya saat kaki ini sesungguhnya ingin berlari menjauh dan bersembunyi. Ada saatnya kita harus mengatur debar jantung membuatnya kembali seirama seperti tidak ada apa-apa. Melakukan hal yang sesungguhnya tidak ingin kita lakukan. Tapi apa daya? Itulah konsekuensi untuk orang yang kalah bukan?
Tekad saya bulat. Saya sudah cukup bahagia bisa menjadi teman sebangkunya yang bisa membuat dia kesibukan untuk meminjamkan tip-ex untuk saya. Atau sekedar mengobrolkan apa saja yang bisa membuat kami berdua tertawa. Dia bukan orang yang mudah tertawa bahkan tersenyum, lalu? Kurang beruntung apa saya yang bisa tertawa bersamanya hampir setiap hari? Sudah sepantasnya saya tidak serakah untuk memiliki dia lebih dari ini semua. Lebih dari teman. Saya memutuskan untuk menolong Vanya untuk dekat dengan dirinya. Iya. Saya yakin saya sudah siap, dan mampu.
Singkat cerita, dia tahu tentang rencana “perjodohan” ini. Dia marah. Dan saya adalah orang yang paling membuat ia marah. Saat itu saya baru paham mengapa ia cukup ditakuti oleh teman-teman laki-laki saya, karena saat ia marah, ia sama sekali bukan dia yang selama ini saya kenal sebagai teman sebangku saya. selama beberapa hari kami duduk diam tanpa ada yang berani untuk menegur terlebih dahulu.
Semesta mendukung. Perombakan tempat duduk kelas (lagi). Saya tidak lagi duduk bersamanya. Saya lega karena tidak harus berdiam terus saat di kelas. Di sisi lain saya merasa bersalah, saya seharusnya meminta maaf kepadanya. Tapi sekarang, kesempatan untuk meminta maaf semakin kecil bahkan tidak ada. Dia tidak pernah lagi berbicara kepada saya. mungkin tidak pernah ingin lagi. Setiap saya coba untuk menghampirinya berniat untuk minta maaf, dia pergi. Kami berdua seperti terlempar ke dunia 180 derajat yang sangat berbeda saat pertama kali kami berkenalan sebagai teman sebangku. Bahkan saya lupa kapan terakhir saya melihat dia tersenyum.
Hari kelulusan tiba. Saatnya saya menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan di tahap ini. Besok, sekolah, teman-teman sekelas beserta ceritanya adalah kenangan. Dan saya tidak mau meninggalkan kenangan buruk karena suatu hal yang tidak terselesaikan.
Dia duduk sendiri saat itu. Teman-teman yang lain sibuk berfoto. Saya ingin sekali berfoto bersamanya. Dia teman sebangku saya yang terbaik selama ini. Iya, teman sebangku.
Saya menghampirinya. Memberanikan diri untuk memegang bahunya. Dia menoleh dengan mata sendu seperti biasanya setelah kejadian itu.
”Kamu masih marah sama aku?” saya mengeluarkan suara.
Dia menggeleng pelan.
“Aku minta maaf... aku Cuma berpikir kalau Vanya itu anak yang cantik, baik dan pinter pasti cocok sama kamu yang...”
“Udah, Sa.. aku enggak mau bahas Vanya” potongnya. Singkat.
“Aku minta maaf...” sekali lagi, kali ini saya lakukan sambil tertunduk
“Iya... aku juga minta maaf...”
Kemudian dia berdiri dan pergi tanpa sepatah kata perpisahan. Saya diam. Saya yakin dia tidak pernah benar-benar memaafkan saya. saya berbalik dan melangkah pergi berjalan berlawannan arah darinya...
“Sa...” panggilnya, sontak membuat saya menoleh kepadanya.
“Ya..”
“Maaf ya... Maaf kalau selama ini aku jahat sama kamu... aku Cuma sedih, perempuan yang aku suka malah ngejodohin aku sama perempuan lain.”
Kemudian dia kembali berbalik dan berjalan denghan tenang meninggalkan saya. tanpa pernah menoleh lagi.
saya terdiam. Dia semakin jauh dan menghilang.
Ini hari kelulusan. Seperti yang telah saya katakan; Besok, sekolah, teman-teman sekelas beserta ceritanya adalah kenangan, begitu juga dia--teman sebangku dan ... orang pertama yang membuat saya jatuh cinta.
Subscribe to:
Posts (Atom)