Thursday, September 29, 2011
Saturday, September 24, 2011
Tak Terjawab; Sepi Memilih Diam
Aku memejamkan mata. mencoba melihat hidup seperti apa yang ku inginkan di masa depan.
Sepi, aku ingin bercerita.
Maka tetaplah kau diam mencipta keheningan untuk mendengarkan.
Sepi, mengapa kau memilih sunyi untuk terus bersama mu?
ini kah yang namanya setia?
Kau sengaja memilih sunyi agar dia tidak bercerita betapa sedih kau merasa sendiri?
Mencari Tuhan [yang tampaknya] Terlupakan
Aku berada dalam penerawangan mimpiku,
Ada cahaya, namun tetap tidak kulihat titik yang jelas kemana aku harus melangkah.
Semakin aku memberanikan untuk melangkah dan melawan diam, ternyata, semakin bimbang.
Tuhan.
Aku meraba dinding lorong untuk mencari Tuhan.
Semakin gelap, semakin bimbang, aku tak yakin apakah cahaya ini menuntun ku ke suatu tempat yang benar.
Aku mencari Tuhan.
"Tuhan Kau di mana?"
Siapa lagi yang harus ku percaya ketika aku tidak percaya (bahkan) kepada diriku sendiri...
Aku kehilangan waktu,
dan aku kehilangan Tuhan,,,
Apa sebaiknya aku hanya diam. Duduk. Menunggu Tuhan?
Aku dalam penerawangan mimpiku.
Tuhan... sambut aku,,,
Beri aku kekuatan hingga aku menemukan Mu dan kembali percaya pada keyakinanku.
Keyakinanku dalam penerawangan mimpi ini; bahwa ini rencanaMu... dan Kau akan selalu ada didekat ku.
Dalam terang.
Dalam Gelap.
Menghapus bimbangku.
Aku ingin membuat samar ini menjadi nyata.
Friday, September 16, 2011
Tuhan dan Dunia 140 Huruf
Sebuah kicauan @annisarahmah
Apakah di sana, entah di mana, Tuhan mempunyai akun twitter?
Apakah suatu saat nanti, entah kapan, Tuhan akan me-reply, atau sekedar me-retwitt doa-doa atau cacian yang tertulis dalam setiap update-an status twitter?
Saya, katakan saja, cukup beruntung hidup di jaman di mana orang-orang sangat terbuka untuk mempublikasi hal-hal kecil dari kehidupannya secara cuma-cuma. Cukup beruntung bagi saya untuk dapat belajar, setidaknya memahami kesederhanaan kehidupan. Kehidupan sederhana yang sering dirumitkan oleh pemikiran manusia itu sendiri.
Dunia yang mengijinkan manusia menceritakan hidupnya dengan sederhana.
Hanya dengan 140 karater huruf.
Twitter.
Apakah Tuhan memiliki akun twitter? Apakah kerumitan akan kepercayaan beberapa insan terhadap keberadaan Tuhan bisa terjawab dengan sederhana ketika Tuhan memiliki akun twitter. Sempat saya berpikir, mengapa tidak Tuhan turunkan saja wahyu-wahyuNya melalui status twitter. Agar tidak ada lagi manusia-manusia yang mengakui titisan nabi. Agar tidak ada lagi manusia yang mengkultuskan dirinya sendiri. Agar tidak ada lagi manusia yang menyatakan kesempurnaannya akan sebuah kebenaran yang sesungguhnya tidak benar sama sekali. Mungkinkah?
Apakah bumi semakin sepi? Ketika manusia, termasuk saya, memilih untuk berbagi dalam dunia semu, berkicau dalam rangkaian huruf untuk menghujam waktu daripada bertatap muka dan berkisah cerita seru. Apakah kesendirian saat ini menjadi terlalu kuat untuk mengikat kebebasan manusia untuk berbagi dan menciptakan kebersamaan yang nyata? Waktu untuk sekedar berbicara sudah tidak relevan di zaman ini ternyata. Bekerja dan hidup untuk diri sendiri.
Berlebihankah ketika saya menggambarkan twitter itu semacam ruang pelarian bagi mereka yang sendiri namun ingin tetap “merasa” dalam keramaian. sebuah dunia yang memungkinkan saya bisa melihat siapa saja yang cukup berani berterus terang untuk menyamakan dunia mayanya dengan dunia nyata yang mereka miliki. Bagi saya, twitter adalah sebuah kerumuan; seperti pasar. Di mana ketika saya membuka nya selalu saja membuat saya sadar; betapa hebat Tuhan menciptakan kehidupan manusia yang luar biasa beragam dalam sebuah pikiran yang sama sekali tak seragam pula.
Harapan selalu datang dipagi hari, begitu juga di dunia semu ini. Harapan dan doa akan berserakan berderet di timeline twitter. Ada yang meminta kemudahan kepada Tuhannya, ada yang lebih memilih meminta kekuatan. Siapa yang paling benar tidaklah penting. Apapun yang di minta setidaknya mesinyalkan bahwa mereka masih sadar memiliki Tuhan untuk dipinta.
Mereka berubah hanya dalam hitungan jari satuan jam. Mereka yang meminta menjadi sangat pintar untuk menyalahkan apapun yang bisa mereka salahkan; Panas, hujan, kesibukan bahkan kebosanan akan keluangan waktu! Tak ada kondisi yang pantas dinikmati sepertinya. Tak ada lagi puji untuk Tuhan yang mereka ploroti di pagi hari.
Malam yang menyudahi siang ternyata tak menyudahi galau. Masih saja manusia tidak kehabisan bahan menyalahkan keadaan. Beberapa cupid gila sepertinya lepas berkeliaran di malam hari menembakan sesuka hati panah asmara mereka. menghamburkan semua rasa yang tertata menjadi kusut tak karuan. Kini bukan alam sebagai kambing hitam. Tapi cinta. Ada yang merasa dikhianati, ada yang merasa terlalu dicintai, adanya yang merasa terlalu sepi dan ada yang memilih untuk membenci diri sendiri. Kemudian, lagi, Tuhan yang dicari.
140 huruf; mereka merangkai kata, rasa dan do’a.
Setidaknya dunia kicauan ini lebih jujur: Kita bisa me-retwitt sesuka kita atas 140 huruf yang kita suka dan setujui. Kita bisa mengomentari sesuka hati kita walau tidak ada yang meminta untuk berkomentar. Kita bisa me-follow sosok yang kita sukai sesuka hati. Kita bisa mem-block akun siapapun yang tidak kita inginkan dengan kebebasan yang penuh. Sederhana. Dunia 140 huruf yang luar biasa. Bebas. Dan saya belum menemukan batasnya.
Ada ruang saling berbagi di dunia ini. Saling mencintai. Saling menasihati. Dan saling menggurui.
Di mana Tuhan dalam dunia 140 huruf ini?
Adakah dari milyaran akun twitter, satu menjadi milikNya? Atau setidaknya dioprasikan oleh malaikat sebagai adminnya?
Ada sebuah kepercayaan dalam diri pribadi bahwa Tuhan membaca semua kata yang tersusun dari 140 huruf itu. Dari pagi hingga berganti hari. Dengan atau tanpa akun twitter atas nama @TUHAN , @ALLAHSWT, @YESUS, @BUDHA atauapun sesuatu yang “MAHA”, dunia 140 huruf ini tidak lebih nyata dari dunia yang kita miliki.
*Tuhan dan Dunia 140 Huruf sudah tidak dipermasalahkan lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)