Monday, November 29, 2010

JINGGA



Senja itu terulang dalam jingga yang samar, langitku terasa damai. Bumi menyepi.
Aku melihat awan-awan itu beriringan, melebur untuk menari bersama angin.

Hitam menang mencipta malam. Sendu bulan membingkai sepi dalam gelap. tak ada bintang.
Dan aku mengartikannya, sunyi.

Temanku di beberapa malam ini hanyalah helaan nafas dalam.
seperti menanti nasib. Bimbang tak karuan. Sampai akhirnya aku memanggil air mata.
Menatap wajah galau dalam gerakan dunia yang cepat.
Aku tertinggal,,,

Malam ini benar-benar sunyi.
Tak ada malaikat yang melayang membagikan mimpi dan harapan untukku,
bahkan kepakan sayapnya pun tak terdengar
Cahaya malamku hanyalah remang-remang, tak sampai untuk menghangatkan kalbuku.
Aku rindu,,,

Semakin sakit ketika air mata ini berteriak bahwa aku rapuh,
aku luluh,,
lumpuh,,
nyaris hancur.

Hitam tak sekuat yang ku kira. Ia lenyap perlahan ketika pagi merangkak di atas bumi.
Awan-awan baru mulai menggumpal--langit tak lagi kosong--burung-burung berlomba menembusnya satu-satu.
Remang-remang ini menjadi cahaya yang utuh.

Aku bangun.
Jingga datang. Kali ini tidak bersama senja.


Jingga datang bersama harap.

Thursday, November 18, 2010

Ketika Menulis Bukan Hanya SEKEDAR...


“Menulislah. Walau hanya selembar atau dua lembar. Menulislah. Tumpahkan pikiran anda dalam sebuah tulisan. Karena seorang sarjana hukum tidak hanya dituntut untuk bisa berbicara, namun juga menulis”
Prof. Sudikno



Kalimat itu saya tulis di notebook yang saya bawa. Tangan saya bergerak begitu saja ketika mendengar ucapan seorang guru besar yang sedang duduk di hadapan saya. Anggaplah ini cara Tuhan untuk memberikan sebuah pelajaran (lagi) kepada saya—si bodoh ini.

Di satu kesempatan, saya dan adik kelas saya Lia harus mengumpulkan data-data terkait dengan kekhasan kampus kami—Fakultas Hukum UGM—sebagai bahan penyusunan buku sejarah yang akan di launching di lustrum 65 tahun fakultas kami. bermula dari celoteh ramah dosen adat saya—Ibu Puji—saya mendapatkan rekomendasi nama untuk diwawancarai terkait bahan yang ingin saya cari, “Prof Dikno saja mbak. Beliau pasti punya banyak informasi tentang bahan yang sedang kamu cari” sambil tersenyum.
Dan singkat cerita, duduklah saya dihadapan seorang…, entahlah, mungkin banyak orang menyebut beliau dengan panggilan “Prof!” atau mungkin gelar Guru Besar yang anggun tersandar dalam profilnya yang jika digambarkan membuat beliau berada di kasta tertinggi dalam struktur sosial masyarakat kampus.
Sedangkan saya? Jelas, rakyat jelata.

Saya, Lia dan Prof Dikno larut dalam sebuah perbincangan yang mencoba untuki membuka sekat-sekat waktu dan zaman. Alangkah hebatnya sejarah. Benar saja ketika presiden pertama kita, Ir. Soekarno, mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Karena sejarah bukan sekedar cerita, bukan sekedar jejak langkah masa lalu. Lebih dari itu. Sejarah adalah ilmu, dan ilmu adalah salah satu hal yang berharga dalam sebuah peradaban manusia.

Di sela-sela perbincangan kami mengenai “kekhasan” FH UGM, Prof Dikno mencurahkan kegelisahannya, “itulah yang membuat saya prihatin. Mengapa semakin hari dosen-dosen terasa enggan untuk menulis. Bukannya salah ketika mereka pada akhirnya lebih memilih mengaplikasikan ilmu pengetahuannya langsung pada masyarakat, tapi menulis itu tetap penting.” Lalu beliau melanjutkan, “kalian berdua jangan takut untuk menulis! Jangan pedulikan ketika ada suara-suara yang mengatakan tulisan kalian tidak bagus. Jawab saja: maklumi ketika tulisan saya tdak bagus, kan saya belum menjadi sarjana hukum.” Ujarnya sambil tertawa.

Sungguh, ada kehangatan yang mengalir di dalam tubuh saya. Maaf, bagi saya—si mahasiswa yang tidak tahu apa-apa ini—rasanya lebih nyaman memanggil beliau dengan panggilan “Bapak”, karena bagi saya, title terhebat untuk seorang laki-laki dewasa adalah sebutan Bapak. Dan bagi saya, menjadi seorang bapak yang baik jauh lebih menawan dibanding sematan apapun. Dan Prof Dikno telah menjadi bapak yang baik di mata saya.

Ilmu yang beliau miliki jelas terasa dalam santun tutur ketika beliau berbicara. Kalimat yang terlontar dari mulut beliau seperti ilmu yang terselimut nasihat. Jauh dari kesan menggurui. Lebih pada menasihati. Bukan sekedar ilmu sejarah ataupun ilmu hukum sesuai jurusan kuliah saya yang saya dapat, lebih dari itu, sebuah ilmu kehidupan.

Dituntut untuk berhubungan dengan seorang Professor ataupun guru besar bukan tidak menjadi beban dalam benak saya. Ketakutan: bagaimana kalau saya ditanyai macam-macam tentang pelajaran hukum? Bagaimana kalau nanti saya di-jutekin, bagaimana kalau saya diusir karena para professor itu terlalu sibuk? bagaimana… dan semua bagaimana yang bernilai negative melintas di benak saya. Sampai akhirnya sisi lain dari hati saya berucap: bagaimana kamu akan tahu kalau kamu belum mencoba Sa?!. Saya jadi ingat kalimat bagus dalam sebuah buku yang pernah saya baca: Terkadang, hidup itu tidak melulu untuk meraih sesuatu. Namun hakikat hidup adalah untuk mencoba; mencoba untuk melakukan, menjadi bahkan meraih sesuatu.

Ternyata benar. Ketakutan saya tentang bagaimana kalau--- adalah ketakutan akan suatu hal yang bahkan belum terjadi. Orang mengatakannya sebagai sebuah ketakutan yang tidak beralasan. Dalam pertemuan yang singkat itu, saya dan Lia mendapat pelajaran yang berharga. Beruntung setelah itu Lia mendapat kesempatan mewawancarai Professor lain yang tak kalah hebat pemikirannya. Beliau adalah Prof. Soehino. Jujur, awalnya saya sempat mempunyai penilaian negative kepada Prof Hino (panggilan akrab beliau) karena memberi saya nilai C di matakuliah Ilmu Negara. Tapi, setelah saya membaca hasil wawancara Lia dengan Prof. Hino, saya harus mengakui kalau penilaian negative yang saya berikan kepada beliau hanyalah penilaian kekanak-kanakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya harus mengakui bahwa pemikiran beliau adalah pemikiran seorang pendidik yang berdedikasi atas ilmu yang ia bagikan.
Cuplikan wawancara dengan Prof Hino yang saya sukai adalah:

Tulisan-tulisan itu bukan hanya akan berguna untuk memulihkan ingatan kita sendiri sebagai penulisnya, tapi juga bisa digunakan sebagai ilmu untuk diwariskan bagi generasi yang akan datang. Tidak baik rasanya jika ilmu hanya disimpan untuk diri sendiri, ilmu itu tidak lagi punya manfaat.

Lalu dalam hasil wawancara yang Lia berikan kepada saya untuk saya olah menjadi tulisan, saya merenungi satu jawaban yang terlontar dari seorang Prof. Soehino yang memaparkan:

Orang diajar dalam institusi pendidikan berkelas tetapi hanya sekedar diajar, tidak dididik. Dosen-dosen hanya mengajar para mahasiswa, tidak mendidik juga sebagaimana mestinya. Mengajar dan mendidik adalah dua hal yang berbeda, tetapi saling mendukung. Mengajar itu hubungannya dengan ilmu dan mendidik adalah perkara membangun moral dan karakter seseorang.

Saya hanya bisa menghela nafas panjang ketika selesai membaca bahan-bahan hasil wawancara saya dan Lia dengan dua guru besar kami tersebut. Lagi dan lagi saya membenarkan ucapan yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang berharga. Pengalaman saya untuk mewawancarai dua orang guru besar ini jelas memberikan banyak pelajaran bagi saya. Pelajaran untuk saling berbagi, pelajaran untuk tidak takut dalam mencoba, dan pelajaran yang paling penting (khususnya untuk diri saya): tidak perlu takut berhadapan dengan seorang proffesor!! Walau sampai saat ini saya masih agak takut dengan salah satu professor yang juga pembimbing skripsi saya. :D (hehe…)

Lewat tulisan ini saya harap saya bisa mengaplikasikan ilmu baru yang saya dapat: ilmu untuk saling berbagi (ilmu). Dan semoga apa yang saya dapatkan—sekecil apapun itu—bisa dirasa manfaat bagi orang lain. Amin.